Kering,
tandus, dan tak ada harga nya bila kegersangan dibiarkan saja tanpa ada bentuk kesungguhan
dalam memperbaikinya, sudah banyak yang terjadi dari sekian waktu, namun kesemuanya
hanya berkisar dalam hal yang itu-itu saja, tidak pernah ada perubahan. Para
pengamat yang mengetahui keberadaannya mungkin tak lepas dari kengerian melihat
pemandangan yang begitu hampa namun dalam kemasan yang menipu mata dan pandangan
hingga sepintas saja, seakan lebih dari sesuatu
yang ada dalam pandangan mata.
Apalagi
kekonyolan semakin menjadi, jika keseluruhan yang kita harapkan tidak pernah ada
ujung kepastian melewati keseriusan yang kita buktikan, di mulai dari kekeliruan
kerangka berfikir sampai cara pandang
yang mungkin menurut penilaiannya adalah kearifan diri dan lingkungannya,
pada hal tak ubahnya semua perilaku yang di pancarkan menjadi bukti kegelisahan
orang-orang yang ada di sekitarnya, perilaku itu di mulai dari bentuk terkecil hingga
melepuh dalam bentuk yang tak dapat di bayangkan, satu watak memulai kekeliruannya
dari ekpresi jiwanya dan terpancar kepada lingkungan sekitarnya, kemudian dapat pembenaran dari orang-orang
yang merasa senasib dan seperjuangan, hingga terjadilah yang namanya pembenaran
kelompok yang membenarkan kebusukan bergerombol.
Kesemuanya
itu terjadi disebabkan gersang dan keringnya dari kesadaran posisi yang di lakoninya, perubahan waktu, pergantian
hari dan siang hingga pergantian bulan dan tahun tak ubahnya bahasa masa, yang dipergunakan
Allah dalam mendidik hambanya agar dapat membaca kesadaran sekitar yang di ulas
dalam bahasa ahwalul akwanat namun terkadang kita lupa bahwa kesemuanya yang
ada di sekitar kita tidaklah terlepas dari kesinambungan antara yang satu dengan
yang lain. Cobalah sepintas kita lihat dalam bulan yang di kenal dengan asyhurul
hurum bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah, pada bulan ini Allah melarang hambanya
melakukan hal-hal yang berbau keji, hal-hal yang menyimpang dari aturan kehidupan
dan merusak jalan yang sudah menjadi sunnatullah.
Katakanlah
di salah satu bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah ini, semisal bulan
Muharram, di dalamnya banyak peristiwa sejarah terjadi, keseluruhannya sebagai uswah
bagi yang menyaksikan dan perilaku pembimbing bagi pengamat sejarah selanjutnya,
mulai dari peristiwa tertelannya Nabi Yunus dalam perut ikan hiu, peristiwa terciptanya
langit dan bumi, peristiwa di hancurkannya kaum Sodom, peristiwa banjir yang
melanda kaum Nabi Nuh, peristiwa pertumpahan darah yang memakan korban sabtirrasul sayyidina
Husain di karbala, hingga peristiwa-peristiwa besar lainnya yang turut serta melakoni
perilaku yang bermain pada masanya, kesemuanya itu hanya menjadi pemandangan
yang hanya dapat di nilai oleh generasi berikutnya sesuai dengan sudut pandang masing-masing,
tetapi kesemuanya tak dapat kita pungkiri, bahwa esensi yang terkandung dalam semua
peristiwa tersebut merupakan bentuk didikan yang di berikan Allah untuk
orang-orang yang dapat menyaksikan dan mengalisanya, ia dapat mengambil pelajaran
baik dari semua peristiwa tersebut jika ia mampu memahami pesan Allah pada perilaku
sejarah, tetapi malah sebaliknya, kesemuanya tiada artinya jika kacamata yang
dipergunakan menggunakan analisisa pembenaran dari cara pandang yang keliru.
Kesemuanya
akan kembali pada masing-masing dari kita sebagai pelaku jalannya sejarah dan pembuat
sejarah yang akan di nilai oleh generasi selanjutnya, mampukah kita membuat perjalanan
hidup terbaik untuk diri kita di hadapan Allah, kesemuanya tidak terlepas dari kesadaran
kita menjalani kepastian hidup dengan rumus sesuai kacamata Allah sebagai pemilik
dari hamba yang tak ubahnya semut yang mengerubuti tumpahan madu, jika hanya di
giring melakonip esan yang sudah di catat oleh juri sebagai penentu kekalahan dan
kemenangan terhadap rival kita yang tak lain sesame manusia dan mahluk yang ada
di sekitar kita. Namun jika semua pesan yang diselipkan terhadap ahwalul akwanat
tak mampu kita baca, jalan sunnatullah
yang di kehendaki tidaklah akan pernah menjadi keserasian antara pelaku dan lingkungannya,
sebaliknya reaksi akan terlahir dari kesalahan yang kita bangun, namun reaksi itu
dapat kitarasakan ketika semuanya sudah dalam ambang penyesalan, pada waktu itulah
semuanya tak ada artinya, dan tinggallah
penyesalan yang tiada kunjung berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar