Manusia tidak akan lepas dari
lingkungan sosial, mereka pasti hidup bersama orang lain dan memerlukan
pertolongan mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam pergaulan setiap
hari dapat dipastikan akan terjadi gesekan-gesekan sosial yang menjadikan seseorang
bisa merubah pola hidupnya, dan terkedang bisa mempengaruhi keyakinan.
Lingkungan sekitar sangat mempengaruhi pembentukan krakter seseorang. Apabila
ia berada dalam komonitas yang baik, tentu bisa diharapkan ia akan menjadi
orang baik pula, dan begitu pula sebaliknya. Pada dasarnya semua orang
dilahirkan dalam keadaan baik, tanpa noda dan dosa, bahkan mempunyai keyakinan
yang benar menurut agama. Sebagaimana Nabi Muhamad shallahu alaihi wa salam bersabda:
عَنِ الْاَسْوَدِ بنْ سَرِيْعٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ: كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَاَبَوَاهُ يُهَوِدَانِهِ اَوْ يُنَصِرَانِهِ اَوْيُمَجِسَانِهِ (حديث حسن رواه
الطبرانى والبيهقى)
Artinya : “Setiap yang terlahir
dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan
Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”
Para ulama menafsiri kata-kata fithrah
dalam hadits di atas dengan tauhid dan iqrar bi al-wahdaniyah
lillah (pengakuan tentang keesaan Allah SWT). Dari tafsiran ini maka
kita dapat menyimpulkan bahwa fithrah manusia itu beragama tauhid,
maksudnya bahwa pengakuhan hati akan adanya Tuhan yang Maha Esa yaitu Allah SWT merupakan fithrah
pembawaan dari sejak lahir. Apabila dikemudian hari ada perubahan dari sifat fithrah
pembawaan itu, maka ia telah berubah dari fithrahnya. Tentu perubahan
ini karena disebabkan oleh lingkungan yang ada di sekitar yang dimulai dari
yang paling dekat sebagaimana dalam hadits di atas.
Pada
masa-masa saat ini sudah tak terbendung lagi tentang ajaran-ajaran yang keluar
dari tuntunan Rasulullah shallahu alaihi wa salam yang asli. Bahkan
tidak jarang ada di antara mereka yang mengaku menjadi nabi, menerima wahyu
dari Malaikat Jibril dan banyak lainnya. Dengan segala cara sekelompok orang
yang mempunyai ajaran “nyeleneh” menebar ajaran-ajaran yang mereka
yakini di lingkungannya. Dengan santun dan sopan, oknum agama ini
mensosialisasikan keyakinan sesat terhadap orang-orang yang minim ilmu agamanya,
terutama sekelompok orang yang lemah ekonomi. Yang sangat aneh, kenapa masih
banyak orang yang terpengaruh dan mengikuti ajaran sesat itu. Ini adalah tugas para dai, ulama, ilmuan,
serta orang tua untuk membentengi keyakinan generasi muslim dan muslimah agar
tidak terpengaruh ajakan orang pada ajaran yang sesat. Sebagaimana yang telah
termaktub dalam al-Qur’an:
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْا قُوْا اَنْفَسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَاالنَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
(Q.S.
al-Tahrim/66:6)
Dalam
ayat di atas dijelaskan bahwa salah satu kewajiban kepala keluarga adalah melindungi
dari api neraka. Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan ayat ini adalah menyerukan
agar berhenti melakukan larangan-larangan Allah SWT dan merubah dengan bentuk ketaatan kepada-Nya (Tafsir Khazin:6/234)
Ada
beberapa trik untuk mengantisipasi generasi muslim dan muslimah terpengaruh
dengan ajaran-ajaran “baru”.
1.
Mengajarkan
Pendidikan Agama Sejak Dini
Orang
tua sebagai figur pendidik pertama dan
utama bagi anak-anak, karena peran keluarga terutama kedua orang tua sangat
dominan dalam mendidik anak. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi
perkembangan pendidikan putra-putrinya, terutama pada tahun-tahun pertama atau
usia pra sekolah mereka. Karena masa-masa itu adalah masa-masa penting dan
paling kritis dalam usia anak. Pada vase itu anak-anak akan selalu memberikan
pertanyaan tentang apa saja kepada orang dewasa, dan yang dilihat, didengar,
dan dirasakan akan sangat membekas dalam diri anak sehingga tidak mudah untuk
dilupakan. Orang tua harus menanamkan pendidikan sejak dini terhadap
anak-anaknya, karena kegagalan dalam penanaman nilai-nilai suci pada usia dini,
sangat berpeluang untuk menjadikan anak tersebut menjadi tidak terkontrol
ketika usia dewasa.
Pendidikan
yang harus diberikan kepada generasi penerus bangsa ini tentu yang berkaitan
dengan ilmu keagamaan. Dengan memberikan pendidikan agama sejak dini terhadap
anak tentu akan membentuk anak yang shaleh shalehah yang menjadi harapan banyak
orang. Disamping itu, mendahulukan pendidikan agama terhadap anak-anak adalah
sebuah kewajiban terhadap orang tuanya. Nabi Muhammad shalahu alaihi wa
salam bersabda:
اَدِّبُوْا
اَوْلاَدَكُمْ عَلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَحُبِّ اَهْلِ بَيْتِهِ
وَقِرَاءَةِ الْقُرْاءَنِ
Artinya:
“Didiklah ana-anak kamu dengan tiga hal: yaitu 1) mencintai nabimu, 2)
mencintai keluarganya, 3) membaca al-Qur’an. (H.R. Dailami)
Hadits
di atas menekankan kepada semua orang tua agar menanamkan rasa cinta sejak dini
terhadap Rasulullah shalahu alaihi wa salam kepada anak-anaknya. Tentu
dengan tertanamnya kecintaan kepada Sang rasul akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Selain
menanamkan rasa cinta yang mendalam kepada Nabi Muhammad shalahu alaihi wa
salam, dalam hadits di atas harus mengajari al-Qur’an kepadanya. Ungkapan
al-Qur’an dalam hadits itu tentu diartikan dengan memahami dan mengkaji segala
disiplin ilmu pengetahuan agama. Bukan hanya sekedar bisa membaca, tapi harus
memahami dan mendalami kandungan-kandungan ilmu pengetahuan yang ada dalam
kitab suci tersebut, karena Al-Qur’an adalah sumber dari segala ilmu
pengetahuan, terutama ilmu yang erat hubungannya dengan ketauhitan. Syaikh
Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Mutaalim menjelaskan bahwa pengetahuan
yang harus didahulukan dari ilmu lainnya adalah ilmu yang berkaitan dengan
keimanan.
2.
Menanamkan
Sikap Sopan Bagi Generasi.
Kata
sopan berasal dari bahasa Arab adaba, sedangkan menanamkan sikap sopan
berasal dari kata addaba dengan masdar ta’dib yang berarti
perilaku dan sikap sopan. Salah seorang tokoh pendidikan Syaikh Muhammad Naquib
al-Attas menggunakan istilah ta’dib dalam pendidikan Islam digunakan untuk
menjelaskan proses penanaman adab atau sopan santun kepada manusia. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna adab adalah kesopanan, kebaikan, dan kehalusan budi. Al-Attas
juga melihat bahwa adab telah banyak terlihat dalam sunah nabi, dan
secara konseptual ia terlebur bersama ilmu dan amal. Sebagaimana yang telah
terjadi kepada Rasulullah shalahu alaihi wa salam, beliau bersabda :
اَدَّبَنِيْ
رَبِّيْ فَاَحْسَنَ تَاءْدِيْبِيْ
Artinya
: “Tuhanku telah mendidikku, dengan demikian membuat pendidikanku yang
paling baik.” (HR. Ibnu Hibban)
Selain
memprioritaskan ilmu pengetahuan agama terhadap anak, orang tua harus mendidik
kesopanan dan akhlak yang mulia. Karena dengan anak punya kesopanan dalam
hidupnya tentu mereka akan mempunyai prinsip untuk bergaul dengan orang-orang yang
baik dan berilmu manfaat. Generasi muda yang sopan akan memilih teman yang baik
dalam hidupnya, yang bisa membimbing dirinya ke jalan yang benar. Bagian dari
generasi yang berpendidikan dan beretika adalah berbuat kebaikan secara nyata
dalam kehidupan sosial kemanusiaan dengan memperhatikan dan mengedepankan
moralitas. Justru itu sangat ironis apabila orang tua kurang memperhatikan pada
persoalan moralitas anak-anak dan generasi muslim. Dalam Islam, salah satu
ajarannya yang sangat ditekankan secara tegas adalah penegakan akhlak. Itulah
sebabnya Nabi Muhammad shalahu alaihi wa salam mendeklarasikan bahwa beliau diutus Allah SWT
guna memperbaiki dan menyempurnakan akhlak. Kesalehan sosial kemanusiaan
generasi muda dalam kehidupan realitas berupa etika sosial dapat melindunginya dari
ajakan orang-orang yang tidak benar.
3.
Selalu
mengawasi dengan prinsip amar makruf nahi mungkar
Allah SWT telah mengabadikan
bagaimana seorang Luqman al-Hakim di dalam memberikan nasehat dan pendidikan
kepada anaknya, ia melarang berbuat syirik terhadap anaknya serta memerintahkan
untuk berbakti kepada kedua orang tua. Bahkan Lukman al-Hakim itu juga
menganjurkan kepada anak-anaknya untuk menyuruh manusia berbuat kebajikan dan
meninggalkan kemungkaran. Sebagaimana yang telah tertulis dalam al-Qur’an yang
artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) untuk
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar serta
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya demikian itu termasuk
hal-hal yang didinginkan oleh Allah” (Q.S. Luqman.31:17)
Dalam hadits di jelaskan bahwa
apabila seorang anak telah berumur 7 tahun maka harus diperintahkan untuk
melakukan shalat. Apabila telah masuk pada tahun ke 10 dari umurnya, maka
sebagai orang tua harus bersikap dengan prinsip amar makruf nahi mungkar. Anak
tersebut harus dipukul dengan pukulan yang bersifat didikan. Sikap orang tua
terhadap anak seperti dalam masalah shalat ini adalah bentuk realisasi dari pengawasan
orang tua terhadap anak yang dikemas dengan amar makruf nahi mungkar yang sudah
menjadi kewajiban. Mengawasi anak tidak hanya terbatas masalah shalat, dalam
hal kewajiban dan larangan agama seharusnya sebagai orang tua memang berkewajiban
untuk selalu memantau sang anak. Di komonitas sosial tidak jarang mereka akan
bertemu dan bergaul dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang yang
berbeda-beda. Dari aneka pendidikan yang dimiliki oleh teman-teman ngobrolnya,
tentu tidak menutup kemungkinan mereka akan cepat terpengaruh ajakannya.
Selain dari pergaulan yang harus
dikontrol dan diawasi, pengaruh negartif media sosial yang sangat marak akhir-akhir ini, tentu orang tua
harus ekstra dalam memantau anaknya. Terabaikan satu langkah saja bisa saja
calon penerus perjuangan Rasulullah shalahu alaihi wa salam ini akan menjadi korban negative media sosial
dan akan mengaplikasikan dalam menjalani
hidup dan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Itulah sekelumit tentang
solusi untuk menyelamatkan generasi muda Islam dari ajakan-ajakan aliran yang
tidak benar sebagai antisipatif kita dalam melindungi mereka. Semoga oret-oretan
ini bermanfaat bagi kita. Amin
Oleh : Moh Ali Ghafir
0 komentar:
Posting Komentar