(Tab Widget 2)

Rabu, 04 Januari 2017

MELINDUNGI AKIDAH KELUARGA KITA (ASCHAL Edisi 20)


Ahkhir-akhir ini seakan tak ada yang krusial dalam mengisi diskusi resmi atau tidak resmi kecuali ranah aqidah. Perbincangan mengenai aqidah atau paham yang mengancam eksistensi Ahlussunah wal Jmaah menjadi menu sehari-hari. Ya, memang hal itu adalah keniscayaan dalam beragama. Tentu, tidak luput dengan cara-cara ilmiah pula. Sebuah hal yang pokok dalam Islam adalah menjaga aqidah. hal yang niscaya bahwa menjaga keluarga dari api neraka merupakan perintah Allah dalam al-Quran. Menjaga keluarga dari ancaman siksa Allah praktis tidak perlu dijelaskan dengan detail. Toh, itu kewajiban semua orang. Terlebih ada anjuran sangat jelas dalam al-Quran terkait dengan hal itu.
Disadari atau tidak belakangan ini serangan secara massif untuk mengkaburkan kemurnian aqidah sudah ada detak jantung kita. Apapun alasannya itu merupakan ancaman serius bagi kehidupan umat Islam Ahlussunnah Waljamaah. Beberapa sekte sudah memasang kuda-kuda untuk menghancurkan paham Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam didunia. Memang kita tidak bisa menutup mata dengan perkembangan itu semua. Adalah lumrah ketika kita berada diporos mayoritas, seakan-akan greget dan militansi dalam memperjuangkan aqidah Ahlussunah waljamaah bisa dikatan rendah. Hal itu-sekali lagi- adalah wajar dan bisa dimaklumi. Pandangan-pandangan tersebut tak lepas dari sedikit arogansi yang melekat pada invidu umat Islam. Jadinya, kelompok mayoritas terlena dan percaya dengan situasi yang tak menentu, dan memulai kebinungan ketika umat dicaplok orang lain. Disinilah urgensitas kita guna memacu lebih semangat lagi untuk selalu memberi pengajaran dan pemahaman aqidah terhadap umat islam, minimal harus dimulai dari keluarga sendiri.
Sejatinya agar greget dalam mempertahankan aqidah tidak bisa lepas begitu dengan hanya mengandalkan sepak terjang para dai, kiai dan para ustadz dalam memberi penerahan. Merujuk kepada rekaman diatas, kepala keluarga dalam hal ini orang tua harus berani mempertegas kepada anak-anaknya supaya tidak terjangkit pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Bagaimanapun, orang tua adalah sentral dari segalanya terhadapa pertumbuhan anak menuju kedewasaan berpikir. Sentral orang tua bukan hanya terletak kepada pertumbuhan anak lewat materi, limpahan harta, pendidikan formal, namun jauh dari itu semua pendidikan Aqidah harus diprioritaskan demi menyelamatakan masa depan anak baik didunia mapun diakhirat. Lantas bagaiamana upaya orang tua menyetir anak-anaknya?   
Dalam konteks ini, Imam Ghazali dalam Ihya’nya menjelaskan bahwa ada tiga metode yang harus dilalui oleh seorang anak guna mencapai terhadap keyakinan yang betul-betul mantap dan tidak tergoyahkan. Pertama adalah al-Hifdzu, menghafal, artinya seorang anak jika sudah menghafala hal-hal terkait dengan sifat-sifat Allah dan yang berkaitan dengannya seakan sudah dimasuki oase keimanan yang dapat dipastikan menjadi seuah pertumbuhan yang mapan, sehingga akan ada semacam pagar yang sulit dilalui oleh aliran-aliran menyimpang. Sebab ketika sudah tahu tentang sifat wajib bagi Allah, sifat Muhal bagi Allah, sifat Jaiz bagi Allah dll. Maka tidak akan mudah terombang-ambing oleh pemahaman-pemahaman sesat yang merugikan bagi keluarga kita. Kedua, al-Fahmu, (paham). Setelah hafal, maka memasuki ruang selanjutnya adalah memahami dari yang dihafalkan. Tentu didalam memahaminya butuh bimbingan dari seorang guru. Dari sinilah akan muncul dan tumbuh melekat pada diri seorang anak mengenai urgensitas aqidah dalam bingkai kehidupan. Dengan metode pemahaman yang disampaikan oleh seorang guru tersbut sangat tidak mungkin akan mudah dibawa kejalur yang tidak semestinya. Ketiga al-I’tiqad yakni keyakinan, artinya buah dari dua metode tersebut akan dirasakan dalam bentuk i’tiqad yang betul-betul matang lewat menghafal dan memahami. Dua jalur itu merupakan pintu menuju pembenaran dan keyakinan terhadap akidah yang dianut oleh kita semua.
Tiga metode yang digambarkan oleh al-Ghazali diatas sebagai pembenteng bagi anak-anak kita dari gempuran paham-paham sesat yang terus-menerus digaungkan oleh kelompok-kelompok yang tidak ingin Aswaja berkembang. Paling tiga metode tersbut sebagai wasilah dalam mengembangkan pola pikir ini agar tidak menyimpang dari pa yang telah digariskan oleh syariat lewat para Rasul dan para ulama sebagai pewaris nabi.
Namun demikian, corak pemikiran yang belakangan berkembang pada mulanya bukan hanya ditopang oleh bahaya pemikiran sesat, tetapi iming-iming materi menjadi destinasi dari perjuangan kelompok lain untuk menghancurkan generasi-gnerasi Islam Aswaja. Dari sinilah PR kita dimulai. Akidah rapuh terkadang memang berawal dari ketidak pahaman dan keliru dalam memahaminya. Namun yang tidak bisa dianggap enteng adalah; akidah sudah mapan, dikarenakan ada stimulasi limpahan materi akhirnya menual agama sebagai target kehidupan. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan yang serba sulit akan membawa kejurag penukaran agama dengan kesenangan sesaat yaitu uang. Walhasil, mari kita jaga keluarga dan anak-anak kita dari paham-paham sesat, Radikal dll, senyampang kita mau berusaha insyaallah gubahan bait-baiy aqidah yang pelopori oleh Syekh Sayyid Ahmad Marzuki akan menjadi penyelamat bagi anak dan keluarga kita.
(Ust. Ahrori Dhofir)

0 komentar:

Posting Komentar