(Tab Widget 2)

Rabu, 22 Februari 2017

KH. Moh. Nasir Yasin (ASCHAL Edisi 16)


KH. Moh. Nasir Yasin;
Cucu Syaichona Moh. Cholil yang ‘Alim dan Khumul

Tidak semua kalangan mengenal beliau. Bahkan konon ceritanya ketika sedang naik becak, si tukang becak justru bercerita panjang lebar tentang kealiman Kiai Nasir tanpa sadar bahwa yang diceritakan adalah penumpangnya. Begitulah Kiai Moh. Nasir Yasin, Cucu Syaichona Moh. Cholil yang ‘alim dan khumul (law profil).
KH. Moh. Nasir hidup di lingkungan pesantren Kepang, Bangkalan. Beliau lahir dari pasangan darah biru, yaitu Kiai Yasin dan Nyai Asma binti Syaichona Moh. Cholil. Tidak ada keterangan pasti tentang waktu kelahiran beliau. Menurut sebagian putranya, beliau lahir pada tahun 1935 M. Hal ini berdasarkan bukti, bahwa di waktu mudanya beliau ikut membereskan persenjataan Jepang yang menyerah tanpa syarat pada tentara Inggris. Sedangkan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1945 M.
Nasir ramaja, adalah sosok lora yang terbilang nakal, layaknya bukan putra seorang kiai dan cucu Syaichona Moh. Cholil. Rambutnya gondrong, acap kali balapan dengan kereta api menggunakan sepeda ontel, start di Kamal dan finish di Bangakalan. Bahkan, diriwayatkan pula bahwa beliau pernah mabuk dan pinsan di pasar sebab terlalu banyak mengkonsumsi soto.
Akhirnya, Kiai Yasin menyuruh Nasir remaja untuk menempuh pendidikan di Makkah al-Mukarromah. Berguru kepada Syekh Hasan al-Yamani dan Syekh Alawi al-Maliki. Di tanah kelahiran Rosulullah ini, beliau banyak mengabdi (ngabuleh) kepada guru-gurunya, selain rutinitas mengaji kepada mereka. Sejak saat itulah beliau tidak lagi tercatat sebagai anak yang nakal.
Di Makkah, beliau rajin menuntut ilmu dan tekun mengabdi kepada guru. Pengabdiannya dibuktikan dengan keikhlasan beliau untuk tetap bertahan di Makkah, meski rekan-rekan beliau, termasuk Kiai Cholil Yasin (kakak kandung Kiai Nasir), telah memilih untuk boyong.
 Kiai Nasir memilih tetap di Makkah dengan alasan masih ingin mengabdi. Selain itu, masih ada rasa berat hati untuk meninggalkan sang guru. Karena beliaulah yang mengurusi kebutuhan dhalem (kediaman) gurunya, mulai dari pelayanan sampai urusan putra-putra gurunya. Di antara sahabat Kiai Nasir yang juga mondok di Makkah adalah KH. Hasan Iraqi (Sampang), ulama yang terkenal sangat ‘alim di Madura, KH. Tajul Anwar (Sambilengan Sampang), dan KH. Cholil Yasin, Kakak Kandung Kiai Nasir Yasin.
Beliau baru berkenan kembali ke Bangkalan ketika dikabarkan bahwa Ayahanda beliau, Kiai Yasin telah wafat. Beliau diperintah untuk pulang oleh gurunya, yaitu Syekh Hasan al-Yamani. Ada yang unik dari proses kepulangan Kiai Nasir ke Bangkalan, yaitu beliau bisa pulang tanpa perlu mengantongi paspor.
Usai menuntut ilmu di Makkah, beliau melanjutkan rihlah ilmiyahnya di Siwulan Panji Buduran Sidoarjo. Tapi hanya sebentar, karena niat beliau ke Siwulan dalam rangka tabbarukan saja.
Setelah dari Siwulan beliau baru menikah, dan dikaruniai sebelas buah hati yaitu, KH. Moh. Cholil Nasir, KH. Abd. Halim Nasir, KH. Moh. Yusuf Nasir, Nyai Nur Fathonah Nasir, KH. Makki Nasir, KH. Ahmad Rahbini Nasir, Nyai Siti Fatimah Nasir, KH. Hasyim Asy’ari Nasir, KH. Abd. Latif Nasir, KH. Abd. Mu’in Nasir, dan Nyai Tsurayya Nasir.

Masyhur ‘Alim tapi Enggan Mengajar
Pada mulanya, Kiai Nasir yang sudah ditinggal wafat oleh ayahandanya masih berkenan meneruskan perjuangan sang abah. Beliau masih mengajar para santri bersama Kiai Cholil Yasin di Pondok Pesantren Al-Falah, Kepang. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena sekitar tahun 70-an beliau pindah ke daerah Senenan (sekitar 1 Km di selatan Kepang).
Masyhurnya kealiman Kiai Nasir, membuat para santri waktu itu tetap ingin menimba ilmu pada beliau. Di kediaman barunya, banyak juga para santri yang rutin mengaji kepada beliau, seperti santri dari Kepang dan santri Demangan. Tapi pada akhirnya, -entah apa alasan beliau- semua santri yang ngaji beliau usir. Mereka disuruh pindah oleh Kiai Nasir seraya mengatakan, “Engkok tak mulangah. Mun Ngajhiyeh entar ke Demangan Otabe ke Kepang” (saya tidak mau mengajar. Kalau ingin mengaji silahkan ke Pondok Demangan atau Ke Pondok Kepang).
Kealiman Kiai Nasir dikenal banyak kalangan, sekalipun sebatas melalui cerita dari mulut ke mulut. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak tahu sosok kiai Nasir sendiri, sebagaimana kisah tukang becak tadi.

Cucu Syaichona Moh. Cholil yang khumul
Menjadi cucu dari seorang waliullah yang kesohor di nusantara, tidak lantas membuat Kiai Nasir berbangga diri. Justru beliau pernah berpesan kepada para salah satu putranya untuk tidak mengandalkan garis keturunannya. Beliau mengibaratkan, bahwa beliau tak ubahnya seekor kera berpayung emas. Maksudnya emas adalah sang kakek, yaitu Syaichona Moh. Cholil.
Konon, suatu hari beliau melakukan pekerjaan yang sangat beliau gemari, yaitu ziarah ke makan para wali. Waktu itu, Kiai Nasir ziarah ke makam salah seorang waliyullah di Makam Luar Batang, Jakarta. Tiba-tiba, ada seseorang yang sedang menunggu kedatangan beliau. Setelah kiai Nasir tiba, orang itu berkata “Saya disuruh guru saya untuk menunggu panjenengan. Apakah jenengan kiai Nasir?”.
Bukannya mengiyakan, bahkan kiai Nasir menjawab pertanyaan orang tersebut dengan nada agak tinggi, “Saya bukan Kiai Nasir, tapi Haji Nasir”. Beliau menolak untuk di panggil kiai. Namun orang itu tetap bersikukuh dengan keyakinan awalnya, bahwa orang yang berdiri di hadapannya adalah sosok Kiai Nasir Yasin dari Bangkalan. Akhirnya Kiai Nasir marah-marah, “Saya bukan kiai Nasir, tapi cukup Haji Nasir!”.

Wafatnya Penyeimbang Bangkalan
Meski enggan untuk menampilkan status diri ke permukaan, kiai Nasir tetap berperan penting menentukan situasi dan masa depan Bangkalan. Peran yang dilakukan beliau bisa dikatakan rahasia tapi tidak sederhana. Sebagai sesepuh Bangkalan, beliau sering mengarahkan kiai-kiai Bangkalan untuk menempati posisi yang dianggap pas dan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Konon, ketika Kiai Abdullah Schal, yang tak lain adalah keponakan kiai Nasir sedang dihimpit permasalahan ekonomi, Kiai Abdullah pernah berkeinginan untuk memilih bekerja dan mengikuti jejak kiai Nasir menjadi pengusaha. Tapi Kiai Nasir melarang keinginan Kiai Abdullah. Beliau meminta agar kiai Abdullah tetap istiqamah meneruskan perjuangannya dengan mengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil, Demangan.
Kiai Nasir berpesan kepada Kiai Abdullah “Jhe’ alakoh Kabbhi. Mun pas kaloar kabbhi sapah se mulangah e dhelem?” (jangan bekerja semua. Kalau semua keluar, siapa lagi yang akan mengajar di dalam pesantren?). Menurut beliau, persoalan ekonomi tidak perlu dikhawatirkan. Karena dengan mengajar, semua kebutuhan dunia akan datang dengan sendirinya. Pesan yang beliau sampaikan ini sangat ditaati betul oleh kiai Abdullah Schal. Begitulah di antara peran Kiai Nasir terhadap tokoh-tokoh di Bangkalan.
 Akhirnya, Pada hari Rabu 25 April 2001 M, berita duka melanda Bangkalan. Kiai Nasir Yasin, sosok kiai khumul yang dinobatkan sebagai penjaga keseimbangan Bangkalan telah berpulang ke Rahmatullah. Inna lillahi wa inna Ilahi Raji’un. Semoga segala amal baik beliau diterima di sisi Allah. Semoga kelak kita bisa berkumpul bersama beliau beserta Syaichona Moh. Cholil di surga Allah. Amin ya rabbal ‘alamin.


Klarifikasi:
1.     Kiai Cholil Yasin, adik kandung/kakak kandung Kiai Nasir?
2.     “Asy`ary” memakai “i”/”y”?

3.     “Istri beliau”, dhomir (kata ganti) “beliau”, marji` dhomirnya pada kiai Nasir/kiai Abdullah Schal?


1 komentar: