(Tab Widget 2)

Minggu, 26 Februari 2017

KH. Wahhab Djazuli (ASCHAL Edisi 16)



Bagaimana niat yang benar masuk pesantren?
Niat santri masuk ke pesantren diterangkan dalam kitab Ta’limul Mutaallim; pertama, niat menghilangkan kebodohan supaya menjadi orang pintar. Kedua, Lii’lai Kalimatillah (Memuliakan tanda-tanda kebesaran Allah) memuliakan syariat islam, meningkatkan akidah, supaya orang yang tidak tau bertambah akidahnya, masalah hukum Fiqihnya dan juga masalah Tasawwuf.
kalau bicara akidah, akidah ini adalah urusan hati, sedang ilmu Fiqih urusan muamalah yang halal dan haram. Adapun tasawwuf adalah untuk mendekatkan diri  pada Allah. Di setiap pesantren sudah sejalan dengan tasawwuf. karena apa? Karena ada penghormatan dari santri terhadap gurunya. Diantara penghormatanya yaitu ilmu tasawwuf. penghormatan orang kampung/pedesaan termasuk orang yang memang menghoramati, lebih-lebih orang yang ahli tasawwuf, ahli thoriqot. Thoriqot di sini tidak terfokus pada jenis thoriqot itu apa, tetapi semua thoriqot, karena semua thoriqot memiliki tujuan yang sama yaitu bertujuan ingin mendekatkan diri pada Allah SWT. Pokoknya santri itu di pondok mendapatkan keimanan, selain itu juga mendapatkan ilmu.

Bolehkah kepentingan duniawi menjadi bagian dari niat?
Orang yang berniat ukhrowi  tetapi diniati secara duniawi adalah orang yang paling berbahaya. misalnya sholat karena Allah tetapi niat untuk mendapatkan uang. Mengerjakan perbuatan duniawi ingin mendapatkan ilmu untuk mencari rejeki yang mana rejeki itu untuk kewajiban beribadah, menghidupi istri dan anak, melaksanakan kewajban dan sebagainya, Hal ini bagus. tapi kalau urusan duniawi hanya tertuju pada dunia, atau ukhrowi hanya tertuju pada akhirat atau kedua-duanya, apalagi urusan akhirat tertuju pada dunia, Ini paling bahaya. Sepertihalnya juga berdakwah itu karena Allah. tapi kalau berdakwah untuk mendapatkan uang, Itu tidak boleh.

Dalam pandangan islam, adakah pengaruh niat terhadap keberhasilan santri?
Pasti ada. Dengan niat tulus, hati benar-benar menjiwai, ta’zdim terhadap guru, niat menghormati guru, menjalankan perintah orang tua, harapan orang tua, menjalankan niat, atau imtitsal karena orang tua, lebih-lebih karena guru. kalau benar-benar semangat, maka akan berhasil. Hal ini tergantung orang dan semangatnya. Niat yang ada harus disertai semangat. Meski niat ada kalau tidak disertai semangat tidak akan berhasil, tetapi bila niat disertai semangat pasti ada harapan untuk santri.

Sebagian masyarakat berasumsi bahwa sukses itu memiliki banyak finansial. Pandangan kiai?
Seseorang yang memiliki banyak finansial (harta) sedikit atau banyak, itu tergantung niatnya. misalnya kamu memiliki niat membangun gedung yang paling besar, tetapi tidak memiliki harta yang banyak. Hal itu tidak bisa kecuali memiliki uang. Jadi tergantung perbuatannya. Kalau perbuatan seseorang sesuai dengan niat, niat melakukan pekerjaan yang besar harus dengan uang yang besar pula. kalau pekerjaannya kecil tentunya membutuhkan uang yang sedikit. Ada orang pedesaan bertanya, “Apakah membutuhkan modal yang besar untuk memiliki kekayaan” kalau orang sudah banyak hartanya harus ikhlas karena Allah. Nah, hasilnya nanti untuk kegiatan islam, perjuangan islam, membantu fakir-miskin, untuk melaksanakan kewajiba haji, untuk membayar kewajiban zakat. Agar orang yang mengumpulkan harta tersebut tidak termasuk dengan apa yang disabdakan Nabi “Addunya ro’suhu bikhotiatin”. maksudnya, mengambil harta yang haram untuk sesuatu yang haram. Kalau orang-orang pedesaan hartanya sedikit. orang-orang yang tinggi jabatanya mengambil uang haram, yang lebih parah uang haram itu malah digunakan untuk sesutu yang haram. Ini yang berbahaya. Kalau orang hanya memiliki dua atau tiga ekor kambing dan sapi. itu bukan duniawi tapi untuk akhirat. Alahmdulillah orang-orang pedesaan itu memelihara ayam yang ketika ditanya hasilnya dikumpulkan untuk menghidupi anaknyan di pondok pesantren.

Upaya apa yang harus dilakuakan untuk mengubah persepektif, keliru masyarakat?
Allah SWT. berfirman “Ud’u ila sabili robbika bilhikmati” allah SWT. memerintahkan “Ud’u “ kalau ada orang mengantarkan anaknya  ke pondok pesantren sekedar dititipkan saja, itukan orang yang tidak tahu. Hal itu tidak ada yang perlu dirubah. Tambahlah ilmu! karena kewajiban santri adalah menambah ilmu terhadap orang tersebut. tidak perlu disinggung dan diapa-apakan, diberi ilmu saja, karena orang itu kekurangan bahan darimu. Kamu itu hanya diam, tidak mengatakan terhadap orang lain. Kamu harus memberi tahu misalnya; “Tata-tertib kalau anak sampean mau dimondokkan caranya begini, begitu dll. Orang yang memondokkan anaknya sekedar dititip, itu karena bodoh. Kalau bodoh, ya harus diberi ilmu.

Apa tolok ukur santri sukses?

Kalau santri itu sudah sukses, pertama adab kesopanan terhadap orang tua dan gurunya, akhlaq sesama manusianya, mengetahui akidah , mengetahui hukum, menjalankan perintah Allah dan menjahui larangan-larangan Allah. Ini baru dikatakan santri yang sukses.

0 komentar:

Posting Komentar