(Tab Widget 2)

Selasa, 03 Januari 2017

MELUNASI TAKDIR



Allah, biarkan surga itu kutemukan,
untuk sekedar kucium aroma senyumnya,
atau sekedar memeluknya, meski hanya  sesaat.
"Harusnya kamu bersyukur, Jann. Kamu memiliki keluarga yang sempurna, Ayah, Ibu dan Kakak" ungkapku pada Janna, teman sekamarku di pesantren Al-Hidayah Bangkalan.
"Kamu tidak mengerti Faa, mereka semua tidak ada yang memahamiku, aku selalu saja harus menuruti apa kemauan Ayah dan Ibu, aku lelah Faa" Percakapan malam itu berakhir dengan senyuman dibibir Diana Durriyatul Janna. Setidaknya gundahku sedikit terobati oleh senyum manis sahabatku itu.
Manusia yang paling lemah ialah orang yang tidak mau mencari teman, namun yang lebih lemah dari itu ialah orang yang mendapatkan banyak teman tapi menyia-nyiakannya. (Ali Bin Abi Thalib)
Genap 5 bulan lamanya aku bergelar santriwati, gelar yang selama ini hanya menetap dalam angan, dan sungguh indah cara Allah membawaku kedalam penjara suci. Mudah memang bagi-Nya melakukan hal diluar pemikiran manusia, hanya berperantara dompet Pak Kiai yang kutemukan dijalan dekat rumah, Allah mengangkat statusku dari gadis sebatangkara menjadi penghuni tempat keramat bernama "pesantren".
“Kamu itu hanya santriwati pungutan, yang berada dipesantren karena belas kasihan Pak Kiai saja!” suara lantang Dina menampar hatiku. Hanya karena ada sedikit noda pada pakaiannya yang kucuci, dia begitu murka sehingga mengeluarkan kata kasar padaku.
“Maaf Din, biar nanti kucuci ulang bajumu” kucoba minta maaf padanya, namun sepertinya dia begitu dendam padaku.
Sekarang tepat hari jum’at, hari libur sekaligus hari santriwati dikirim dan djenguk oleh sanak family.
“Pasti sangat membahagiakan jika dijenguk oleh keluarga, melunasi rindu”
Kupaksakan sesenyum, getir menghiasi wajahku, maklum saja, keberadaanku dipesantren ini hanya atas permintaan pengasuh, mungkin beliau iba mengetahui aku yang hidup sebatangkara. Setelah Nenekku meninggal 8 bulan yang lalu. Seseorang yang paling berarti dalam hela nafasku, dia satu-satunya yang aku miliki di dunia ini, setelah kedua orangtuaku pergi entah kemana dan meninggalkanku didepan gubuk Mbah Siti 18 tahun yang lalu.
“Doakan saja nak, semoga kedua orang tuamu selalu dalam lindungan sang Maha kuasa” Mbah tak pernah jera memberiku nasehat ketika aku mengeluh perihal kedua orangtuaku.
“Semoga surga adalah hadiah terindah atas segala kebaikanmu, Mbah”
Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi sesama Muslim yang lain; tidak boleh menganiaya atau membiarkan dianiaya. Dan barangsiapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan melaksanakan hajatnya. Dan barangsiapa membebaskan kesusahan seorang Muslim maka Allah akan membebaskannya di hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.” (Bukhari – Muslim)
***
Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, “Mencaci maki seorang Muslim adalah fasiq (melanggar agama) dan memerangi seorang Muslim adalah kafir.”(Bukhari – Muslim)
 “Hei buruh cuci! Ini tugasmu hari ini” suara Dina sembari melemparkan tumpukan baju kearahku.
“Dan ini upahmu, awas kalau ada noda yang tertinggal lagi dibajuku” dia melemparkan uang Rp. 5.000 kewajahku dan pergi tanpa menunggu jawabku.
          Semenjak 2 bulan lalu, aku memutuskan menjadi tukang cuci pakaian para santriwati yang enggan mencuci pakainnya sendiri. Dengan bayaran ala kadarnya, seikhlas yang mereka berikan. Setidaknya uang hasil mencuci dapat aku simpan untuk nantinya kubelikan kitab atau buku bacaan.
“Ulfa, apa kamu tidak capek masih menerima cucian kotor teman-teman, kegiatan pesantren amat padat, kapan waktumu untuk istirahat?” suatu saat Janna memprotes kegiatanku sebagai buruh cuci. Dia sebenarnya orang yang baik, iba pada orang lain dan juga perhatian, hanya saja terkadang emosinya tidak stabil dan menjadi agak egois.
“Ih dasar kamu Faa!”, ungkapnya kesal ketika kuhanya tersenyum sembari mengedipkan sebelah mataku padanya.
“Allah, hamba mohon, pertemukanlah hamba dengan kedua orangtua hamba meski hanya dalam mimpi, aamiin” kututup kiyamullail kali ini dengan sujud panjang, sepanjang pengharapanku pada-Nya.
          Terkadang aku begitu lelah dengan hidupku, hidup miskin, sebatangkara, bahkan nama dan wajah kedua orangtuaku, aku tak tau.
Ketika imanku melemah, beribu keluh kuungkapkan, kupertanyakan segala keadilan Tuhan, kenapa aku diberikan nasib yang sebegitu menyedihkannya. Sedangkan anak-anak yang lainnya? Begitu bergelimang kebahagiaan, keluarga yang lengkap. Kecukupan hidup, namun syukur tak pernah mereka ungkap. Apakah segala kesedihan dan keterpurukan ini adalah perjanjianku dengan Tuhan di lauhul mahfudz dahulu? Tuhan, aku lelah. Sepi.
***
“Dina, kaifa haluki? Ini kubawakan roti, susu dan air. Semoga kamu cepat sembuh yaa”.
Kutinggal bingkisan dalam plastik hitam didekat pembaringan Dina, sudah dua hari ini dia sakit. Sebenarnya aku ingin berlama-lama menjenguknya dikamar, tapi dia pasti tidak menghendaki aku berada didekatnya.
“Duh Faa! Kamu itu gimana sih, dia kan udah sering nyakitin kamu, kamu ngapain juga masih menjenguknya, pakek dibawain makanan lagi” ujar Janna dengan gaya bibirnya yang dimonyongkan.
          “Adduh! Aku lupa kalau dia pernah menyakitiku” aku pura-pura lupa sembari memukul jidadku sendiri, lalu Janna malah melongos meninggalkanku begitu saja, lucu.
          Benar-benar merasa iri melihat teman-teman dijenguk oleh keluagarnya. Wajah mereka sekeluarga begitu mirip antara yang satu dan yang lainnya. Mereka bercanda dan tertawa begitu bahagia. Pasti sangat menyenangkan.
Hmm, apakah wajahku juga mirip dengan orangtuaku? Dengan Bapak? Atau dengan Ibu?, huff.. Bahkan untuk menyebut nama mereka berdua dalam doa-doaku saja tak bisa.
“Suatu hari nanti, semoga aku bisa bertemu dengan Ibu dan Bapak, dalam keadaan apapun, bahkan jika memang mereka berdua telah meninggal dunia, setidaknya aku bisa menemukan makam untuk membaca tulisan di batunisan mereka, hingga aku dapat menyebut nama bapak dan Ibu dalam doa-doaku”.
Ibu..
Apa kabar surga ditelapak sucimu? Ingin sekali merawat surga itu sebaik yang aku bisa.
Ibu...
Masihkah kau ingat, telah melahirkanku kedunia ini?
Ibu...
Kirimlah ridhomu lewat lantunan doa, lalui hela nafasmu, lewat degup angin meski mungkin hembusannya tiada mengarah padaku. Aku yakin Tuhan tak pernah salah menulis takdir.
Ibu...
Salam rindu pada rahimmu, juga pada bapak yang pintu surga ada dalam senyumnya.
“Kamu kenapa Faa?” suara Janna membuyarkan lamunanku.
“Eh, Janna, tidak apa-apa Jann, aku hanya merindukan orangtuaku saja”, seketika Janna memelukku erat.
“Orangtuamu pasti orang yang kuat, dan penyabar Faa, seperti dirimu. Semoga kau cepat bertemu dengan orangtuamu”
Tiba-tiba saja ada rasaharu yang menyerbu kalbu, hingga menjelma kabut dan bulir bening dimataku. Allah, terimakasih, telah kau kirimkan sahabat terbaik dalam hidupku. Ada banyak kebahagiaan yang Engkau beri sebagai pengganti orangtuaku. Aku tak hendak meminta apapun lagi padamu. Sudah cukup semua anugrah kebahagiaan yang Engkau beri. Sekarang terserah mau Engkau apakan hidupku, aku ingin sekedar melunasi takdir.
“Terimakasih sahabat” ucapku dalam isak.
Campor-Geger: 01 Muharram 1438 H.

Oleh: Putry Kata. Alumni PP. Darul Ittihad.

0 komentar:

Posting Komentar