Waktu
kecil dulu kita sering disuguhin cerita-cerita atau sekedar dongeng sebelum
tidur oleh orang tua kita, tentang surga dan neraka. Mereka mengibaratkan taman
surga dengan beberapa kenikmatan-kenikmatan dan keindahan. Berbagai macam
hidangan buah-buahan dengan tanpa harus susah payah kita cari atau kita beli,
cukup dengan bisikan hati saja semua kebutuhan kita akan datang dengan
sendirinya. Sungai-sungai yang mengalir dengan beragam macam jenisnya, sungai
madu, sungai susu, yang mengandung banyak cita rasa, juga indahnya kebun-kebun
yang merimbuni di sekitarnya, dan batu-batuan yang terbentuk dari mas mutiara
berkilauan.
Dan
selanjutnya giliran neraka dengan gambaran sebaliknya surga. Neraka oleh mereka
digambarkan dengan sesuatu yang sifatnya tragis menyakitkan dan menakutkan.
Penjaganya saja Malaikat Malik tidak sedikitpun pernah tersenyum. Berbagai
macam bentuk siksaan semua komplit di dalamnya. Ada yang dipanggang, ada pula
yang disetrika punggungnya sampai melesat tulang-tulangnya disetimpalkan dengan
dosa masing-masing yang telah dikerjakan di dunia. Kita yang membayangkannya
sangat ngeri sekali mendengar cerita itu. Intinya surga adalah tempatnya
kenikmatan, sedang neraka tempatnya siksaan.
Memang
benar gambaran-gambaran yang diucapkan oleh orang tua kita diatas, maskipun
sejatinya semua itu tidak bisa kita gambarkan dengan indra atau hati manusia.
Keduanya adalah dua negeri yang baka yang akan dihuni oleh manusia selamanya, dengan
dua pilihan tergantung amal kita di dunia. Berangkat dari semua itu ada sebuah
asumsi bagaimana pandangan seorang sufi tentang dua negeri yang baka tersebut.
Karena dibalik semua itu mempunyai ketergantungan dengan amal perbuatan kala di
dunia. Asumsinya adalah bahwa mereka para sufi anti surga, dan tidak takut
neraka. Sebab, bila mereka mau Surga dan takut neraka, berarti amal ibadah
mereka masih ternuda, alias tidak ikhlas.
Sebagaimana
pengakuan sang pelaku asketik sufi perempuan Rabi’ah Adawiah. “Oh Tuhan….! Andai hamba memohon kepada-Mu dari ketakutan
neraka, masukan hamba kedalamnya. Andai hamba memohon kepada-Mu karena kerinduan
akan surga, maka singkirkan hamba dari surga itu”. Rabi’ah Al-adawiyah adalah
seorang perempuan yang terlahir dari kaum rendah, yang hidup seolah-olah dalam
debu, yang meninggal dengan (nasib) sia-sia. Ia begitu dihormati di antara para
sufi, guru dari para guru yang bijaksana, seorang sangat besar yang pernah
hidup.“Aku tidak akan melayani tuhan, seperti seorang pekerja, yang mengharap
gaji,” katanya.
Dan
dikisahkan ia terlihat berjalan sepanjang jalan dengan obor menyala dan seember
air. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa dirinya ingin membakar Ka’bah. Ia
berkata, “Aku akan memadamkan bara api neraka dan membakar surga, hingga
keduanya lenyap dari pandangan jamaah haji, hingga mereka dapat mencari
kebenaran tanpa harapan atau ketakutan”. Ia hidup dalam serba kekurangan
setelah orang tuanya meninggal Ia berpisah dengan saudara-saudaranya. Lalu ia
diculik dan dijual sebagai budak.
Namun
setelah lama kemudian akhirnya orang tuanya membebaskannya, kemudian ia hidup
terlantar, mengamalkan ilmunya itu berguru kepada seorang sufi besar Hasan
Al-bashri. Ketika seorang pemuka agama mengkritiknya , “Seorang perempuan
tidak berhak menyatakan sebagai orang suci!” ia menjawab,
“Dan tidak seperti laki-laki, perempuan tidak menyatakan diri mejadi tuhan
pula!”. Juga ketika seseorang menyarankan dirinya untuk berdoa demi keperluan
sehari-hari, maka ia balik nanya, “Jika tuhan tahu akan kemiskinanku, maka
apa yang harus kukatakan kepada-Nya?”
Berbicara
tentang Surga neraka dan keihlasan. Ada sebuah doa seorang yang beriman
“lindungilah kami dari siksa neraka”. Doa ini berhubungan dengan kualifikasi
keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah azab neraka, bukan
apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas. Oleh sebab itu, bila seorang sufi
menegaskan keihlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian
perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang Mukmin menyembah Allah dengan
harapan surga dan dijauhkan dari neraka, dengan persepektifnya sendiri,
tentu kualifikasi keihlasannya dibawah yang pertama. Ikhlas adalah ruh
bagi amal dan ayat al-Qur’an menyebutkan agar kita menyembah lillahi ta’ala.
Mengenai sebuah kenikmatan fisik dan siksa fisik dalam doa, kualifikasinya
adalah bentuk response Mukmin pada surga dan neraka paling rendah.
Surga bagi
kaum sufi adalah ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang berbeda-beda.
Karena nikmat tertinggi di surga adalah ma’rifa Dzatullah. Jadi kalimat
Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan surga adalah surga fisik dengan
kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Hal demikian memang menjadi
penghalang antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.
Bahkan
Allah pun membagi-bagi surga dengan simbol berbeda-beda, ada Jannatul Ma’wa,
Jannatul Khuldi, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukan kualifikasi
yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih
bergelimang dengan nafsu, maka persepsi tentang nikmat surga adalah pantulan nafsu hewaninya dan
syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan
rasa nikmat surgawi yang indentik dengan syahwatiyah.
Rabi’ah
Adawiyah dan para sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala
bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah.
Dengan bahasa dan seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah,
bukan menginginkan mahluk Allah. Amaliyah didunia sebagai visa surga hanyalah
untuk menentukan kualifikasi kesurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk surga.
Karena hanya fadhal dan rahmat-Nya saja yang menyebabkan kita
masuk surga. “Karena fadhal dan rahmat itulah kamu sekalian
bergembira …” demikian dalam Al-Qur’an. “Tuhanku, hanya Engkau tujuanku, dan
hanya ridlamu-Mu lah yang ku cari. Limpahkan cinta dan ma’rifat-Mu kepadaku…” Ucapan yang menjadi munajat para Sufi.
Oleh: Shofiyulloh, S.Pd.I
0 komentar:
Posting Komentar