Ahkhir-akhir ini seakan tak ada yang krusial dalam mengisi diskusi
resmi atau tidak resmi kecuali ranah aqidah. Perbincangan mengenai aqidah atau
paham yang mengancam eksistensi Ahlussunah wal Jmaah menjadi menu sehari-hari.
Ya, memang hal itu adalah keniscayaan dalam beragama. Tentu, tidak luput dengan
cara-cara ilmiah pula. Sebuah hal yang pokok dalam Islam adalah menjaga aqidah.
hal yang niscaya bahwa menjaga keluarga dari api neraka merupakan perintah
Allah dalam al-Quran. Menjaga keluarga dari ancaman siksa Allah praktis tidak
perlu dijelaskan dengan detail. Toh, itu kewajiban semua orang. Terlebih
ada anjuran sangat jelas dalam al-Quran terkait dengan hal itu.
Disadari atau tidak belakangan ini serangan secara massif untuk
mengkaburkan kemurnian aqidah sudah ada detak jantung kita. Apapun alasannya itu
merupakan ancaman serius bagi kehidupan umat Islam Ahlussunnah Waljamaah. Beberapa
sekte sudah memasang kuda-kuda untuk menghancurkan paham Aswaja yang dianut oleh
mayoritas umat Islam didunia. Memang kita tidak bisa menutup mata dengan
perkembangan itu semua. Adalah lumrah ketika kita berada diporos mayoritas,
seakan-akan greget dan militansi dalam memperjuangkan aqidah Ahlussunah
waljamaah bisa dikatan rendah. Hal itu-sekali lagi- adalah wajar dan bisa
dimaklumi. Pandangan-pandangan tersebut tak lepas dari sedikit arogansi yang
melekat pada invidu umat Islam. Jadinya, kelompok mayoritas terlena dan percaya
dengan situasi yang tak menentu, dan memulai kebinungan ketika umat dicaplok
orang lain. Disinilah urgensitas kita guna memacu lebih semangat lagi untuk
selalu memberi pengajaran dan pemahaman aqidah terhadap umat islam, minimal
harus dimulai dari keluarga sendiri.
Sejatinya agar greget dalam mempertahankan aqidah tidak bisa lepas
begitu dengan hanya mengandalkan sepak terjang para dai, kiai dan para ustadz
dalam memberi penerahan. Merujuk kepada rekaman diatas, kepala keluarga dalam
hal ini orang tua harus berani mempertegas kepada anak-anaknya supaya tidak terjangkit
pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Bagaimanapun, orang tua adalah sentral
dari segalanya terhadapa pertumbuhan anak menuju kedewasaan berpikir. Sentral
orang tua bukan hanya terletak kepada pertumbuhan anak lewat materi, limpahan
harta, pendidikan formal, namun jauh dari itu semua pendidikan Aqidah harus
diprioritaskan demi menyelamatakan masa depan anak baik didunia mapun
diakhirat. Lantas bagaiamana upaya orang tua menyetir anak-anaknya?
Dalam konteks ini, Imam Ghazali dalam Ihya’nya menjelaskan bahwa
ada tiga metode yang harus dilalui oleh seorang anak guna mencapai terhadap
keyakinan yang betul-betul mantap dan tidak tergoyahkan. Pertama adalah al-Hifdzu,
menghafal, artinya seorang anak jika sudah menghafala hal-hal terkait dengan sifat-sifat
Allah dan yang berkaitan dengannya seakan sudah dimasuki oase keimanan yang
dapat dipastikan menjadi seuah pertumbuhan yang mapan, sehingga akan ada
semacam pagar yang sulit dilalui oleh aliran-aliran menyimpang. Sebab ketika sudah
tahu tentang sifat wajib bagi Allah, sifat Muhal bagi Allah, sifat Jaiz bagi
Allah dll. Maka tidak akan mudah terombang-ambing oleh pemahaman-pemahaman
sesat yang merugikan bagi keluarga kita. Kedua, al-Fahmu,
(paham). Setelah hafal, maka memasuki ruang selanjutnya adalah memahami dari
yang dihafalkan. Tentu didalam memahaminya butuh bimbingan dari seorang guru.
Dari sinilah akan muncul dan tumbuh melekat pada diri seorang anak mengenai
urgensitas aqidah dalam bingkai kehidupan. Dengan metode pemahaman yang
disampaikan oleh seorang guru tersbut sangat tidak mungkin akan mudah dibawa
kejalur yang tidak semestinya. Ketiga al-I’tiqad yakni keyakinan,
artinya buah dari dua metode tersebut akan dirasakan dalam bentuk i’tiqad yang
betul-betul matang lewat menghafal dan memahami. Dua jalur itu merupakan pintu
menuju pembenaran dan keyakinan terhadap akidah yang dianut oleh kita semua.
Tiga metode yang digambarkan oleh al-Ghazali diatas sebagai
pembenteng bagi anak-anak kita dari gempuran paham-paham sesat yang
terus-menerus digaungkan oleh kelompok-kelompok yang tidak ingin Aswaja berkembang.
Paling tiga metode tersbut sebagai wasilah dalam mengembangkan pola pikir ini
agar tidak menyimpang dari pa yang telah digariskan oleh syariat lewat para
Rasul dan para ulama sebagai pewaris nabi.
Namun demikian, corak pemikiran yang belakangan berkembang pada
mulanya bukan hanya ditopang oleh bahaya pemikiran sesat, tetapi iming-iming
materi menjadi destinasi dari perjuangan kelompok lain untuk menghancurkan
generasi-gnerasi Islam Aswaja. Dari sinilah PR kita dimulai. Akidah rapuh terkadang
memang berawal dari ketidak pahaman dan keliru dalam memahaminya. Namun yang
tidak bisa dianggap enteng adalah; akidah sudah mapan, dikarenakan ada
stimulasi limpahan materi akhirnya menual agama sebagai target kehidupan. Sebab
tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan yang serba sulit akan membawa kejurag
penukaran agama dengan kesenangan sesaat yaitu uang. Walhasil, mari kita jaga
keluarga dan anak-anak kita dari paham-paham sesat, Radikal dll, senyampang
kita mau berusaha insyaallah gubahan bait-baiy aqidah yang pelopori oleh Syekh
Sayyid Ahmad Marzuki akan menjadi penyelamat bagi anak dan keluarga kita.
(Ust. Ahrori Dhofir)
(Ust. Ahrori Dhofir)
0 komentar:
Posting Komentar