(Tab Widget 2)

Sabtu, 14 Januari 2017

MAJELIS MUNADHOROH WAL MAKTABAH (ASCHAL Edisi 11)


01.    HIPNOTIS ALA UYA EMANG KUYA
Deskripsi Masalah
Di sebuah stasiun televisi (TV) ada sebuah tayangan  acara yang berjudul Uya Memang Kuya. Dalam acara tersebut seseorang yang telah setuju untuk dihipnotis disuruh menatap bandul sebuah lingkaran, kapas yang dibakar dan sebagainya. Kemudian seketika itu matanya terpejam seperti orang yang tertidur. Dalam keadaan itu orang  tadi dilontari berbagai macam pertanyaan baik yang berkaitan dengan pribadi maupun orang lain yang ia ketahui tanpa menyembunyikan suatu rahasia apapun. Anehnya ia akan menjawab pertanyaan dengan sejujur-jujurnya tanpa menghiraukan apakah yang dibicarakan ada di sampingnya atau tidak. Singkat kata, orang tersebut tunduk patuh terhadap perintah penghipnotis.
Proses hipnotis dalam Uya Memang Kuya di samping mendapat izin dari pihak yang dihipnotis juag sebelum tayang telah diperlihatkan dan disensor oleh yang dihipnotis sendiri mana yang ditayangkan dan tidak.
Pertanyaan
a.    Bagaimana hukum hipnotis dalam perspektif fiqih?
b.    Bagaimana hukum menyetujui untuk dihipnotis dan hukum merelakan apa yang terjadi untuk ditayangkan?
c.    Bolehkah menggunakan sarana hipnotis untuk menguak sebuah kasus kriminal dan bagaimana konsekuensi hukumnya?

Jawaban
  1. Hukum hipnotis dipilah sebagai berikut :
-       Apabila menggunakan perantara yang dilegalkan syariat, seperti hipnotis modern yang mengakibatkan dampak seperti tidur, maka hukumnya diperbolehkan.
-       Apabila menggunakan perantara cara-cara yang diharamkan seperti sihir, maka hukumnya haram.
REFERENSI
1.      At-Tasyri’ al-Jina’i juz, 1 hal. 477
2.      Hasyiyah al-Jamal Juz, 7 Hal. 6
3.      Hasyiyah Syabromalisi ‘ala an-Nihayah, juz 6 hal. 441
4.      Al-Mausu’ah al-‘Arobiyyah al-‘Alamiyyah hal. 5

  1. Hukum menyetujui untuk dihipnotis dan merelakan apa yang terjadi untuk ditayangkan adalah haram, apabila saat seseorang terhipnotis melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti menceritakan kemaksiatan dan ifsya`ussirri (membuka rahasia) yang dipertontonkan sebagai hiburan.

REFERENSI 
1.    Ihya` al-‘Ulum ad-Din, juz 3, hal. 132
2.    Mauidzoh al-Mu`minin, juz 1, hal. 293
3.    Fath al-Bari, juz 11, hal. 80
4.    Al-fatawa al-haditsiyyah, juz 1, hal. 103
5.    Al-Mantsur fi al-Qowa’id, juz 2 hal. 168
6.    Al-Adzkar & Futuhat ar-Robbaniyah, Juz 7 Hal. 77-78
7.    Faidlul Qodir, juz 5, hal. 16
8.    Faidlul Qodir, juz 5, hal. 15

  1. Boleh, dan hanya bisa digunakan untuk wasilah mencari bukti-bukti awal dalam penelusuran kasus. Bahkan menurut madzhab Maliki bisa digunakan untuk mencari qorinah yang mengantarkan kuatnya dugaan sebagai alat penetapan hukum.
Catatan:
Rumusan di atas adalah dalam pernyataan selain iqror. Sedangkan mengenai iqror, sementara belum disepakati musyawirin.
REFERENSI
1.       Bughiyyah al-Mustarsyidin, hal. 276-277
2.       Ath-Thuruq al-Hukmiyyah, hal. 97-100
3.       Thoro`iq al-Hukmi fi asy-Syari’ah, hal. 352
4.       Ahkam as-Sulthoniyyah, hal. 219-220
5.       Al-Fiqh al-Islamiy, juz 8, hal.6127-6128
6.       Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, juz 4, hal. 95-96
7.       Qurrotul ‘Ain, Juz 7 Hal. 317-318


­­­­­­
02.    KEWAJIBAN PERINTAH ANAK UNTUK SHALAT
Deskripsi Masalah
Anak merupakan titipan dari Allah bagi orang tua, sehingga baik buruknya anak ketika usia dini menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Karena faktor inilah Nabi Saw. secara tegas menyatakan bahwa orang tua berkewajiban menyuruh anaknya untuk melaksanakan shalat ketika berusia tujuh tahun dan memukulnya bila meninggalkan ketika berusia sepuluh tahun. Namun realita yang ada, karena faktor kesibukan orang tua, kewajiban ini sering terabaikan ketika sang anak tengah bermain di tempat yang jauh ataupun di tempat yang lepas dari pengawasan orang tua, padahal waktu shalat tiba.
Pertanyaan
  1. Wajibkah orang tua mencari anaknya ketika tiba waktu shalat ?
  2. Jika wajib, sampai batas mana orang tua berkewajiban mencari ?
Jawaban :
a.   Wajib, selama tidak ada dugaan bahwa anaknya telah diperintah orang lain, dan telah melakukan.

REFERENSI
01.  Roudhotuttolibin Juz 10 hlm. 225
02.  Hasyiyah asy-Syarwani Juz 1 hlm. 449
03.  I’anah at-Thalibin Juz, 1, hlm. 33
04.  Thoriqoh al-Khusul, hlm. 71-73
05.  Nihayah al-Muhtaj, Juz. 1, hlm. 391

b.   Sebatas yang dia mampu.

REFERENSI
01.  Ihya’ Ulumiddin Juz 2 hlm. 336-337
02.  Roudhotuttolibin Juz 10 hlm. 225
03.  Hasyiyyatul Jamal Juz 1, hlm. 290
04.  Al Bujairomi ‘Alal Khotib Juz 2, hlm. 515


03.    ARTIS (BINTANG FILM/SINETRON)
Deskripsi Masalah
Profesi sebagai artis, baik artis film, sinetron, atau bakat-bakat yang lain adalah suatu profesi yang penuh glamour, popularitas, dan sejuta impian hingga menyebabkan banyak yang menginginkannya. Maka begitu ada kesempatan, banyak yang tak menyia-nyiakan untuk mendaftarkan menjadi artis dengan melakukan berbagai terobosan agar cepat mendapat kontrak. Segala penghalang mereka terjang demi terwujudnya keinginan dan ambisi menjadi seorang artis. Obsesi yang menggebu-gebu untuk menjadi seorang bintang, membuat mereka tak lagi memperhatikan batas-batas antara halal dan haram hingga jalan apapun ditempuh asal idaman menjadi bintang tercapai.
Bak gayung bersambut, pihak televisi merespon dengan menggelar berbagai ajang pencari bakat. Dapat dilihat dalam layar kaca, program pencari bakat begitu bertebaran seperti Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat (IMB), dan seabreg program lain.
Pertimbangan
ü  Seorang artis kadang memerankan peran Islami dalam acara film atau sinetron.
ü  Sering terjadi adegan-adegan yang kurang atau bahkan tidak sopan.
ü  Artis adalah seorang public figure sehingga menjadi rujukan dalam gaya hidup (style) dan prilaku.
ü  Bila ditanya mengapa ingin menjadi artis? Jawabnya, “Untuk mencari nafkah dan yang paling cepat hasilnya ya menjadi artis.
Pertanyaan
a.         Bagaimana hukum mendaftarkan diri menjadi artis? Dan bagaimana hukum menyelenggarakan acara pencari bakat yang berorientasi popularitas seperti Indonesian Idol, IMB, dan lain sebagainya?
b.        Apa status dan hukum honor yang diterima dari profesi tersebut?
c.         Kalau haram, bagaimana solusinya mengingat hal ini sudah sangat sering terjadi?

Jawaban :
a.       Mempertimbangkan dunia artis sangat beraneka ragam, baik profesi atau peran yang dilakoni, maka mendaftar sebagai artis bisa bernilai negatif (haram) apabila memenuhi ketentuan :
ü  Ada tujuan untuk berbuat kemungkaran seperti sebagai perantara mencapai hidup glamor, pergaulan bebas, memerankan adegan maksiat, dll.
ü  Tidak bisa menghindar dari kemungkaran seperti percampuran antar lawan jenis
ü  Profesi atau peran yang dimainkan terdapat kemungkaran seperti adegan dengan lawan jenis (persentuhan, dll), membuka aurat.
ü  Menimbulkan fitnah seperti mengajarkan orang lain berbuat maksiat, menimbulkan perasangka buruk atau tuhmah, cinta ketenaran yang sampai menghalalkan berbagai hal.
Dan berrnilai positif (boleh) apabila:
ü  Ada tujuan dakwah atau sebatas mencari nafkah
ü  Mampu menghindari kemungkaran dan memilih peran yang  tidak bertentangan dengan syari'at.

REFERENSI
1.      Takmilah al Majmu' Syarh al Muhadzab juz 16 hal. 665&671
2.      Al Fiqh 'ala Madzahib al Arba'ah juz 2 hal. 42
3.      Is'adurrofiq juz 2 hal. 67,68,127 & 136
4.      Tuhfatul Muhtaj, juz X, hlm. 68
5.      I’anatut Thalibin, juz I, hlm. 272
6.      Ihya’ ‘Ulumiddin, juz II, 201 & juz III, hlm. 288
7.      Mau’izhatul Mu’minin, juz I, hlm. 344
8.      Mirqotul Mafatih, juz II, hlm. 118
b.        Halal apabila peran-peran yang dilakukan tidak melanggar syari’at, begitupun sebaliknya haram jika terdapat peran-peran yang tidak sesuai dengan syari’at.
REFERENSI
1.      Kifayatul Akhyar, hlm. 295
2.      Mughnil Muhtaj, juz II, hlm. 337
3.      Yas’alunaka fid Din wal Hayat, juz I, hlm. 644-645
4.      Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz IX, hlm.254
a .   Dicukupkan dengan jawaban a.


0 komentar:

Posting Komentar