(Tab Widget 2)

Selasa, 31 Januari 2017

MENGULAS SENYUMAN DALAM PERILAKU (ASCHAL Edisi 13)



Kering, tandus, dan tak ada harga nya bila kegersangan dibiarkan saja tanpa ada bentuk kesungguhan dalam memperbaikinya, sudah banyak yang terjadi dari sekian waktu, namun kesemuanya hanya berkisar dalam hal yang itu-itu saja, tidak pernah ada perubahan. Para pengamat yang mengetahui keberadaannya mungkin tak lepas dari kengerian melihat pemandangan yang begitu hampa namun dalam kemasan yang menipu mata dan pandangan hingga sepintas saja, seakan lebih dari sesuatu  yang ada dalam pandangan mata.
Apalagi kekonyolan semakin menjadi, jika keseluruhan yang kita harapkan tidak pernah ada ujung kepastian melewati keseriusan yang kita buktikan, di mulai dari kekeliruan kerangka berfikir sampai cara pandang  yang mungkin menurut penilaiannya adalah kearifan diri dan lingkungannya, pada hal tak ubahnya semua perilaku yang di pancarkan menjadi bukti kegelisahan orang-orang yang ada di sekitarnya, perilaku itu di mulai dari bentuk terkecil hingga melepuh dalam bentuk yang tak dapat di bayangkan, satu watak memulai kekeliruannya dari ekpresi jiwanya dan terpancar kepada lingkungan sekitarnya,  kemudian dapat pembenaran dari orang-orang yang merasa senasib dan seperjuangan, hingga terjadilah yang namanya pembenaran kelompok yang membenarkan kebusukan bergerombol.
Kesemuanya itu terjadi disebabkan gersang dan keringnya dari kesadaran posisi  yang di lakoninya, perubahan waktu, pergantian hari dan siang hingga pergantian bulan dan tahun tak ubahnya bahasa masa, yang dipergunakan Allah dalam mendidik hambanya agar dapat membaca kesadaran sekitar yang di ulas dalam bahasa ahwalul akwanat namun terkadang kita lupa bahwa kesemuanya yang ada di sekitar kita tidaklah terlepas dari kesinambungan antara yang satu dengan yang lain. Cobalah sepintas kita lihat dalam bulan yang di kenal dengan asyhurul hurum bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah, pada bulan ini Allah melarang hambanya melakukan hal-hal yang berbau keji, hal-hal yang menyimpang dari aturan kehidupan dan merusak jalan yang sudah menjadi sunnatullah.
Katakanlah di salah satu bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah ini, semisal bulan Muharram, di dalamnya banyak peristiwa sejarah terjadi, keseluruhannya sebagai uswah bagi yang menyaksikan dan perilaku pembimbing bagi pengamat sejarah selanjutnya, mulai dari peristiwa tertelannya Nabi Yunus dalam perut ikan hiu, peristiwa terciptanya langit dan bumi, peristiwa di hancurkannya kaum Sodom, peristiwa banjir yang melanda kaum Nabi Nuh, peristiwa pertumpahan darah  yang memakan korban sabtirrasul sayyidina Husain di karbala, hingga peristiwa-peristiwa besar lainnya yang turut serta melakoni perilaku yang bermain pada masanya, kesemuanya itu hanya menjadi pemandangan yang hanya dapat di nilai oleh generasi berikutnya sesuai dengan sudut pandang masing-masing, tetapi kesemuanya tak dapat kita pungkiri, bahwa esensi yang terkandung dalam semua peristiwa tersebut merupakan bentuk didikan yang di berikan Allah untuk orang-orang yang dapat menyaksikan dan mengalisanya, ia dapat mengambil pelajaran baik dari semua peristiwa tersebut jika ia mampu memahami pesan Allah pada perilaku sejarah, tetapi malah sebaliknya, kesemuanya tiada artinya jika kacamata yang dipergunakan menggunakan analisisa pembenaran dari cara pandang yang keliru.
Kesemuanya akan kembali pada masing-masing dari kita sebagai pelaku jalannya sejarah dan pembuat sejarah yang akan di nilai oleh generasi selanjutnya, mampukah kita membuat perjalanan hidup terbaik untuk diri kita di hadapan Allah, kesemuanya tidak terlepas dari kesadaran kita menjalani kepastian hidup dengan rumus sesuai kacamata Allah sebagai pemilik dari hamba yang tak ubahnya semut yang mengerubuti tumpahan madu, jika hanya di giring melakonip esan yang sudah di catat oleh juri sebagai penentu kekalahan dan kemenangan terhadap rival kita yang tak lain sesame manusia dan mahluk yang ada di sekitar kita. Namun jika semua pesan yang diselipkan terhadap ahwalul akwanat tak mampu kita baca,  jalan sunnatullah yang di kehendaki tidaklah akan pernah menjadi keserasian antara pelaku dan lingkungannya, sebaliknya reaksi akan terlahir dari kesalahan yang kita bangun, namun reaksi itu dapat kitarasakan ketika semuanya sudah dalam ambang penyesalan, pada waktu itulah semuanya tak ada artinya,  dan tinggallah penyesalan yang tiada kunjung berakhir.


0 komentar:

Posting Komentar