Mungkin belum kita ketahui sepenuhnya tentang Kiai yang lebih
memilih hidup sederhana daripada hidup mewah di dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.
Beliau juga tidak mempunyai keinginan hidup berkeduniaan, karena menurutnya
hidup berkeduniaan bukanlah bahan utamanya. Beliau adalah seorang sosok Kiai yang selama hidupnya tidak pernah
berhutang kepada orang lain, beliau tidak pernah meminjam uang untuk membeli
sepeda Motor dan membeli Mobil. Sampai saat ini juga, beliau juga tidak
memiliki hutang sepeser pun. Dan beliau pernah berpesan kepada putra-putrinya
“kalau masalah dunia ambil seadanya saja, jangan sampai berlebihan”.
Nasab Beliau Sambung kepada Syaichona Moh. Cholil Demangan
Pada tahun 1943 M, lahirlah seorang anak yang berna lengkap KH.
Abdul Muu’ty Cholili dari dua pasangan KH. Cholili bin Abdul Latif dengan Nyai.
Naimah binti KH. Imron yang mana secara beliau (Kh. Cholil) mengawini
bibiknya, karena lebih dekat Nyai Na’imah dibandingkan KH. Cholili kepada
Syaichona Moh. Cholili. Secara Nasab beliau adalah Cicit Syaichona Moh. Cholil Demangan Barat
Bangkalan.
Ketika KH. Abdul Mu’ty masih kecil, beliau sudah tidak merasakan lagi yang namanya kasih sayang dari seorang
ibu. Karena, ketika ibundanya melahirkan
putra ketiganya, pada waktu itu juga ibundanya menghembuskan nafas terakhir yang
ketika itu beliau masih berumur tujuh Tahun.
Setelah Ibu KH. Abdul Mu’ty berpulang ke rahmatullah, beliau
dibesarkan oleh ayahandanya (KH. Cholili) dan dibantu oleh salah satu santri
yang setatusnya menjadi khaddam (kabuleen madura red) kiai. Bukan
Cuma KH. Abdul Mu’ty yang tidak merasakan kasih sayang dari ibundanya, begitu
pun KH. Ahmad Juwaini kakak beliau dan juga KH. Abdul Mughni adik beliau juga
tidak pernah merasakan kasih sayang dari ibundanya.
Beliau mempunyai empat belas saudara, yang tiga sauada syaqiq (saudara
kandung laki-laki) yaitu KH. Ahmad Juwaini, KH. Abdul Mu’ty dan KH. Abdul Mughni.
Ketiga saudara laki-laki itu terlahir dari seorang ibu yang nasabnya sambung
dengan Syaichona Moh. Cholil dan saudara beliau yang lainnya dilahirkan oleh
istri kedua KH. Cholili yang bukan dari keturunan Syaichona Moh. Cholil.
Pendidikan KH. Abdul Mu’ty Cholili
Dalam segi pendidikan, beliau itu non formal dan non pesantren.
Karena beliau itulah yang mengurusi adik-adiknya yang masih kecil dari istri
kedua KH. KH. Cholili untuk menuntut ilmu. Walaupun tidak 100% membiyayai adik-adiknya untuk sekolah dan
mondok di pesantren, tapi bisa dibilang diatas 50%.
Dulunya beliau memang mempunyai inisiatif untuk sekolah dan
menuntuk ilmu di pesantren, namun hal itu tidak sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Ketika beliau mengungkapkan keinginannya untuk mondok di
pesantren selama satu tahun kepada ayahnya, ayah beliau tidak mengijinkannya
dan ayah beliau berkata kepada KH. Abdul Mu’ty bahwasanya beliau tidak akan di
mondokkan di mana-mana, mulai dari itu beliau itu tidak pernah merasakan
suasana menjadi seorang santri.
Walaupun beliau tidak di mondokkan di pesantren, pada masa mudanya
beliau itu diperintahkan oleh ayahnya untuk mengaji kepada ayah KH. Munawwar
(pasar kapoh) yang mana kakak perempuan dari KH. Munawwar itu adalah istri
kedua dari Ayah KH. Abdul Mu’ty. Di sanalah beliau bisa mengarungi ilmu agama
walaupun ilmu tersebut tidak seberapa.
Memang dari ketiga saudara yang tidak pernah mondok dan sekolah
adalah KH. Abdul Mu’ty sendiri. Walaupun beliau tidak pernah tahu bagaimana
suasana di sekolah dan pesantren, beliau tidak kalah cerdas dengan kakan dan
adik beliau.
Pindah ke Dul Kariman (PP. Sirojul Cholil)
Sebelum beliau pindah ke tempat Dul Kariman. Dulu di sana adalah
tanah milik Syaichona Moh. Cholil yang di hadiahkan oleh Sultan kepada
Syaichona Moh. Cholil. Setelah itu, tanah milik Syaichona Moh. Cholil itu turun
kepada putrinya yang bernama Nyai. Khotimah, namun istilahnya bukan dari
Syaichona Moh. Cholil di wariskan kepada Nyai. Khotimah, tapi lokasi tersebut dijual
oleh Syaichona Moh. Cholil kepada Nyai. Khotimah untuk memberangkatkan istrinya
Syaichona Moh. Choli yang terakhir ke Mekkah menunaikan ibadah Haji, sehingga
tanah itu di beli oleh Nyai. Khotimah.
Akhirnya tempat itu dimiliki oleh Nyai. Khotimah dan juga suaminya
yang bernama KH. Thoha (KH. Muntaha bin Kaffal). Kemudian, setelah Syaichona
Moh. Cholil wafat. Lokasi di Dzul Kariman (PP. Sirojul Cholil) tidak ada yang
menempati. Kalau di masa Syaichona Moh. Cholil dulu, ketika beliau ingin
jalan-jalan di sekitar bengkalan utamanya yang mau mengarah ke Utara itu pasti
mampir ke dalemnya yang di Dzul Kariman. Setiap saat beliau pasti mampir ke
dalemnya itu.
Setelah Syachona Moh. Cholil wafat. Sekian puluhan tahun lokasi di
Dzul Kariman itu fakum karena tidak ada yang menempati. Sekitar 85 tahun lebih
tempat itu di tanggalkan oleh Syaichona Moh. Cholil, lalu lokasi tersebut di
tempati oleh tukang becak dan orang-orang berdagang. Tapi, secara transaksi
mereka itu statusnya ngontrak (menyewa) kepada KH. Cholili bin Abdul Latif (ayah
Kh. Abdul Mu’ty Cholili).
Namun, orang-orang yang menetap di Dzul Kariman tersebut mengaku
bahwa tanah yang di tempatinya itu adalah miliknya sendiri, karena memang sudah
puluhan tahun mereka menetap di sana dan mereka juga banyak yang melahirkan di
sana. Jadi, akhirnya untuk mengusir mereka yang sudah lama menetap di sana itu sangat
kesulitan.
Ketika beliau ingin pindah ke Dzul Kariman, beliau sangat kesulitan
sekali karena orang-orang yang menetap di sana lebih tua dibandingkan dengan KH.
Abdul Mu’ty. Pernah dulu ayah beliau mengatakan kepada putra-putrinya bahwa
tidak ada yang bisa mengusir orang-orang yang mengontrak di sana walaupun
beliau ingin mengeluarkan mereka dari tempat tersebut, sehingga KH. Cholili menawarkan
kepada putra-putrinya “sapah-sapah sebisa mengusir oreng se bedeh neng di
Dzul Kariman lauwes tempat jiah lakala” (barang siapa yang bisa mengusir
orang yang ada di Dzul Kariman ya sudah tempat itu diambil) dauh beliau kepada
putra-putrinya.
Kemudian putra-putrinya Kh. Cholili mencoba untuk mengusir
orang-orang yang berada di Dzul Kariman, mulai dari kakak Kh. Abdul Mu’ty yang
pertama kali mencoba untuk mengusir orang-orang tersebut namun apa yang telah
di lakukan oleh kakaknya sia-sia. Orang-orang tersebut masih saja menetap di
Dzul Kariman itu. Setelah itu adik dari Kh. Cholili juga ingin berpartisipasi
untuk melakukan pengusiran terhadap orang yang menetap di Dzul Kariman, namu
usaha adiknya tidak jauh beda dengan kakaknya. Mereka masih saja membantah
untuk tetap tinggal di Dzul Kariman tersebut. Mereka membantah atas pengusiran
yang di lakukan oleh putra-putra Kh. Cholili, karena mereka menganggap bahwa
tempat itu milik mereka sendiri.
Setelah kakak dan adik dari Kh. Abdul Mu’ty tidak ada yang bisa
melakukan pengusiran tersebut. Lalu Kh. Abdul Mu’ty turun tangan sendiri untuk
mencoba mengusir mereka yang masih saja menetap di Dzul Kariman. Alhamdulillah
setelah melakukan beberapa tahapan akhirnya orang-orang yang mengontrak bisa di
keluarkan walaupun hal tersebut sangatlah sulit bagi Kh. Abdul Mu’ty.
Sekitar tahun 2007, surat tanah yang dulunya masih belum berbentuk
sirtifikat sekarang sudah dirubah oleh KH. Ali Ghafir M. Pd menjadi sertifikat
yang resmi bernama KH. Abdul Mu’ty Cholili.
Kagiatan-Kegiata KH. Abdul M’ty yang sampai sekarang masih
berlanjut
Mulai beliau menetap di Dzul Kariman, beliau mempunyai keinginan
untuk mengadakan sebuah pengajian kecil-kecilan di dalemnya dan yang pesertanya
dari kampung Dzul Kariman sendiri. Kemudian beliau mengajak orang-orang di
kampung itu untuk ikut berpartisipasi dalam pengajian tersebut. Semua orang
yang ada di kampung itu menyetujui ajakan beliau dan ikut bergabung dalam
pengajian yang diadakan oleh KH. Abdul Mu’ty.
Selain dari orang-orang kampung di sekitarnya, ada juga orang yang masih
belum keluar dari kontrakan beliau yang mengikuti pengajian itu. Adapun tempat
untuk melaksanakan pengajian itu di dalemnya KH. Abdul Mu’ty sendiri yang di
tempatkan di Musholla sederhana milik beliau yang terbuat dari bambu.
Pengajian yang pernah di laksanakan oleh beliau pada malam Jum’at,
sampai sekarang pun masih di lanjutkan oleh KH. Ali Ghafir selaku ketua Ma’had
Sirojul Cholil yang ditetapkan pada malam Kamis.
Selain pengajian tersebut, ada juga pengajian yang dirintis oleh
KH. Abdul Mu’ty yaitu pengajian Muqoddaman dan Sholawat Nariyah yang juga
diteruskan oleh KH. Ali Ghafir. Pengjian ini diikuti oleh semua orang yang
berada di Kecamatan Bangkalan terutama di Bangkalan Kota.
Menjadi Khotib di Masjid
Dulu beliau pernah menjadi Khotib di Masjid Nurul Amal (Settoan
Pajagaan). Beliau membaca khutbah di masjid Nurul Amal tersebut pada setiap Sabtu
Kliwon.
Namun, baca khutbah itu tidak selamanya beliau teruskan, setelah KH.
Ali Ghafir menetap di Dzul Kariman sekitar satu Tahunan, beliau meminta KH. Ali
Ghafir untuk menggantikannya menjadi Khotib di Masjid Nurul Amal tersebut,
kegiatan itu sampai sekarang masih tetap di laksanakan oleh KH. Ali Ghafir
menantu dari KH. Abdul Cholili.
Selain menjadi Khotib di Nurul Amal, beliau dulu pernah menjadi
imam di Masjid Agung Bangkalan pada waktu pelaksanan Sholat Rawatib Ashar
setiap hari Senin setelah itu beliau juga meminta KH. Ali Ghafir untuk
menggantikannya.
Ketua di Hadrah ISHARI Bangkalan
Beliau adalah orang yang sangat senang terhadap pembacaan sholawat
yang diiringi dengan hadrah ishari. Beliau juga pernah menjabat sebagai ketua
ishari di kabupaten bangkalan beberapa priode.
Selain itu beliau juga banyak melatih dan mengkader orang-orang untuk
meneruskan hadrah ishari di bangkalan. Karena bukan cuma di kabupaten bangkalan
yang ada hadrah ishari, banyak dari daerah-daerah lainnya yang membaca
sholawatan dengan diiringi hadrah ishari seperti di Kacamatan Socah, Burneh, Tanah
Merah dan juga di desa Keramat.
Beliau tetap berusaha menghadiri permintaan orang-orang yang ingin
belajar ishari meskipun kendaraan pada waktu itu masih menggunakan sepeda ontel,
beliau tetap hadir untuk membuat kaderesasi orang-orang yang senang pada hadrah
ishari. Di hadrah ishari beliau menjabat sebagai ketua cabang dan sekarang
diganti KH. Muhaimin, sebelumnya KH. Muhaimin, RKH. Fahrillah Aschal juga
pernah menjadi ketua ishari di bangkalan.
Kedatangan KH. Toha bin Kaffal
Suatu ketika beliau pernah mendapat undangan dari masyarakat untuk
menghadiri sebuah acara, namun ketika itu juga KH. Abdul Mu’ty dalam kondisi
kurang begitu sehat. Sebelum beliau sakit-sakitan, beliau pernah bermimmpi didatangi
oleh KH. Toha bin Kaffal, “be’na tak usa kaluaran konjengan pole” (kamu
gak usah keluar untuk kondangan lagi) dauh KH. Toha bin Kaffal kepada KH. Abdul
Mu’ty dalam mimpinya.
Mungkin KH. Toha bin Kaffal berkata seperti itu karena KH. Abdul
Mu’ty pada waktu itu dalam keadaan kurang begitu sehat, sehingga beliau di
datangi oleh KH. Toha bin Kaffal. Tutur KH. Ghafir
Keistikomahan Beliau di Dalam Menjaga Waktu
Beliau itu orangnya sangat disiplin dan istikomah, setelah
pelaksanaan sholat shubuh beliau menunggu waktunya sholat Duha dan sesudah
melaksanakan sholat Duha beliau langsung membaca al-Qur’an sampai jam 09:00 semua
itu beliau lakukan secara istiqomah setiap hari.
Bukan Cuma itu, beliau juga membagi waktunya di dalam beribadah dan
selalu tepat waktu dalam melaksanakannya. Selain itu, beliau juga mempunyai
tempat husus untuk pakian yang ingin di
pakai ketika mengerjakan sholat . Beliau juga sangat tidak senang kepada orang
yang tidak disiplin.
Beliau itu senang ketika melakukan pekerjaan pada hari senin, apapun
yang beliau lakukan selalu pada hari senin. Contohnya ketika beliau membangun
pondok Sirojul Cholil, beliau mendatangkan seorang pekerja tetap seperti pak Sholeh,
pak Said dan pak Ahmad Semua pekerja tetap itu oleh beliau di perintahkan untuk
bekerja setiap hari senin walaupun pada hari senin itu tidak ada yang mau di
kerjakan, beliau tetap menghadirkan tiga pekerja itu. Karena saking senangnya
beliau pada hari Senin, sehingga beliau itu wafat malam senin.
Keanehan-Keanehan Beliau
Salah satu keanehan yang membuat semua orang kagum kepada beliau
iyalah ketika beliau meludah, ludah beliau itu baunya harum dan waktu beliau
mengusir orang-orang yang mengontrak di Dzul Kariman dulu, beliau bisa membuat
orang yang mengontrak ketakutan ketika melihat becak yang di duduki oleh beliau
bisa roboh dengan sendirinya. karena ketika beliau duduk di salah satu becak punya
orang-orang yang ada di Dzul Kariman, becak tersebut roboh dan hancur. Karena
keanehan itu, penduduk yang mengontrak
di sana menjadi ketakutan, sehingga mereka ada yang
keluar dari Dzul Kariman tanpa di perintah oleh KH. Abdul Mu’ty Cholili.
0 komentar:
Posting Komentar