Bagaimana
niat yang benar masuk pesantren?
Niat
santri masuk ke pesantren diterangkan dalam kitab Ta’limul Mutaallim; pertama,
niat menghilangkan kebodohan supaya menjadi orang pintar. Kedua, Lii’lai
Kalimatillah (Memuliakan tanda-tanda kebesaran Allah) memuliakan syariat islam,
meningkatkan akidah, supaya orang yang tidak tau bertambah akidahnya, masalah
hukum Fiqihnya dan juga masalah Tasawwuf.
kalau
bicara akidah, akidah ini adalah urusan hati, sedang ilmu Fiqih urusan muamalah
yang halal dan haram. Adapun tasawwuf adalah untuk mendekatkan diri pada Allah. Di setiap pesantren sudah sejalan
dengan tasawwuf. karena apa? Karena ada penghormatan dari santri terhadap
gurunya. Diantara penghormatanya yaitu ilmu tasawwuf. penghormatan orang
kampung/pedesaan termasuk orang yang memang menghoramati, lebih-lebih orang
yang ahli tasawwuf, ahli thoriqot. Thoriqot di sini tidak terfokus pada jenis thoriqot
itu apa, tetapi semua thoriqot, karena semua thoriqot memiliki tujuan yang sama
yaitu bertujuan ingin mendekatkan diri pada Allah SWT. Pokoknya santri itu di
pondok mendapatkan keimanan, selain itu juga mendapatkan ilmu.
Bolehkah
kepentingan duniawi menjadi bagian dari niat?
Orang
yang berniat ukhrowi tetapi diniati
secara duniawi adalah orang yang paling berbahaya. misalnya sholat karena Allah
tetapi niat untuk mendapatkan uang. Mengerjakan perbuatan duniawi ingin
mendapatkan ilmu untuk mencari rejeki yang mana rejeki itu untuk kewajiban
beribadah, menghidupi istri dan anak, melaksanakan kewajban dan sebagainya, Hal
ini bagus. tapi kalau urusan duniawi hanya tertuju pada dunia, atau ukhrowi
hanya tertuju pada akhirat atau kedua-duanya, apalagi urusan akhirat tertuju
pada dunia, Ini paling bahaya. Sepertihalnya juga berdakwah itu karena Allah.
tapi kalau berdakwah untuk mendapatkan uang, Itu tidak boleh.
Dalam
pandangan islam, adakah pengaruh niat terhadap keberhasilan santri?
Pasti
ada. Dengan niat tulus, hati benar-benar menjiwai, ta’zdim terhadap guru,
niat menghormati guru, menjalankan perintah orang tua, harapan orang tua,
menjalankan niat, atau imtitsal karena orang tua, lebih-lebih karena
guru. kalau benar-benar semangat, maka akan berhasil. Hal ini tergantung orang
dan semangatnya. Niat yang ada harus disertai semangat. Meski niat ada kalau
tidak disertai semangat tidak akan berhasil, tetapi bila niat disertai semangat
pasti ada harapan untuk santri.
Sebagian
masyarakat berasumsi bahwa sukses itu memiliki banyak finansial. Pandangan kiai?
Seseorang
yang memiliki banyak finansial (harta) sedikit atau banyak, itu tergantung niatnya.
misalnya kamu memiliki niat membangun gedung yang paling besar, tetapi tidak
memiliki harta yang banyak. Hal itu tidak bisa kecuali memiliki uang. Jadi
tergantung perbuatannya. Kalau perbuatan seseorang sesuai dengan niat, niat
melakukan pekerjaan yang besar harus dengan uang yang besar pula. kalau
pekerjaannya kecil tentunya membutuhkan uang yang sedikit. Ada orang pedesaan
bertanya, “Apakah membutuhkan modal yang besar untuk memiliki kekayaan” kalau
orang sudah banyak hartanya harus ikhlas karena Allah. Nah, hasilnya nanti
untuk kegiatan islam, perjuangan islam, membantu fakir-miskin, untuk
melaksanakan kewajiba haji, untuk membayar kewajiban zakat. Agar orang yang
mengumpulkan harta tersebut tidak termasuk dengan apa yang disabdakan Nabi “Addunya
ro’suhu bikhotiatin”. maksudnya, mengambil harta yang haram untuk sesuatu
yang haram. Kalau orang-orang pedesaan hartanya sedikit. orang-orang yang
tinggi jabatanya mengambil uang haram, yang lebih parah uang haram itu malah
digunakan untuk sesutu yang haram. Ini yang berbahaya. Kalau orang hanya
memiliki dua atau tiga ekor kambing dan sapi. itu bukan duniawi tapi untuk
akhirat. Alahmdulillah orang-orang pedesaan itu memelihara ayam yang ketika
ditanya hasilnya dikumpulkan untuk menghidupi anaknyan di pondok pesantren.
Upaya
apa yang harus dilakuakan untuk mengubah persepektif, keliru masyarakat?
Allah
SWT. berfirman “Ud’u ila sabili robbika bilhikmati” allah SWT.
memerintahkan “Ud’u “ kalau ada orang mengantarkan anaknya ke pondok pesantren sekedar dititipkan saja,
itukan orang yang tidak tahu. Hal itu tidak ada yang perlu dirubah. Tambahlah
ilmu! karena kewajiban santri adalah menambah ilmu terhadap orang tersebut.
tidak perlu disinggung dan diapa-apakan, diberi ilmu saja, karena orang itu
kekurangan bahan darimu. Kamu itu hanya diam, tidak mengatakan terhadap orang
lain. Kamu harus memberi tahu misalnya; “Tata-tertib kalau anak sampean mau dimondokkan
caranya begini, begitu dll. Orang yang memondokkan anaknya sekedar dititip, itu
karena bodoh. Kalau bodoh, ya harus diberi ilmu.
Apa
tolok ukur santri sukses?
Kalau
santri itu sudah sukses, pertama adab kesopanan terhadap orang tua dan gurunya,
akhlaq sesama manusianya, mengetahui akidah , mengetahui hukum, menjalankan
perintah Allah dan menjahui larangan-larangan Allah. Ini baru dikatakan santri
yang sukses.
0 komentar:
Posting Komentar