(Tab Widget 2)

Rabu, 04 Januari 2017

DI BAWAH NAUNGAN PESANTREN (ASCHAL Edisi 20)


Malam itu langit mendung. Gerimis mulai turun bermain. Faiz bersama kawan-kawannya berada di jerambah asrama Pesantren. Sedang belajar. Sesekali, guntur ikut menghibur nuansa alam yang lembab, diiringi kemilau cahaya kilat panjang yang seakan membentuk sebuah peta. Gerimis itu kian menyeka debu-debu hitam yang menempel di atas paving depan asrama L. Mengikuti lekukan air menuju selokan-selokan kecil da bermuara di sebuah selokan tua. Semakin meruncing. Mereka menyingsingkan tubuhnya, agar tidak basah dan kemudian masuk ke dalam bilik masing-masing.
Faiz masih tercenung di jerambah. Bulir-bulir kecil mulai menetes dari bulu lentiknya dan kemudian melata di atas pipinya. Tubuhnya mulai dibasahi genangan air mata. Ia sangat terpukul mendengar gadis yang sangat dicintainya sudah bertunangan. Benar-benar sangat memilukan baginya. Langit belum berhenti menangis, ada sosok tubuh berperawakan menghampiri Faiz, lantas mengajaknya ke dalam kamar.
“Faiz!, aku tahu kamu sangat terpukul. Tapi, kamu tidak boleh terus berlarut-larut dalam kesedihan. Kamu harus semangat belajar. Satu bulan lagi kamu akan menghadapi IMNI.” ucapnya.
Ia menuntun Faiz ke kamar. Faiz hanya terdiam. Ie menyeka air matanya yang kini mulai mengering. Wajahnya terjuntai rumput. Menunduk.
***
Sehabis salat Magrib, aku beranjak ke ruang ngaji al-Quran. Sambil menunggu pak muallim, aku dan para mutaallim yang lain, membaca doa sebelum mengaji. Tidak lama kemudian, pak muallim datang sembari mengucap salam. Kami balas salamnya. Kulihat, ada yang aneh dengan wajah pak muallim. Wajahnya memerah, seakan baru menangis. Aku tidak berani bertanya. Aku tidak ingin menambah kesedihannya. Sebagai seorang murid, aku memang tidak boleh ikut campur dalam urusannya.
Setelah pengajian selesai, aku merasa ada banyak perubahan pada diri pak muallim. Biasanya, ia lebih suka bercanda ketika menguraikan keterangannya mengenai ilmu tajwid. Namun, sekarang ia lebih pendiam. Ah, pasti ada sesuatu di balik semua ini. Ya, aku harus menyelidikinya. Aku tidak ingin pak muallim terus terhanyut dalam kesidihan.
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam merangkak menjadi hari. Hari melangkah menjadi minggu dan minggu pun kini berlari menjadi bulan. Namun, belum juga kutemui penyebab kesedihan yang menggores hati pak muallim. Aku ikut menyedih. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk mengembalikan senyumnya. Sungguh aku bukanlah mutaallim yang baik. Aku sama sekali tidak bisa membantu pak muallim saat ia butuh bantuan. Ah, mungkin belum bisa. Bukan tidak bisa.
Suatu hari pak muallim tidak hadir. Yang hadir hanya muallim piket. Ia kemudian memulai bacaan al-Qurannya. Bacaannya juga sama fasihnya dengan pak muallim. Tapi ia belum bisa sebaik muallimku. Muallimku bisa memberikan suasana yang menyejukkan dalam melantunkan kalam-kalam Allah yang terukir indah dari arah kanan itu. Tapi bukan berarti ia belum fasih.
“Saya ini hanyalah seorang muallim piket. Ya!, yang namanya pengganti pasti tidak akan sama dengan yang diganti. Saya sangat jauh pengetahuannya, bila dibanding dengan pak muallim sampean.” jelasnya di tengah-tengah keterangannya.
“Pak!, kalau boleh tahu Pak Faiz ke mana, pak?!” tanyaku.
“Pak Faiz sekarang sedang sakit parah. Ia sekarang dirawat di Balai Pengobatan. Kondisinya sangat kritis. Sebenarnya, Dokter sudah memberikan rekomendasi izin pulang. Tapi ia tidak mau, karena dua hari lagi ia akan menghadapi IMNI. Ya!, doakan saja. Semoga Allah memberikan kesembuhan kepada Pak Faiz.
“Amien...!”
Mendengar penjelasan muallim piket, hatiku langsung terperanjat. Mataku berkaca-kaca. Aku berpikir, aku ini murid macam apa? Seorang guru sedang sakit malah tidak menjenguknya.
“Ya Allah, berikanlah kesembuhan kepada Pak Faiz, muallim kami.”
***
Sehabis mengaji dengan langkah gontai aku pergi ke Balai Pengobatan. Lantas kuarahkan pandanganku ke sebuah papan di mana nama-nama santri yang dirawat di sana dipajang. Pandangan kuarahkan dari angka satu, dua, tiga, dan sampai angka lima belas. Tapi tidak kutemuka pasien bernama Faiz, pak muallimku.
“Di mana Pak Faiz ya?,” gumamku dalam hati.
“Cari siapa, Zain?,” tanya seseorang sembari mendaratkan tanganya di bahu kananku.
Aku menoleh dengan sebuah tanda tanya di kepala. Ternyata, seorang laki-laki yang pernah menjadi muallim piket di ruanganku itu sedang berdiri di belakangku dengan suguhan senyum. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, ia sudah lebih dulu memberikan jawaban.
“Pak Faiz sudah dibawa pulang sama orang tuanya,” jelasnya.
“Pulang, Pak ?” tanyaku penasaran.
“Ya. Sebenarnya, ia tidak mau pulang. Karena besok lusa sudah pelaksanaan IMNI.”
“Kalau boleh tahu, Pak Faiz sakit apa, Pak ?,” tanyaku lagi.
“Sebenarnya, penyakit yang menimpa tubuhnya itu biasa. Tapi penyakit yang menimpa hatinya yang sangat luar biasa. Dan penyakit inilah yang membuat ia frustrasi dan jatuh sakit.”
“Maksud sampean, Pak ?”
“Ceritanya panjang. Panjang sekali.”
“Maaf, lancang. Bisa Bapak ceritakan!”
Ia hanya tersenyum menatapku. Lantas ia palingkan dan menatap tajam ke arah depan sembari menyatukan kedua telapak tangannya. Aku fokuskan pandanganku ke arah wajahnya.
“Mungkin, kamu pernah mendengar atau membaca ceritanya Kais dan Laila.” Ia mengambil nafas dan mengarahkan pandangannya ke arahku. Aku mulai terhipnotis oleh ucapannya. “Ceritanya hampir sama dengan cerita Pak Faiz.” lanjutnya.
“Maksud sampean, Pak Faiz lagi frustrasi karena pacarnya bertunangan?” tanyaku lebih dalam.
“Bagi ia, tidak ada kata-kata pacaran, Zain. Ia sama seperti Kais yang mencintai Lailanya dengan tanpa ungkapan, tapi dengan penuh penghayatan yang mendalam.” Ia mengambil nafas sejenak dan kemudian melanjutkan, “Dalam hatinya hanya ada nama Laila. Laila yang dikenalnya sejak kecil dan dianggapnya seperti adik kandungnya sendiri.”
“Jadi, namanya juga Laila?,”
“Ya.” jawabnya singkat sembari menganggukkan kepalanya.
“Nama itu seperti nama tunanganku, Laila.” batinku.
Teeettt... teeettt.. teeettt... !” Belum sempat aku bertanya siapa Laila yang dicintai Pak Faiz, bel sudah berbunyi menandakan Balai Pengobatan akan segera ditutup karena ada kegiatan jam belajar di setiap masing-masing asrama. Kemudian perbincangan itu hanya sampai di situ. Tapi hatiku tetap penasaran. Karena nama kekasih pujaan hati Pak Faiz sama dengan nama tunanganku yang baru sekitar sebulan yang lalu aku bertunangan dengannya. “Ah, jangan-jangan... Oh, tidak... Aku sangat mencintai Laila.”
***
Hari ini adalah tanggal 02 Rajab. Detik-detik pelaksaan IMNI tingkat Tsanawiyah. Para peserta IMNI nampaknya sudah siap menghadapi sebuah pertempuran yang menentukan. Mereka berkumpul tidak jauh dari gedung Madrasah. Suasana semakin tegang. Ada yang masih membuka kitabnya dengan nafas kencang. Mencari ibarat. Yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata, “Kalau ini, aku yakin masuk...” Aku arahkan pandanganku pada yang lain. Ada juga yang masih sibuk-sibuk membuka catatan dan soalan. Namun semakin jauh mataku menyapu wajah-wajah para peserta IMNI, tidak aku temukan wajah Pak Faiz.
“Ya Allah... ! Akankah Pak Faiz tidak mengikuti IMNI ?” gumamku dalam hati.
Detik kumudian, bel yang menandakan dimulainya pertempuran menentukan itu dibunyikan. Para peserta kemudian satu-persatu memasuki gerbang gedung Madrasah. Selaras air banjir yang mulai mengikuti arus sungai. Aku berlari-lari kecil menuju gerbang dan mengambil tempat di sampingnya. Mataku semakin kuarahkan tajam ke arah wajah-wajah yang hendak masuk ke dalam gerbang. Para peserta sudah mulai masuk semuanya, tapi tidak satu pun dari mereka yang mempunyai wajah Pak Faiz. Hingga tidak seorang pun dari mereka yang masih berada di luar, tapi aku sama sekali tidak menemukan wajah Pak Faiz.
“Sungguh malang nasib Pak Faiz.” gumamku dalam hati sembari mengeluarkan bulir-bulir air mata.
Keesokan harinya, kembali aku mengambil tempat di samping gerbang. Berharap di antara peserta IMNI itu ada Pak Faiz, tapi tetap saja aku tidak menemukannya. Setiap hari aku menunggunya di samping gerbang, tapi tidak kutemukan juga. Hingga pelaksaan IMNI selesai, aku sama sekali tidak melihatnya ikut bertempur. Aku mulai putus asa. Dalam batinku, aku menjerit-jerit menangis meratapi kemalangan nasib Pak Faiz. Pak Muallim terbaik yang pernah kujumpai. Aku tidak bisa membayangkan, bila tahun depan, ketika teman-teman seperiodenya berangkat tugas, tapi ia masih terus terhanyut mengikuti arus kesedihan.
“Ya Allah... ! berikanlah ketabahan pada diri Pak Faiz untuk menghadapi cobaan ini.”
***
Akhir tahun tiba dan semarak Ikhtibar mulai diwarnai di setiap sudut Pesantren. Lomba-lomba mulai dipersiapkan. Tabungan mulai dibagi-bagikan. Dan Bazaar pun kembali dibuka seperti tahun kemarin. Mungkin, anak-anak yang sudah yakin naik kelas atau lulus akan sangat bergembira. Tetapi bila ia sudah tidak yakin naik kelas atau lulus, aku yakin senakal-nakal anak itu pasti dalam hati kecilnya terbersit sebuah kesedihan.
Kembali aku teringat Pak Faiz. Pria paling malang di dunia ini. Ia sudah tidak mendapatkan cintanya. Mungkin, ia merasa kehilangan iganya. Iga yang pernah didambanya. Iga yang tidak akan bersatu dengan tubuhnya. Akankah ia bernasib seperti Kais. Yang rela diberi slogan al-Majnun demi cintanya kepada Laila. Rela mati demi menahan perasaan cintanya kepada Laila. Oh... Faiz... ! Jika memang engkau sudah tidak bisa melupanya, melupa apa-apa yang menestapa. Dan dalam hatimu masih ada sebuah keyakinan akan bertemu dan bersamanya, mengobati rautan rindu yang memalung. Maka aku yakin, seyakin-yakinnya, kelak engkau akan menikahinya di surga. Seperti Kais dan Laila.
Di tengah-tengah lamunan yang sempat membuatku tidak tersadarkan diri, aku melihat seperti ada siluet wajah yang mirip dengan Pak Faiz. Wajah itu sedang dipajang di depan gedung Madrasah. Aku mendekat. Langkahku pelan. Aku megucek mata perlahan-lahan. Aku tidak percaya berbaur heran. Ternyata, wajah itu bukan hanya sekadar siluet. Wajah itu benar-benar wajah Pak Faiz. Sungguh aku tidak menyangka, Pak Faiz juara IMNI. Murid terbaik dari semua peserta IMNI. Aku benar-benar tidak percaya. Padahal seingatku ia sama sekali tidak mengikuti IMNI. Sungguh ajaib.
Subhanallah...! Maha Besar Engkau...!” ucapku sembari mengusap wajah yang sudah menganak sungai karena bahagia.
Serentak aku berlari-lari kecil mencari teman Pak Faiz yang sampai sekarang, aku masih belum tahu siapa namanya. Aku mencari ke kamarnya, tapi tidak ada. Aku bingung mencarinya. Aku hanya tahu kamarnya, karena ia dulu pernah bilang teman kamarnya Pak Faiz. Tapi aku sama sekali tidak tahu namanya. Lantas bagaimana aku mencarinya ? Sampai di kamarnya, aku tertegun. Aku seperti salah masuk kamar. Aku sama sekali tidak mengenal mereka yang ada di dalam.
Who are you looking four?” tanya salah seorang dari mereka.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang diucapkannya. Ternyata, kamar ini bukan kamar bahasa Arab lagi, tapi sudah kamar bahasa Inggris.
Afwan, ya akh... Manil-ladzî bahatsta?
“Aduhhh... Mengapa ia masih mengeluarkan bahasa yang bukan bahasaku?” batinku dengan sedikit jengkel.
Kallimun-nâs bi qadri uqûlihim...!” ucap yang lain pada anak yang sedari tadi berkata denganku dengan nada menegur. Entah apa itu teguran atau sebuah ungkapan biasa, aku tidak tahu. Tapi kalau dari logatnya, sepertinya sebuah teguran.
Ia melangkah ke arahku sembari bertanya, “Maaf, sampean cari siapa?”
Aku masih bingung mau jawab apa. Karena aku benar-benar bingung mau mencari siapa. Sejenak aku berpikir, “Mengapa aku tidak tanya Pak Faiz saja ya? Meski aku sudah tahu ia sudah tidak ada di sini, tapi paling tidak aku bisa mengobati rasa maluku di depan mereka.”
“Aku mencari...,” suaraku terpotong oleh kata-kata seorang yang tiba-tiba berdiri di mulut pintu kamar.
“Kamu mencari aku, Zain?”
Aku menoleh. Ternyata ia teman Pak Faiz. Aku hanya mengangguk pelan.
Mutaallimuka?” tanya seorang yang sebelumnya bertanya kepadaku dengan bahasa Arab dan Inggris itu.
Naam...” jawabnya singkat. “Mari ikut aku, Zain!” ucapnya sambil melangkah keluar dari kamar.
Aku mengekor di belakangnya. Ia kemudian duduk di jerambah. Dan aku pun ikut duduk di sampingnya.
“Aku yakin, kamu pasti heran, mengapa Pak Faiz bisa juara?”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Waktu pelaksanaan IMNI, ia maksa sama orang tuanya untuk kembali ke Pesantren. Karena ia sudah merasa agak mendingan. Sampai di sini, ia sempat terjatuh karena memang kondisinya kurang begitu membaik. Mungkin, semangat yang membaralah yang mampu membuatnya bertahan menghadapi IMNI.”
“Bukankah aku selalu menunggu di depan gerbang Madrasah setiap pelaksanaan IMNI, tapi aku sama sekali tidak menemuinya?”
Ia hanya tersenyum mendengar apa yang telah aku ucapkan kepadanya. Ia kemudian bertanya, “Apakah engkau sangat menyayanginya?”
“Tentu saja,” jawabku singkat.
“Ketika ia terjatuh, aku sudah putus asa. Aku sudah tidak punya keyakinan ia bisa mengikuti IMNI. Dengan langkah seribu, aku berlari menuju ketua panitia IMNI. Kemudian aku bilang,
Pak, Faiz tidak bisa beranjak dari ranjangnya di Balai.
Dengan tenang, kemudian ia mengatakan, Apa ia masih mau mengikuti IMNI?
Waktu itu aku masih ragu mau menjawab ya atau tidak. Tapi dengan sebuah keyakinan yang tertanam dalam jiwaku, kemudian aku menjawab, Ya Pak.
Lantas dengan penuh karisma, beliau mengatakan, Suruh belajar, nanti pas pelaksanaan IMNI, aku yang akan menjadi Mumtahinnya di Balai.
Mendengar keputusan ketua panitia IMNI, aku langsung pergi memberitahukan pada Faiz, bahwa ia masih boleh mengikuti IMNI. Aku masih ingat, senyum yang menyungging dari bibirnya yang sudah kecut, karena sakit itu.”
“Jadi, selama pelaksanaan IMNI, Pak Faiz tetap ikut?”
Pak Muallim piket yang kini aku sudah mengetahui namanya itu kembali tersenyum sembari menatap wajahku. Aku benar-benar bahagia mendengar Pak Faiz lulus. Apalagi juara. “Alhamdulillah...!
***
Pulangan ini, aku mendapatkan banyak pelajaran dari Pesantren. Apalagi setelah aku menemukan guru seperti Pak Faiz. Sosok penyabar yang tetap gigih dan tekun, belajar meski dilanda cobaan yang begitu berat. Sungguh aku sangat bangga mempunyai Muallim seperti Pak Faiz. Andai aku memiliki seribu cinta, maka aku akan memberikan semua cintaku kepadanya demi membuatnya bahagia. Karena itu, aku ingin menjenguknya sekalian mengunjungi rumahnya. Sejak ia sakit, aku tidak pernah menjumpainya lagi sampai pulangan. Karena usai pelaksanaan IMNI ia terus dirawat di rumahnya.
Assalamualaikum…!” Sekarang, aku sedang berada di depan rumah sederhananya.
Waalaikumsalam…!” jawab seorang tua yang kuyakini adalah ayahnya. “Cari siapa, Nak?” lanjutnya.
“Apa benar, ini rumahnya Pak Faiz?” tanyaku setelah aku mencium tangahnnya yang agak keriput karena dimakan usia itu.
“Benar sekali. Mari masuk ke dalam.”
Ia mengajakku masuk ke dalam. Aku hanya mengekor di belakangnya setelah aku menyerahkan bingkisan oleh-oleh untuk Pak Faiz. Ia kemudian mengantarkan aku ke dalam kamar Pak Faiz. Sebuah kamar kecil yang sangat sederhana. “Assalamualaikum…!” sapaku memulai pertemuan.
Waalaikusalam, Zain…!” jawabnya.
Aku langsung melangkah gontai dan meraih tangannya untuk sungkem dan kemuian kukecup tangannya. “Saya sangat merindukanmu, Pak.”
“Saya juga, Zain. Bahkan saya tidak sempat pamitan sama kalian.”
Suasana di kamar itu kini mulai dihiasi dengan tangisan bahagia. Usai melebur kerinduan, aku berbincang-bincang dengan Pak Faiz. Di tengah-tengah perbincangan itu, aku dikejutkan dengan sebuah foto gadis dalam bingkai yang dibiarkan berdiri tegak di atas meja kamarnya. Gadis itu adalah tunanganku, Laila. Aku terkejut dan merasa punya kesalahan besar kepada Pak Faiz, seorang muallim yang telah rela meluangkan waktunya untuk mengajariku melafalkan kalam-kalam ilahi.
“Ya Allah…, betapa besar dosaku. Dosa seorang mutaallim yang telah berani menyakiti muallimnya sendiri?” ratapku dalam hati. Tiba-tiba air mata mulai membasahi pipi.
“Ada apa, Zain?”
“Tidak ada apa-apa, Pak.”
***
Sepulang dari rumah Pak Faiz, aku selalu dihantui rasa bersalah. Aku tidak bisa membayangkan betapa besar dosaku telah mengecewakan hati Pak Muallim. Meski aku sudah berhasil bertunangan dengan Laila, tapi belum tentu aku bisa mendapatkan hatinya. Aku hanya seorang pria yang dijodohkan dengan seorang gadis yang tidak pernah aku kenal dari sebelumnya. Dan ternyata, ia adalah kekasih muallimku sendiri. Guruku sendiri. Aku benar-benar mutaallim yang bejat. Murid yang durhaka. Karena telah berani merampas kebahagiaan seorang pria. Apalagi pria itu adalah guruku sendiri.
Tidak usah berpikir panjang, kemudian aku berkunjung ke rumah tunanganku yang kebetulan masih tetangga desa dengan Pak Faiz. Sampai di sana, aku langsung menanyakan tentang perasaanya. Apakah ia benar-benar ikhlas menerima lamaranku. Ataukah ia hanyalah seorang Siti Nurbaya di abad milenium. Aku akan sangat bersalah jika aku sampai menikahinya, apalagi setelah aku tahu bahwa cintanya bukan untukku, tapi masih tetap untuk Pak Faiz.
“Benarkah engkau ikhlas menerima lamaranku?” tanyaku dengan nada tegas.
“Ya, Mas.” jawabnya singkat.
“Tolong jawab dengan jujur. Engkau tahu, pernikahan itu bukanlah sebuah ikatan yang hanya akan kita jalani sehari atau dua hari. Engkau juga tahu, pernikahan itu ibadah dan di dalamnya tidak boleh ada kata-kata terpaksa atau semacamnya.” ucapku dengan nada yang agak meninggi. Ia hanya terdiam sambil mengeluarkan air mata. “Jika engkau mencintai orang lain, maka hari ini juga jurjulah padaku.”
“Mengapa tiba-tiba Mas menanyakan hal itu?” Ia mulai mengeluarkan kata-kata yang membentuk sebuah pertanyaan yang harus aku jawab.
“Benarkah engkau masih mencintai Faiz, pria asal desa sebelah?” Bukan menjawab pertanyaan Laila, tapi aku terus mendesak Laila dengan hujan pertanyaan.
Laila tidak menjawab. Ia hanya membisu. Dan kini, ia hanya mengeluarkan bulir-bulir air mata, yang kiranya dapat mewakili jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaanku. Detik kemudian ia pergi berlari ke arah kamarnya. Aku sudah tidak bisa mencegahnya lagi. Aku mulai sadar, bahwa Laila juga sangat mencintai Pak Faiz. Aku harus bertindak sesuatu. Ya, sebelum semuanya terlambat.
***
Tanggal 14 Syawal tiba. Para GT dan PJGT sudah berkumpul di halaman Madrasah, mengikuti acara pelepasan GT dan penyerahan Pihak Pesantren kepada PJGT. Nampaknya, Faiz sudah berada di antara deretan ratuasan santri yang kini sudah mempunya titel baru itu. GT. Ia berada di deretan nomer dua dari depan. Ia keliahatannya nampak sudah agak sehat. Dan dari wajahnya terpancar sinar kebahagiaan karena sebentar lagi ia akan ditugaskan. Tidak peduli, bahwa ia sekarang sedang sakit hati karena kehilangan Laila, orang yang sangat dicintainya.
Setelah mengikuti acara pelepasan GT, ia kemudian bertemu dengan PJGT yang sudah menunggunya di ruang tunggu. Setelah berbincang-bincang agak lama, kemudian mereka sepakat untuk segera meninggalkan Pesantren menuju tempat tugas yang masih belum diketahui tempantnya seperti apa. Yang tercantum dalam surat tugas, hanya Nama Madrasah dan alamat Desa yang akan ia tempati. Selebihnya, Faiz belum tahu.
Namun, sebelum Faiz benar-benar memasuki mobil PJGT itu, tiba-tiba ada suara yang memanggil dari kejahuan. Suara itu keluar dari kerongkongan Zain. Seorang pemuda yang baru saja keluar dari mobil yang berada tidak jauh dari tempat mobil PJGT Faiz diparkir. Dengan setengah berlari, Zain mendekati Faiz sembari berkata, “Assalamualaikum, Pak.”
Waalaikumsalam, Zain.”
“Sebelum sampean berangkat, sudikah kiranya jika aku memberikan sebuah bingkisan untuk sampean. Bingkisan itu tidak mungkin sampean bawa, meski aku sudah menyerahkannya sama sampean.”
“Memangnya kamu ingin menyerahkan mobilmu ini ya?” tanya Faiz setengah bercanda.
“Heemmm…, bukan mobil ini. Tapi gadis yang ada dalam mobil ini.” ucapnya sembari mengangkat pelan tangan kanannya dan mengarahkan ke arah mobilnya. Perlahan, pintu mobil itu terbuka dengan sendirinya. Detik kemudian, seorang gadis dengan mengenakan kerudung yang ujungnya sampai di bawah dada keluar perlahan dari mobil itu. Faiz terkejut setengah tidak percaya. Ternyata, gadis itu adalah Laila. Gadis pertama yang pernah singgah dalam hatinya.
Dengan langkah yang sangat pelan, Laila kemudian mendekat ke arah Faiz, sembari berkata, “Akankah engkau pergi sebelum pamitan denganku?” tanyanya sembari menyuguhkan senyum yang sangat hangat.
“Aku bahkan selalu menempatkanmu dalam palung hatiku, Laila.”
Mereka saling menyuguhkan senyum yang disertai bulir-bulir air mata. Air mata kebahagiaan. Kebahagiaan yang pernah hilang diterpa angin tak bertuan. Dan kini, angin itu sendiri yang mengantarkannya kembali ke pangkuan Faiz. Dan Laila pun meresapinya dengan perasaan feminimnya.
Zain melangkah mundur dan menghindar sambil mengeluarkan bulir-bulir air mata. Meski ia kecewa karena tidak bisa mendapatkan cinta Laila, akan tetapi setidaknya ia tetap bahagia karena ia sudah berhasil mengembalikan cinta muallimya, Faiz…

Mubas Sahmi Ilyas adalah nama pena dari M. Abbas Busro. Ia adalah sastrawan muda pesantren. Karya-karyanya bertebaran di media-media pesantren, mulai dari Buletin Sidogiri (sekarang Sidogiri Media), Majalah IJTIHAD, Buletin NASYITH, Buletin Tauiyah, Majalah MAKTABATUNA, Buletin IstinbaT, Buletin El Wardah, Buletin ISTIDLAL, dll. Sekarang, ia aktif menjadi Pemimpin Redaksi Buletin al-Ummah.
By: Mubas Sahmi Ilyas


1.          Ujian Akhir, selaras dengan EBTA/UNAS
2.          Pengawas IMNI
3.          Guru Tugas

4.          Penanggung Jawab Guru Tugas

0 komentar:

Posting Komentar