KH. Moh. Nasir Yasin;
Cucu Syaichona Moh. Cholil yang ‘Alim dan Khumul
Tidak semua kalangan mengenal
beliau. Bahkan konon ceritanya ketika sedang naik becak, si tukang becak justru
bercerita panjang lebar tentang kealiman Kiai Nasir tanpa sadar bahwa yang
diceritakan adalah penumpangnya. Begitulah Kiai Moh. Nasir Yasin, Cucu
Syaichona Moh. Cholil yang ‘alim dan khumul (law profil).
KH. Moh. Nasir hidup di lingkungan
pesantren Kepang, Bangkalan. Beliau lahir dari pasangan darah biru, yaitu Kiai
Yasin dan Nyai Asma binti Syaichona Moh. Cholil. Tidak ada keterangan pasti
tentang waktu kelahiran beliau. Menurut sebagian putranya, beliau lahir pada
tahun 1935 M. Hal ini berdasarkan bukti, bahwa di waktu mudanya beliau ikut
membereskan persenjataan Jepang yang menyerah tanpa syarat pada tentara
Inggris. Sedangkan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1945 M.
Nasir ramaja, adalah sosok lora
yang terbilang nakal, layaknya bukan putra seorang kiai dan cucu Syaichona Moh.
Cholil. Rambutnya gondrong, acap kali balapan dengan kereta api menggunakan
sepeda ontel, start di Kamal dan finish di Bangakalan. Bahkan, diriwayatkan
pula bahwa beliau pernah mabuk dan pinsan di pasar sebab terlalu banyak
mengkonsumsi soto.
Akhirnya, Kiai Yasin menyuruh Nasir
remaja untuk menempuh pendidikan di Makkah al-Mukarromah. Berguru kepada Syekh
Hasan al-Yamani dan Syekh Alawi al-Maliki. Di tanah kelahiran Rosulullah ini,
beliau banyak mengabdi (ngabuleh) kepada guru-gurunya, selain
rutinitas mengaji kepada mereka. Sejak saat itulah beliau tidak lagi tercatat
sebagai anak yang nakal.
Di Makkah, beliau rajin menuntut
ilmu dan tekun mengabdi kepada guru. Pengabdiannya dibuktikan dengan keikhlasan
beliau untuk tetap bertahan di Makkah, meski rekan-rekan beliau, termasuk Kiai
Cholil Yasin (kakak kandung Kiai Nasir), telah memilih untuk boyong.
Kiai Nasir memilih tetap di Makkah dengan
alasan masih ingin mengabdi. Selain itu, masih ada rasa berat hati untuk
meninggalkan sang guru. Karena beliaulah yang mengurusi kebutuhan dhalem
(kediaman) gurunya, mulai dari pelayanan sampai urusan putra-putra gurunya. Di
antara sahabat Kiai Nasir yang juga mondok di Makkah adalah KH. Hasan Iraqi
(Sampang), ulama yang terkenal sangat ‘alim di Madura, KH. Tajul Anwar
(Sambilengan Sampang), dan KH. Cholil Yasin, Kakak Kandung Kiai Nasir Yasin.
Beliau baru berkenan kembali ke
Bangkalan ketika dikabarkan bahwa Ayahanda beliau, Kiai Yasin telah wafat.
Beliau diperintah untuk pulang oleh gurunya, yaitu Syekh Hasan al-Yamani. Ada
yang unik dari proses kepulangan Kiai Nasir ke Bangkalan, yaitu beliau bisa
pulang tanpa perlu mengantongi paspor.
Usai menuntut ilmu di Makkah,
beliau melanjutkan rihlah ilmiyahnya di Siwulan Panji Buduran Sidoarjo. Tapi
hanya sebentar, karena niat beliau ke Siwulan dalam rangka tabbarukan saja.
Setelah dari Siwulan beliau baru
menikah, dan dikaruniai sebelas buah hati yaitu, KH. Moh. Cholil Nasir, KH.
Abd. Halim Nasir, KH. Moh. Yusuf Nasir, Nyai Nur Fathonah Nasir, KH. Makki
Nasir, KH. Ahmad Rahbini Nasir, Nyai Siti Fatimah Nasir, KH. Hasyim Asy’ari
Nasir, KH. Abd. Latif Nasir, KH. Abd. Mu’in Nasir, dan Nyai Tsurayya Nasir.
Masyhur ‘Alim tapi Enggan Mengajar
Pada mulanya, Kiai Nasir yang sudah
ditinggal wafat oleh ayahandanya masih berkenan meneruskan perjuangan sang
abah. Beliau masih mengajar para santri bersama Kiai Cholil Yasin di Pondok
Pesantren Al-Falah, Kepang. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena
sekitar tahun 70-an beliau pindah ke daerah Senenan (sekitar 1 Km di selatan
Kepang).
Masyhurnya kealiman Kiai Nasir,
membuat para santri waktu itu tetap ingin menimba ilmu pada beliau. Di kediaman
barunya, banyak juga para santri yang rutin mengaji kepada beliau, seperti
santri dari Kepang dan santri Demangan. Tapi pada akhirnya, -entah apa alasan
beliau- semua santri yang ngaji beliau usir. Mereka disuruh pindah oleh Kiai
Nasir seraya mengatakan, “Engkok tak mulangah. Mun Ngajhiyeh entar ke
Demangan Otabe ke Kepang” (saya tidak mau mengajar. Kalau ingin mengaji
silahkan ke Pondok Demangan atau Ke Pondok Kepang).
Kealiman Kiai Nasir dikenal banyak
kalangan, sekalipun sebatas melalui cerita dari mulut ke mulut. Padahal, banyak
di antara mereka yang tidak tahu sosok kiai Nasir sendiri, sebagaimana kisah
tukang becak tadi.
Cucu Syaichona Moh. Cholil yang khumul
Menjadi cucu dari seorang waliullah
yang kesohor di nusantara, tidak lantas membuat Kiai Nasir berbangga diri.
Justru beliau pernah berpesan kepada para salah satu putranya untuk tidak
mengandalkan garis keturunannya. Beliau mengibaratkan, bahwa beliau tak ubahnya
seekor kera berpayung emas. Maksudnya emas adalah sang kakek, yaitu Syaichona
Moh. Cholil.
Konon, suatu hari beliau melakukan
pekerjaan yang sangat beliau gemari, yaitu ziarah ke makan para wali. Waktu
itu, Kiai Nasir ziarah ke makam salah seorang waliyullah di Makam Luar Batang, Jakarta.
Tiba-tiba, ada seseorang yang sedang menunggu kedatangan beliau. Setelah kiai
Nasir tiba, orang itu berkata “Saya disuruh guru saya untuk menunggu
panjenengan. Apakah jenengan kiai Nasir?”.
Bukannya mengiyakan, bahkan kiai
Nasir menjawab pertanyaan orang tersebut dengan nada agak tinggi, “Saya bukan
Kiai Nasir, tapi Haji Nasir”. Beliau menolak untuk di panggil kiai. Namun orang
itu tetap bersikukuh dengan keyakinan awalnya, bahwa orang yang berdiri di
hadapannya adalah sosok Kiai Nasir Yasin dari Bangkalan. Akhirnya Kiai Nasir
marah-marah, “Saya bukan kiai Nasir, tapi cukup Haji Nasir!”.
Wafatnya Penyeimbang Bangkalan
Meski enggan untuk menampilkan
status diri ke permukaan, kiai Nasir tetap berperan penting menentukan situasi
dan masa depan Bangkalan. Peran yang dilakukan beliau bisa dikatakan rahasia
tapi tidak sederhana. Sebagai sesepuh Bangkalan, beliau sering mengarahkan
kiai-kiai Bangkalan untuk menempati posisi yang dianggap pas dan lebih
bermanfaat bagi masyarakat.
Konon, ketika Kiai Abdullah Schal,
yang tak lain adalah keponakan kiai Nasir sedang dihimpit permasalahan ekonomi,
Kiai Abdullah pernah berkeinginan untuk memilih bekerja dan mengikuti jejak
kiai Nasir menjadi pengusaha. Tapi Kiai Nasir melarang keinginan Kiai Abdullah.
Beliau meminta agar kiai Abdullah tetap istiqamah meneruskan perjuangannya
dengan mengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil, Demangan.
Kiai Nasir berpesan kepada Kiai
Abdullah “Jhe’ alakoh Kabbhi. Mun pas kaloar kabbhi sapah se mulangah e
dhelem?” (jangan bekerja semua. Kalau semua keluar, siapa lagi yang akan
mengajar di dalam pesantren?). Menurut beliau, persoalan ekonomi tidak perlu
dikhawatirkan. Karena dengan mengajar, semua kebutuhan dunia akan datang dengan
sendirinya. Pesan yang beliau sampaikan ini sangat ditaati betul oleh kiai
Abdullah Schal. Begitulah di antara peran Kiai Nasir terhadap tokoh-tokoh di
Bangkalan.
Akhirnya, Pada hari Rabu 25 April 2001 M,
berita duka melanda Bangkalan. Kiai Nasir Yasin, sosok kiai khumul yang
dinobatkan sebagai penjaga keseimbangan Bangkalan telah berpulang ke
Rahmatullah. Inna lillahi wa inna Ilahi Raji’un. Semoga segala amal baik
beliau diterima di sisi Allah. Semoga kelak kita bisa berkumpul bersama beliau
beserta Syaichona Moh. Cholil di surga Allah. Amin ya rabbal ‘alamin.
Klarifikasi:
1. Kiai Cholil Yasin, adik kandung/kakak kandung Kiai Nasir?
2. “Asy`ary” memakai “i”/”y”?
3. “Istri beliau”, dhomir (kata ganti) “beliau”, marji` dhomirnya pada
kiai Nasir/kiai Abdullah Schal?
Masyaalloh Tabarokalloh
BalasHapus