Allah,
biarkan surga itu kutemukan,
untuk
sekedar kucium aroma senyumnya,
atau sekedar
memeluknya, meski hanya sesaat.
"Harusnya
kamu bersyukur, Jann. Kamu memiliki keluarga yang sempurna, Ayah, Ibu dan Kakak" ungkapku pada Janna, teman sekamarku di pesantren Al-Hidayah Bangkalan.
"Kamu
tidak mengerti Faa, mereka semua tidak ada yang memahamiku, aku selalu saja
harus menuruti apa kemauan Ayah dan Ibu, aku lelah Faa" Percakapan malam itu berakhir dengan
senyuman dibibir Diana Durriyatul Janna. Setidaknya gundahku sedikit terobati oleh
senyum manis sahabatku itu.
Manusia yang paling lemah ialah orang
yang tidak mau mencari teman, namun yang lebih lemah
dari itu ialah orang yang mendapatkan banyak teman tapi menyia-nyiakannya. (Ali
Bin Abi Thalib)
Genap 5 bulan lamanya aku bergelar
santriwati, gelar yang selama ini hanya menetap dalam angan, dan sungguh indah
cara Allah membawaku kedalam penjara suci. Mudah memang bagi-Nya melakukan hal
diluar pemikiran manusia, hanya berperantara dompet Pak Kiai yang kutemukan
dijalan dekat rumah, Allah mengangkat statusku dari gadis sebatangkara menjadi
penghuni tempat keramat bernama "pesantren".
“Kamu itu hanya santriwati pungutan,
yang berada dipesantren karena belas kasihan Pak Kiai saja!” suara lantang Dina menampar hatiku. Hanya karena ada sedikit noda pada pakaiannya yang
kucuci, dia begitu murka sehingga mengeluarkan kata kasar padaku.
“Maaf Din, biar nanti kucuci ulang
bajumu” kucoba minta maaf padanya, namun sepertinya dia begitu dendam padaku.
Sekarang tepat hari jum’at, hari libur
sekaligus hari santriwati dikirim dan djenguk oleh sanak family.
“Pasti sangat membahagiakan jika
dijenguk oleh keluarga, melunasi rindu”
Kupaksakan sesenyum, getir menghiasi
wajahku, maklum saja, keberadaanku dipesantren ini hanya atas permintaan
pengasuh, mungkin beliau iba mengetahui aku yang hidup sebatangkara. Setelah Nenekku meninggal 8 bulan yang lalu. Seseorang yang paling berarti dalam
hela nafasku, dia satu-satunya yang aku miliki di dunia ini, setelah kedua orangtuaku pergi entah kemana dan meninggalkanku didepan
gubuk Mbah Siti 18 tahun yang lalu.
“Doakan saja nak, semoga kedua orang tuamu selalu dalam lindungan sang Maha kuasa” Mbah tak pernah jera
memberiku nasehat ketika aku mengeluh perihal kedua orangtuaku.
“Semoga surga adalah hadiah terindah atas segala kebaikanmu, Mbah”
Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda,
“Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim yang lain; tidak boleh
menganiaya atau membiarkan dianiaya. Dan barangsiapa memenuhi hajat saudaranya
maka Allah akan melaksanakan hajatnya. Dan barangsiapa membebaskan kesusahan
seorang Muslim maka Allah akan membebaskannya di hari kiamat. Dan barangsiapa
menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.”
(Bukhari – Muslim)
***
Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda,
“Mencaci maki seorang Muslim adalah fasiq (melanggar agama) dan memerangi
seorang Muslim adalah kafir.”(Bukhari – Muslim)
“Hei buruh cuci! Ini tugasmu hari ini” suara Dina
sembari melemparkan tumpukan baju kearahku.
“Dan ini
upahmu, awas kalau ada noda yang tertinggal lagi dibajuku” dia melemparkan uang
Rp. 5.000 kewajahku dan pergi tanpa menunggu jawabku.
Semenjak 2 bulan lalu, aku memutuskan
menjadi tukang cuci pakaian para santriwati yang enggan mencuci pakainnya
sendiri. Dengan bayaran ala kadarnya, seikhlas yang mereka berikan. Setidaknya
uang hasil mencuci dapat aku simpan untuk nantinya kubelikan kitab atau buku
bacaan.
“Ulfa, apa
kamu tidak capek masih menerima cucian kotor teman-teman, kegiatan pesantren
amat padat, kapan waktumu untuk istirahat?” suatu saat Janna memprotes
kegiatanku sebagai buruh cuci. Dia sebenarnya orang yang baik, iba pada orang lain dan
juga perhatian, hanya saja terkadang emosinya tidak stabil dan menjadi agak
egois.
“Ih dasar
kamu Faa!”, ungkapnya kesal ketika kuhanya tersenyum sembari mengedipkan
sebelah mataku padanya.
“Allah,
hamba mohon, pertemukanlah hamba dengan kedua orangtua hamba meski hanya dalam
mimpi, aamiin” kututup kiyamullail kali ini dengan sujud panjang, sepanjang
pengharapanku pada-Nya.
Terkadang aku begitu lelah dengan
hidupku, hidup miskin, sebatangkara, bahkan nama dan wajah kedua orangtuaku,
aku tak tau.
Ketika
imanku melemah, beribu keluh kuungkapkan, kupertanyakan segala keadilan Tuhan,
kenapa aku diberikan nasib yang sebegitu menyedihkannya. Sedangkan anak-anak yang
lainnya? Begitu bergelimang kebahagiaan, keluarga yang lengkap. Kecukupan
hidup, namun syukur tak pernah mereka ungkap. Apakah segala kesedihan dan
keterpurukan ini adalah perjanjianku dengan Tuhan di lauhul mahfudz dahulu? Tuhan, aku lelah. Sepi.
***
“Dina, kaifa
haluki? Ini kubawakan roti, susu dan air. Semoga kamu cepat sembuh yaa”.
Kutinggal
bingkisan dalam plastik hitam didekat pembaringan Dina, sudah dua hari ini dia
sakit. Sebenarnya aku ingin berlama-lama menjenguknya dikamar, tapi dia pasti
tidak menghendaki aku berada didekatnya.
“Duh Faa!
Kamu itu gimana sih, dia kan udah sering nyakitin kamu, kamu ngapain juga masih
menjenguknya, pakek dibawain makanan lagi” ujar Janna dengan gaya bibirnya yang
dimonyongkan.
“Adduh! Aku lupa kalau dia pernah
menyakitiku” aku pura-pura lupa sembari memukul jidadku sendiri, lalu Janna
malah melongos meninggalkanku begitu saja, lucu.
Benar-benar merasa iri melihat
teman-teman dijenguk oleh keluagarnya. Wajah mereka sekeluarga begitu mirip
antara yang satu dan yang lainnya. Mereka bercanda dan tertawa begitu bahagia.
Pasti sangat menyenangkan.
Hmm, apakah
wajahku juga mirip dengan orangtuaku? Dengan Bapak? Atau dengan Ibu?, huff.. Bahkan untuk menyebut nama mereka
berdua dalam doa-doaku saja tak bisa.
“Suatu hari
nanti, semoga aku bisa bertemu dengan Ibu dan Bapak, dalam keadaan apapun, bahkan
jika memang mereka berdua telah meninggal dunia, setidaknya aku bisa menemukan
makam untuk membaca tulisan di batunisan mereka, hingga aku dapat
menyebut nama bapak dan Ibu dalam doa-doaku”.
Ibu..
Apa kabar surga ditelapak sucimu? Ingin sekali merawat surga itu sebaik
yang aku bisa.
Ibu...
Masihkah kau ingat, telah melahirkanku kedunia ini?
Ibu...
Kirimlah ridhomu lewat lantunan doa, lalui hela nafasmu, lewat degup angin
meski mungkin hembusannya tiada mengarah padaku. Aku yakin Tuhan tak pernah
salah menulis takdir.
Ibu...
Salam rindu pada rahimmu, juga pada bapak yang pintu surga ada dalam senyumnya.
“Kamu kenapa Faa?” suara Janna
membuyarkan lamunanku.
“Eh, Janna, tidak apa-apa Jann, aku
hanya merindukan orangtuaku saja”, seketika Janna memelukku erat.
“Orangtuamu pasti orang yang kuat, dan penyabar Faa, seperti
dirimu. Semoga kau cepat bertemu dengan
orangtuamu”
Tiba-tiba saja ada rasaharu yang
menyerbu kalbu, hingga menjelma kabut dan bulir bening dimataku. Allah, terimakasih, telah kau kirimkan
sahabat terbaik dalam hidupku. Ada banyak kebahagiaan yang Engkau beri sebagai
pengganti orangtuaku. Aku tak hendak meminta apapun lagi padamu. Sudah cukup
semua anugrah kebahagiaan yang Engkau beri. Sekarang terserah mau Engkau apakan
hidupku, aku ingin sekedar melunasi takdir.
“Terimakasih sahabat” ucapku dalam
isak.
Campor-Geger:
01 Muharram 1438 H.
Oleh: Putry
Kata. Alumni PP. Darul
Ittihad.
0 komentar:
Posting Komentar