(Tab Widget 2)

Sabtu, 14 Januari 2017

SURGA DAN NERAKA BAGI SEORANG ASKETIS (SUFI) (ASCHAL Edisi 11)


Waktu kecil dulu kita sering disuguhin cerita-cerita atau sekedar dongeng sebelum tidur oleh orang tua kita, tentang surga dan neraka. Mereka mengibaratkan taman surga dengan beberapa kenikmatan-kenikmatan dan keindahan. Berbagai macam hidangan buah-buahan dengan tanpa harus susah payah kita cari atau kita beli, cukup dengan bisikan hati saja semua kebutuhan kita akan datang dengan sendirinya. Sungai-sungai yang mengalir dengan beragam macam jenisnya, sungai madu, sungai susu, yang mengandung banyak cita rasa, juga indahnya kebun-kebun yang merimbuni di sekitarnya, dan batu-batuan yang terbentuk dari mas mutiara berkilauan.
Dan selanjutnya giliran neraka dengan gambaran sebaliknya surga. Neraka oleh mereka digambarkan dengan sesuatu yang sifatnya tragis menyakitkan dan menakutkan. Penjaganya saja Malaikat Malik tidak sedikitpun pernah tersenyum. Berbagai macam bentuk siksaan semua komplit di dalamnya. Ada yang dipanggang, ada pula yang disetrika punggungnya sampai melesat tulang-tulangnya disetimpalkan dengan dosa masing-masing yang telah dikerjakan di dunia. Kita yang membayangkannya sangat ngeri sekali mendengar cerita itu. Intinya surga adalah tempatnya kenikmatan, sedang neraka tempatnya siksaan.
Memang benar gambaran-gambaran yang diucapkan oleh orang tua kita diatas, maskipun sejatinya semua itu tidak bisa kita gambarkan dengan indra atau hati manusia. Keduanya adalah dua negeri yang baka yang akan dihuni oleh manusia selamanya, dengan dua pilihan tergantung amal kita di dunia. Berangkat dari semua itu ada sebuah asumsi bagaimana pandangan seorang sufi tentang dua negeri yang baka tersebut. Karena dibalik semua itu mempunyai ketergantungan dengan amal perbuatan kala di dunia. Asumsinya adalah bahwa mereka para sufi anti surga, dan tidak takut neraka. Sebab, bila mereka mau Surga dan takut neraka, berarti amal ibadah mereka masih ternuda, alias tidak ikhlas.
Sebagaimana pengakuan sang pelaku asketik sufi perempuan Rabi’ah Adawiah. “Oh Tuhan….!  Andai hamba memohon kepada-Mu dari ketakutan neraka, masukan hamba kedalamnya. Andai hamba memohon kepada-Mu karena kerinduan akan surga, maka singkirkan hamba dari surga itu”. Rabi’ah Al-adawiyah adalah seorang perempuan yang terlahir dari kaum rendah, yang hidup seolah-olah dalam debu, yang meninggal dengan (nasib) sia-sia. Ia begitu dihormati di antara para sufi, guru dari para guru yang bijaksana, seorang sangat besar yang pernah hidup.“Aku tidak akan melayani tuhan, seperti seorang pekerja, yang mengharap gaji,”  katanya.
Dan dikisahkan ia terlihat berjalan sepanjang jalan dengan obor menyala dan seember air. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa dirinya ingin membakar Ka’bah. Ia berkata, “Aku akan memadamkan bara api neraka dan membakar surga, hingga keduanya lenyap dari pandangan jamaah haji, hingga mereka dapat mencari kebenaran tanpa harapan atau ketakutan”. Ia hidup dalam serba kekurangan setelah orang tuanya meninggal Ia berpisah dengan saudara-saudaranya. Lalu ia diculik dan dijual sebagai budak.
Namun setelah lama kemudian akhirnya orang tuanya membebaskannya, kemudian ia hidup terlantar, mengamalkan ilmunya itu berguru kepada seorang sufi besar Hasan Al-bashri. Ketika seorang pemuka agama mengkritiknya , “Seorang perempuan tidak berhak menyatakan sebagai orang suci!”   ia menjawab, “Dan tidak seperti laki-laki, perempuan tidak menyatakan diri mejadi tuhan pula!”. Juga ketika seseorang menyarankan dirinya untuk berdoa demi keperluan sehari-hari, maka ia balik nanya, “Jika tuhan tahu akan kemiskinanku, maka apa yang harus kukatakan kepada-Nya?”
Berbicara tentang Surga neraka dan keihlasan. Ada sebuah doa seorang yang beriman “lindungilah kami dari siksa neraka”. Doa ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah azab neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas. Oleh sebab itu, bila seorang sufi menegaskan keihlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang Mukmin menyembah Allah dengan harapan surga dan dijauhkan dari neraka, dengan persepektifnya sendiri, tentu kualifikasi keihlasannya dibawah yang pertama. Ikhlas adalah ruh bagi amal dan ayat al-Qur’an menyebutkan agar kita menyembah lillahi ta’ala. Mengenai sebuah kenikmatan fisik dan siksa fisik dalam doa, kualifikasinya adalah bentuk response Mukmin pada surga dan neraka paling rendah.
Surga bagi kaum sufi adalah ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di surga adalah ma’rifa Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan surga adalah surga fisik dengan kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Hal demikian memang menjadi penghalang antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.
Bahkan Allah pun membagi-bagi surga dengan simbol berbeda-beda, ada Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukan kualifikasi yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsu, maka persepsi tentang nikmat  surga adalah pantulan nafsu hewaninya dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan rasa nikmat surgawi yang indentik dengan syahwatiyah.
Rabi’ah Adawiyah dan para sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa dan seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan mahluk Allah. Amaliyah didunia sebagai visa surga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk surga. Karena hanya fadhal dan rahmat-Nya saja yang menyebabkan kita masuk surga. “Karena fadhal dan rahmat itulah kamu sekalian bergembira …” demikian dalam Al-Qur’an. “Tuhanku, hanya Engkau tujuanku, dan hanya ridlamu-Mu lah yang ku cari. Limpahkan cinta dan ma’rifat-Mu kepadaku…”  Ucapan yang menjadi munajat para Sufi.
Oleh: Shofiyulloh, S.Pd.I

0 komentar:

Posting Komentar