01.
HIPNOTIS ALA UYA EMANG KUYA
Deskripsi
Masalah
Di sebuah stasiun televisi (TV) ada sebuah
tayangan acara yang berjudul Uya
Memang Kuya. Dalam acara tersebut seseorang yang
telah setuju untuk dihipnotis disuruh menatap bandul sebuah lingkaran, kapas
yang dibakar dan sebagainya. Kemudian seketika itu matanya terpejam seperti
orang yang tertidur. Dalam keadaan itu orang
tadi dilontari berbagai macam pertanyaan baik yang berkaitan dengan
pribadi maupun orang lain yang ia ketahui tanpa menyembunyikan suatu rahasia
apapun. Anehnya ia akan menjawab pertanyaan dengan sejujur-jujurnya tanpa
menghiraukan apakah yang dibicarakan ada di sampingnya atau tidak. Singkat
kata, orang tersebut tunduk patuh terhadap perintah penghipnotis.
Proses hipnotis dalam Uya Memang Kuya di samping mendapat izin dari pihak
yang dihipnotis juag sebelum tayang telah diperlihatkan dan disensor oleh yang
dihipnotis sendiri mana yang ditayangkan dan tidak.
Pertanyaan
a.
Bagaimana hukum
hipnotis dalam perspektif fiqih?
b.
Bagaimana hukum
menyetujui untuk dihipnotis dan hukum merelakan apa yang terjadi
untuk ditayangkan?
c.
Bolehkah
menggunakan sarana hipnotis untuk menguak sebuah kasus kriminal dan
bagaimana konsekuensi hukumnya?
Jawaban
- Hukum hipnotis dipilah sebagai berikut :
-
Apabila
menggunakan perantara yang dilegalkan syariat, seperti hipnotis modern yang
mengakibatkan dampak seperti tidur, maka hukumnya diperbolehkan.
-
Apabila
menggunakan perantara cara-cara yang diharamkan seperti sihir, maka hukumnya
haram.
REFERENSI
1.
At-Tasyri’
al-Jina’i juz, 1 hal. 477
2.
Hasyiyah
al-Jamal Juz, 7 Hal. 6
3.
Hasyiyah Syabromalisi ‘ala an-Nihayah, juz 6 hal. 441
4.
Al-Mausu’ah al-‘Arobiyyah al-‘Alamiyyah hal. 5
- Hukum menyetujui untuk dihipnotis dan
merelakan apa yang terjadi untuk ditayangkan adalah haram, apabila saat seseorang
terhipnotis melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti menceritakan
kemaksiatan dan ifsya`ussirri (membuka rahasia) yang dipertontonkan
sebagai hiburan.
REFERENSI
1.
Ihya` al-‘Ulum
ad-Din, juz 3, hal. 132
2.
Mauidzoh
al-Mu`minin, juz 1, hal. 293
3.
Fath al-Bari,
juz 11, hal. 80
4.
Al-fatawa
al-haditsiyyah, juz 1, hal. 103
5. Al-Mantsur fi al-Qowa’id, juz 2 hal. 168
6.
Al-Adzkar &
Futuhat ar-Robbaniyah, Juz 7 Hal. 77-78
7.
Faidlul Qodir,
juz 5, hal. 16
8.
Faidlul Qodir,
juz 5, hal. 15
- Boleh, dan
hanya bisa digunakan untuk wasilah mencari bukti-bukti awal dalam
penelusuran kasus. Bahkan menurut madzhab Maliki bisa digunakan untuk
mencari qorinah yang mengantarkan kuatnya dugaan sebagai alat
penetapan hukum.
Catatan:
Rumusan
di atas adalah dalam pernyataan selain iqror. Sedangkan mengenai iqror,
sementara belum disepakati musyawirin.
REFERENSI
1.
Bughiyyah
al-Mustarsyidin, hal. 276-277
2.
Ath-Thuruq
al-Hukmiyyah, hal. 97-100
3.
Thoro`iq
al-Hukmi fi asy-Syari’ah, hal. 352
4.
Ahkam
as-Sulthoniyyah, hal. 219-220
5.
Al-Fiqh
al-Islamiy, juz 8, hal.6127-6128
6.
Al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah, juz 4, hal. 95-96
7.
Qurrotul
‘Ain, Juz 7 Hal. 317-318
02.
KEWAJIBAN PERINTAH ANAK UNTUK SHALAT
Deskripsi
Masalah
Anak merupakan
titipan dari Allah bagi orang tua, sehingga baik buruknya anak ketika usia dini
menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Karena faktor inilah Nabi Saw. secara
tegas menyatakan bahwa orang tua berkewajiban menyuruh anaknya untuk
melaksanakan shalat ketika berusia tujuh tahun dan memukulnya bila meninggalkan
ketika berusia sepuluh tahun. Namun realita yang ada, karena faktor kesibukan
orang tua, kewajiban ini sering terabaikan ketika sang anak tengah bermain di
tempat yang jauh ataupun di tempat yang lepas dari pengawasan orang tua,
padahal waktu shalat tiba.
Pertanyaan
- Wajibkah
orang tua mencari anaknya ketika tiba waktu shalat ?
- Jika
wajib, sampai batas mana orang tua berkewajiban mencari ?
Jawaban :
a. Wajib, selama tidak ada dugaan bahwa anaknya
telah diperintah orang lain, dan telah melakukan.
REFERENSI
01. Roudhotuttolibin Juz 10 hlm. 225
02. Hasyiyah asy-Syarwani Juz 1 hlm. 449
03. I’anah at-Thalibin Juz, 1, hlm. 33
04. Thoriqoh al-Khusul, hlm. 71-73
05. Nihayah al-Muhtaj, Juz. 1, hlm. 391
b.
Sebatas
yang dia mampu.
REFERENSI
01. Ihya’ Ulumiddin Juz 2 hlm. 336-337
02. Roudhotuttolibin Juz 10 hlm. 225
03. Hasyiyyatul Jamal Juz 1, hlm. 290
04. Al Bujairomi ‘Alal Khotib Juz 2, hlm. 515
03.
ARTIS (BINTANG FILM/SINETRON)
Deskripsi Masalah
Profesi sebagai artis, baik artis film, sinetron, atau bakat-bakat yang lain adalah suatu profesi yang penuh glamour, popularitas, dan sejuta impian hingga
menyebabkan banyak yang menginginkannya. Maka begitu ada kesempatan, banyak yang tak menyia-nyiakan untuk mendaftarkan menjadi
artis dengan melakukan berbagai terobosan agar cepat mendapat kontrak. Segala penghalang mereka terjang demi
terwujudnya keinginan dan ambisi menjadi seorang artis. Obsesi yang
menggebu-gebu untuk menjadi seorang bintang, membuat mereka tak lagi
memperhatikan batas-batas antara halal dan haram hingga jalan apapun ditempuh asal idaman menjadi
bintang tercapai.
Bak gayung bersambut, pihak televisi merespon dengan menggelar
berbagai ajang pencari bakat. Dapat dilihat dalam layar kaca, program pencari
bakat begitu bertebaran seperti Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat (IMB),
dan seabreg program lain.
Pertimbangan
ü Seorang artis kadang memerankan
peran Islami dalam acara film atau sinetron.
ü Sering terjadi adegan-adegan yang kurang atau
bahkan tidak sopan.
ü Artis adalah seorang public figure sehingga menjadi rujukan dalam gaya hidup (style) dan
prilaku.
ü Bila ditanya mengapa ingin menjadi artis? Jawabnya, “Untuk mencari nafkah dan yang paling cepat
hasilnya ya menjadi
artis.”
Pertanyaan
a.
Bagaimana hukum mendaftarkan diri menjadi artis? Dan bagaimana hukum menyelenggarakan acara pencari bakat yang berorientasi popularitas seperti Indonesian Idol, IMB, dan lain sebagainya?
b.
Apa status dan hukum honor yang diterima dari profesi tersebut?
c.
Kalau haram, bagaimana solusinya mengingat hal ini sudah
sangat sering terjadi?
Jawaban :
a.
Mempertimbangkan dunia artis sangat beraneka ragam, baik profesi
atau peran yang dilakoni, maka mendaftar sebagai artis bisa bernilai negatif
(haram) apabila memenuhi ketentuan :
ü Ada tujuan untuk berbuat kemungkaran
seperti sebagai perantara mencapai hidup glamor, pergaulan bebas, memerankan
adegan maksiat, dll.
ü Tidak bisa menghindar dari
kemungkaran seperti percampuran antar lawan jenis
ü Profesi atau peran yang dimainkan
terdapat kemungkaran seperti adegan dengan lawan jenis (persentuhan, dll),
membuka aurat.
ü Menimbulkan fitnah seperti
mengajarkan orang lain berbuat maksiat, menimbulkan perasangka buruk atau tuhmah,
cinta ketenaran yang sampai menghalalkan berbagai hal.
Dan berrnilai positif (boleh) apabila:
ü Ada tujuan dakwah atau sebatas
mencari nafkah
ü Mampu menghindari kemungkaran dan
memilih peran yang tidak bertentangan
dengan syari'at.
REFERENSI
1.
Takmilah
al Majmu' Syarh al Muhadzab juz 16 hal. 665&671
2.
Al
Fiqh 'ala Madzahib al Arba'ah juz 2 hal. 42
3.
Is'adurrofiq
juz 2 hal. 67,68,127 & 136
4.
Tuhfatul
Muhtaj, juz X, hlm. 68
5.
I’anatut
Thalibin, juz I, hlm. 272
6.
Ihya’
‘Ulumiddin, juz II, 201 & juz III, hlm. 288
7.
Mau’izhatul
Mu’minin, juz I, hlm. 344
8.
Mirqotul
Mafatih, juz II, hlm. 118
b.
Halal apabila peran-peran yang dilakukan
tidak melanggar syari’at, begitupun sebaliknya haram jika terdapat peran-peran
yang tidak sesuai dengan syari’at.
REFERENSI
1. Kifayatul Akhyar, hlm. 295
2. Mughnil Muhtaj, juz II, hlm. 337
3. Yas’alunaka fid Din wal Hayat, juz I, hlm. 644-645
4. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz IX, hlm.254
a . Dicukupkan
dengan jawaban a.
0 komentar:
Posting Komentar