Matahari mulai berani menampakkan keangguhannya ditemani dedaunan
yang mendayu-dayu diterpa angin semilir. Bunga-bunga mulai bermekaran walaupun
sedikit malu-malu suasana di desa ini memang sejuk, desa Torjung, ya itulah
nama desanya tapi dibalik kesejukan itu ada sekertas kesedihan yang membuat
kedamaian dan ketentramannya berkurang. Semua itu karerna ada ajaran baru yang
masuk ke desa itu. Aliran sesat itu adalah Syi’ah. Masyarakat setempat yang
awalnya menolak, kini hampir seluruh warga mengikutinya, entah dorongan apa
yang membuat perubahan itu. Tapi ada satu warga yang tetap mempertahankan
imannya dan melaksanakan ibadah itu secara sembunyi-sembunyi. Karena jika ada
warga yang tau bahwa mereka tidak mengikuti ajaran Syi’ah pasti oleh warga akan
dianiaya dan dipaksa untuk masuk pada ajaran itu dan keluarga itu selalu diliputi
rasa khawatir yang sangat.
Pada suatu ketika Khalid al-Walid yang adalah kepala dari keluarga
yang masih menganut ajaran NU, waktu itu dia sedang melaksanakan sholat di musholla
di rumahnya yang tanpa disadari ternyata ada tetangga yang melihatnya, tentu
saja orang itu langnsung menanyakannya seusai sholat.
“Hei... Khalid kamu masih menganut ajaran NU ya?” tanya orang itu
curiga.
”Gak, kamu tau dari mana soal itu?” jawab Khalid berbohong.
“Dari cara kamu yang sholat tadi” perkataanya itu membuat Khalid
diam seribu kata, ia membisu.
“Aku akan menyebarkan berita ini pada warga” ujar dia geram seraya
berlalu pegi, sedangkan Khalid masih saja mematung di tempat hingga lamunannya
buyar dengan kedatangan anak pertamanya Ahmad al-Gozali.
“Assalamualaikum, ayah kenapa?” Tanya Ahmad cemas.
“Wa’alaikumsalam, kita mesti bicara sekarang Ahmad” tegas Khalid
sembari duduk diruang tamu.
“Maksud ayah terancam gimana?” Tanya Ahmad bingung.
“Ada orang yang tau bahwa kita msih menganut NU dan dia akan
menyebarkannya pada warga, ayah khawatir bila sampai terjadi”
“Terus apa yang mesti dilakukan yah?”
“Cepat panggillah ibumu dan adikmu kemari” perintah Khalid.
“Baik yah” jawab Ahmad sembari berlalu.
Beberapa detik kemudian Ahmad pun datang beserta ibu dan adiknya.
“Ada apa yah?” tanya Aisyah istrinya Khalid.
“Begini bu, sekarang keluarga kita dalam bahaya, aku gak tau harus
bagaiman dan aku ingin ibu dan Reyhan pergi dari desa ini untuk mencari
bantuan, sedangkan aku dan Ahmad akan tetap disini.” Ucap Khalid cemas.
“Maksud ayah kita akan meninggalkan rumah ini?” Ujar Ahmad Reyhan,
anak kedua Khalid.
“Ia Reyhan kalau bisa malam ini juga”
“Tidak yah, ibu tidak setuju karena cuma rumah ini yang kita punya
dan kalau kita pergi kita mau tinggal dimana?”
Kata Aisyah tidak menyetujui ucapan suaminya itu.
“Reyhan setuju dengan pendapat ibu”
“Reyhan perkataan itu benar karena ini keselamatan kita” Ucap Ahmad.
“Tidak kak, aku dan ibu tidak bisa pergi begitu saja, sedangkan
kamu dan ayah tetap disini menghadapi penganiayaan” ujar Reyhan.
“Sudahlah Reyhan ayah dan kakakmu insya Allah akan menghadapi dan
melawan mereka. Kamu mau desa kita selamat kan?” ucap Khalid pada Reyhan.
“Ya sudahla, yah... Aku dan
Reyhan akan pergi malam ini juga, tapi jagalah diri kalian” kata Aisyah meski dalam hatinya berkata
tidak. Perdebatan itupun berakhir dengan mufakat.
Kelamnya malam terdengar suara petir yang menggelegar yang
bercampur denting gerimis membawa aroma tanah keluarga kecil itu masih diliputi
rasa khawatir dan mereka mulai siap-siap untuk pergi dengan melewati pintu
belakang rumah mereka yang langsung menuju ke semak blukar Khalid mengantar
istri dan putra bungsunya dengan harap-harap cemas, mereka berpamitan pada Khalid
dengan disertai tangisan yang diiringi oleh gerimis hujan.
“Hati-hati dan jaga ibumu nak” pesan Khalid pada Reyhan. Merekapun
berpisah yang keduanya mulai senyap diantara semak belukar dan derasnya hujan.
Dua bulan berlalu, Khalid mulai meniti diatas jalannya tanpa
bimbang dan curiga walau pada kenyataannya penganiayaanya itu masih menimpanya
begitu pula pada Ahmad. Selama ini warga setempat menyiksa mereka dengan
mengepung dan tidak memberi makanan sedikit pun.
“Bagaimana kiai, kita sudah mengepung mereka hampir dua bulan tapi
masih tidak mau menyerah, apalagi yang kita lakukan pada mereka” ujar salah
satu warga. Hamed al-jahili yang adalah ketua dari aliran sesat itu tidak
menjawab. Ia sendiri bingung apa yang dilakukan pada Khalid dan Ahmad, iman
mereka sangatlah kuat.”
“Seret dan siksa mereka” teriak salah satu warga ucap salah satu
warga yang diikuti oleh warga lainnya.
“SETUJU...!” jawab warga serempak, Hamed tersenyum sinis sedangkan
Khalid dan Ahmad hanya melihat pada warga dengan pandangan semu karena mereka
sudah tak punya tenaga untuk bangkit dan melawan.
Gemuruh tawa bertebar dimana-mana, hampir seluruh warga Torjung
menikmati malam ini dengan tawanya, sedangka Khalid dan Ahmad hanya terus
bersabar menghadapi siksaan yang telah menimpanya. Pukulan bertubi-tubi telah
berhasil melukai dan perasaan kedua orang yang tetap bertahan dengan ajarannya.
Tiba-tiba Hamed membawa Khalid dan melemparinya pada semak belukar di belakang
rumah mereka, sedangkan Ahmad terus saja berteriak memanggil nama ayahnya dan
menjerit kesakitan.
“Ayah... jangan siksa ayahku, ku mohon hentikanlah penyiksaan ini”
Ahamd terus saja berteriak tapi tak ada satupun warga yang menghiraukannya.
Ketika warga mulai lengah, terdengar suara gerumuh dari balik semak
blukar dan derasnya hujan, suara itu mengagetkan mereka yang mulai panik dan
sling menukar pandang.
“Suara apa itu?” Pertanyaan
itu terucap berkali-kali dari bibir mereka, tiba-tiba ada tombak-tobak yang melayang pada mereka, tentu saja tombak
itu mengenai beberapa warga.
“Ada apa ini, siapa yang menyerang kita” Teriak Hamed tapi tak ada satupun
warga yang menjawabnya karena mereka sibuk menyelamatkan diri mereka
masing-masing dari serangan besar yang telah banyak menumpahkan darah. Dengan
langkah yang tergesa-gesa Hamed menuju pada sumber suara itu, nampaklah disana
segerombolan orang yang jumlahnya sangatlah banyak. Kebanyakan dari mereka
adalah dari kaum Adam tapi ada satu kaum hawa yang tak asing bagi Hamed,
perempuan paruhbaya itu dengan beraninya menghampiri ketua aliran sesat itu.
“Pergilah kau dari sini jikau ingin selamat” Ujar Aisyah tegas.
“Aku gak akan pernah pergi dari desa ini, sebelum desa ini menjadi
kekuasaanku” Bentah Hamed
“Jika memang itu maumu baiklah. Serang...!” Hata salah satu orang
tadi. Hamed pun dengan angkuhnya melawan pasukan itu, tapi nahas. Salah satu
tombak itu mengenai punggung Hamed, tanpa sempat melawan Hamed pun tersungkur
ketanah.
“KAU...” Kata terkhir yang terucap dari bibir Hamed.
“Hei, pasukan kafir ketua kalian sudah kami bunuh, siapa yang
berani melawan, akan kami bunuh juga” Ucap pria yang dianggap pemimpin pasukan
NU, wargapun ketakutan melihat ketua mereka sudah tewas, akhirnya mereka
menyerah tanpa ada perlawanan satupun.
Satu jam berlalu, Aisyah tidak menemukan sosok suami dan anak
sulungnya diantara warga yang di tawan warga mendengar suara rintihan.
“Ustadz bagaimana ini? Saya tidak menemukan suami dan anak saya diantara
warga yang ada. Di mana mereka, tolong cari selamatkanlah” Ucap Aisyah dengan
nada khawatir.
“Tenanglah ibu, kita semua akan mencari ayah dan kakak, lebih baik
ibu istirahat dulu” kata Reyhan menenangkan ibunya, orang-orang mulai mencari Khalid
dan Ahmad di tengah gerimisnya hujan.
“Khalid, Ahmad dimana kalian” seru warga.
“Ibu.. Reyhan.. tolong” semua warga mendengar suara rintihan dari
semak blukar, mereka melihat keduanya dalam keadaan terluka parah. Kemudian
mereka segera membawa keduanya kedalam rumah menemui Aisyah. Perasaan khawatir
dan bahagia tercampur aduk menjadi satu, tapi itu bisa mereka atasi, keluarga
Khalid sangat bahagia bisa berkumpul bersama kembali.
Setelah satu bulan beralu, keluarga Khalid mulia menata kembali
kehidupan mereka bersama warga yang masih tersisa dan sekarang keluarga Khalid
menjadi keluarga yang dihormati di desa itu.
Kawan ... teguhkan agama kita dengan kekuatan hati, buktikan kalau
ajaran NAHDLATUL ULAMA’ adalah yang terbaik, maju terus
berantas kesesatan. Allohu Akbar...!!!
(By: Nurkumala Qmr)
0 komentar:
Posting Komentar