(Tab Widget 2)

Selasa, 17 Januari 2017

REPLICA DEMOKRASI DALAM PERSEPSI ISLAM (ASCHAL Edisi 12)


Dalam kajian politik Islam, telah banyak dari intelktual muslim  yang telah mendiskusikan hubungan Islam dengan konsep demokrasi,  sebagian dari mereka telah mengklaim bahwa perpolitikan Islam sedang mengarah kejalur demokrasi. Sebagian lagi berpandangan bahwa demokrasi belum begitu dikenal dalam khazanah pemikiran Islam, meskipun sebenarnya telah sejalan dengan pelajaran Islam. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa dasar dalam Islam adalah bertumpu pada konsep“ kedaulatan Tuhan “. Sehingga demokrasi yang bermakna“ kedaulatan di tangan rakyat “, kurang sesuai dengan pemikiran politik Islam bahkan bertolak belakang.
            Sampai saat ini, masih belum ada kata sepakat mengenai simbolitik dari keduanya itu, apakah Islam telah bertolak belakang dengan demokrasi atau bahkan berkesesuaian..? apakah Islam harus mewarnai demokrasi atau malah sebaliknya ..? Sehinga, menjadikan demokrasi di persimpangan jalan.
SINTESIS DEMOKRASI ISLAM
            Pada dasarnya, Islam dan demokrasi merupakan dua konsep dari entitas kultur yang berbeda. Islam merupakan sebuah tatanan hidup yang berorientasi pada prinsip ketuhanan, sedangkan demokrasi merupakan produk pemikiran barat yang cendrung subyektif. Ketika kedunya di padukan,  betapapun nilai-nilai di dalamnya  relative berkesesuaian, tentu tidak akan lepas dari gesekan-gesekan yang cukup tajam.
            Konon, idedemokrasi di cetuskan pertama kali oleh PLATO sebagai respon terhadap pengalaman buruk terhadap system monarki dan kediktatoran Yunani saat itu, mulanya pemikir besar Yunani ini tidak begitu sependapat atau bahkan sangat menolak tehadap kesewenang-wenangan system monarki, kediktatoran system otokrasi, dan buju krayu system feodal  yang membelenggu Yunani. Namun selaku perintis ide demokrasi, plato tidak pernah mengklaim system demokrasi sebagai satu-satunya system terbaik dari berbagai system yang telah ada.
            Sedangkan dalam Islam, istilah demokrasi tidak penah dikenal sebelumnya, walaupun Islam sangat menentang istibdat, absolutism, dan kesewenang-wenangan.
            Detik-detik pasca kewafatan baginda Nabi Muhammad SAW, juga turut menjadi bukti historis mengenai aktualisasi konsep demokrasi Islam saat itu. Para sahabat bingung mengenai siapa yang akan menjadi kholifah bagi ummat selanjutnya. Pada akhirnya berkumpulah dua kelompok besar Islam, Muhajirin dan Anshor untuk berunding di bani tsaqifa banisa’idah. Setelah melalui dialog yang cukup panjang, akhirnya kedua pihak setuju untuk memilih sayyidina Abu bakar as-Shiddiq sebagai kholifah pertama Islam. Setelah di tsaqifah,  pembaitan di lanjutkan dengan di ikuti oleh seluruh lapisan masyarakat sebelum pemakaman Rasululloh SAW.
ISLAM MENYOAL DEMOKRASI PANCASILA
Penting kiranya untuk di fahami terlebih dahulu bahwa pada dasarnya Islam tidak pernah menjustifikasi suatu system tertentu dalam mengatur perpolitikan. Oleh karena itu Islam memperbolehkan mengambil sumber dari luar Islam dengan catatan dapat bermanfaat dan tidak bertentangan dengan dalil qath’I (absolut) serta prinsip-prinsip dasar agama. Hal ini senada dengan bunyi kaidah bahwa ketika di temukan sebuah perantara untuk merealisasikan tujuan-tujuan syari’at, maka perantara itu di berlakukan sebagai sebuah aturan atau system.
            Di samping itu, untuk menjawab pandangan radikal mereka, terlebih dahulu kita harus menemukan kesesuaian antara konsep dasar demokrasi pancasila dengan prinsip dasar Islam dalam bernegara, baik di tilik dari segi doctrinal  ataupun melakukan pendekatan sejarah.
            Namun demikian, seperti lazimnya demokrasi yang lain, demokrsi pancasila juga mengakui kedaulatan rakyat sebagaimana yang telah tertera dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat. Namun disamping kedaulatan rakyat, terdapat pula kedaulatan tuhan sebagaimana pengertian yang telah terkandung dalam sila pertama: “ketuhanan yang Maha Esa”.
            Jadi pada dasarnya demokrasi pancasila sangatlah menjunjung tinggi hukum tuhan serta tidak boleh berbenturan dengan doktrin-doktrin Islam. Hal ini senada dengan alinea ketiga pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Karenanya kedaulatan rakyat atau ummat Islam sejatinya adalah implementasi dalam kedaulatan tuhan, baik dalam ruang lingkup sosial atau politik, yang diwujudkan melalui permusyawaratan. Mengapa demikian ? Karena Rasulullah SAW menegaskan bahwa ummatnya tidak akan sepakat dalam kesesatan.
            Sedangkan prinsip persamaan dan kebebasan dalam konsep demokrasi pancasila telah tercantum dalam pembukuan UUD 1945 alinea pertama yang berbunyi, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karna tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan”. Prinsip persamaan ini senada juga yang telah dinyatakan dalam pasal 27.
Penutup

            Dari uraian di atas, tampak sekali bahwa praktek demokrasi itu sebenarnya sudah teraplikasikan dalam Islam, meskipun sebelumnya tidak dikenal dengan istilah-istilah tertentu. Islam memberikan keleluasaan untuk berdemokrasi. Islam memberikan kebebasan untuk mencarimu fakat. Islam juga memberi lampu hijau untuk berijtihad. Namun, tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan hanya meliputi persoalan yang tidak dijelaskan secara spesifik oleh agama. Rasulullah SAW bersabda, “…barangsiapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al-jamaah (mayoritas ummat islam)”. (HR. Turmidi). Rasulullah juga pernah bersabda, “…ummatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”.

0 komentar:

Posting Komentar