Oleh:
Moh.H. Ali Ghafir, SPd. MPdI
PP
Sirojul Kholil Dulkariman Bangkalan
Pengertian Thariqat
Sudah lama kita mendengar istilah thariqat, dan setiap mendengar
istilah ini kita selalu membayangi hal-hal yang erat sekali dengan tashawuf, tawajuh,
dan lainnya. Bahkan orang-orang awam beranggapan bahwa thariqat ini hanya
khusus bagi orang-orang tertentu yang tak pernah keluar rumah dan tidak
beraktivitas kecuali hanya berdzikir pada Allah. Untuk mengantisifasi terjadinya
persepsi tersebut, tulisan ini akan menjelaskan apa yang sebenarnya
thariqat itu.
Kata thariqat secara etemologis (lughawiyah) mempunyai
beberapa arti, di antara arti itu adalah metode, sistem, aliran. Sedangkan
menurut mutashawifin istilah thariqat mempunyai beberapa pengertian. Ada
yang berpendapat bahwa thariqat adalah jalan atau metode yang dikemas
sedemikian rupa oleh para masyaikh terdahulu yang bertujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT, yang berupa cara-cara berdzikir, berkhalwat, muraqabah,
muhasabah, dan tajarrud. Syaikh Sa’duddin Muhammad Salim al-Murad athaalallah
umrahu dalam kitabnya Durar ar-Rasail halaman 12 mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan thariqat adalah aplikasi bentuk nyata sebagai media
pembersihan hati agar memperoleh buah yang hakiki yaitu menyatunya sebuah hati
pada Sang Pencipta SWT, serta melaksanakan sifat kehambaan yang sebenarnya
dalam bersikap pada Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa thariqat adalah
metode khusus bagi salik atau cara yang tepat dalam mengaplikasikan
perintah-perintah Allah SWT. Syaikh Abdullah Sirajuddin rahimahullah ta’ala mengatakan
bahwa mendekatkan diri pada Allah tidak akan terjadi kecuali dengan mengikuti
aturan-aturan dalam syari’at-Nya, karena syariat Allah SWT merupakan thariqat
yang dapat mengantarkan seorang hamba semakin dekat dan cinta pada-Nya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Syaikh Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mengatakan bahwa
thariqat adalah mengaplikasikan segala sesuatu yang telah disyariatkan oleh
Allah melalui lisan Nabi Muhammad SAW, dengan kata lain yang dimaksud dengan thariqat
menurut pendapat ini adalah mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Pendapat yang terakhir ini diapresiasi oleh Syaikh Abdul Alim bin Abdul
Jalil allahumma yarham, ia berpendapat bahwa semua bentuk ibadah yang
dapat mendekatkan diri dan cinta pada Allah Subahanahu wa Ta’ala dapat
disebut thariqat. Bentuk ibadah itu bisa berupa melakukan shalat fardhu atau shalat
sunah, berdzikir, baca shalawat pada Kajeng Rasul SAW, belajar kitab atau
mengaji, menuntut ilmu, membaca al-Qur’an, dan lainnya.
Dari beberapa pendapat para pakar yang memang spesialisasi
dalam ilmu thariqat dapat kita kongklusikan bahwa thariqat yang
berfungsi untuk mendekatkan diri dan semakin mahabbah pada Allah SWT itu
ada dua cara, yaitu thariqat yang bersifat khusus dan thariqat yang bersifat umum.
Thariqat khusus adalah suatu metode untuk lebih dekat dan kenal dengan Allah
SWT yang dikemas sedemikan rupa dan dibangun melalui struktur genealogi
(sanad) yang kokoh secara berkesinambungan dari generasi ke generasi hingga
Rasulullah. Pada umumnya thariqat fersi ini mempunyai aurad-aurad yang
dibaca pada waktu-waktu tertentu. Ada aurad yang bersifat umum (aurad
al-ammah) yang dibaca pada waktu pagi dan sore, dan ada aurad yang
khusus yang dibaca setiap hari. Bacaan-bacaan dzikir ini memang diperoleh
dengan cara ijazah atau bai’ah dari syaikh atau mursyid yang
sudah memenuhi kualifikasi. Aurad-aurad yang telah dijadikan bacaan
khusus bagi penganut thariqat “formal” ini terstruktur genealoginya mulai
dari Rasulullah SAW hingga mursyid dan penganutnya. Thariqat umum adalah cara
lain yang ditempuh hamba Allah SWT melalui aneka macam ibadah yang bertujuan
ingin mendekatkan diri dan makrifat pada-Nya. Thariqat fersi kedua ini
(non formal) tidak mempunyai amalan-amalan secara spesifik, dan secara
kasat mata seakan-akan genealoginya tidak terstruktur seperti thariqat fersi
pertama. Namun sebenarnya setiap amalan yang utama pasti mempunyai mata rantai (sanad)
yang bersambung pada Rasulullah Muhammad bin Abdillah SAW. Istiqamah menjalankan
perintah agama, seperti melakukan shalat fardhu, sunah, puasa sunah, puasa
wajib, menuntut ilmu dan ibadah lainnya menurut versi ke dua termasuk thariqat.
Di samping itu semua larangan agama dihindari sekuat mungkin.
Terlepas dari membagi dua macam cara yang ditempuh oleh hamba Allah
SWT menuju gelar al-washil dan al-arif pada-Nya, secara umum
seorang yang akan berthariqat baik thariqat yang bersifat umum ataupun yang
khusus mempunyai kewajiban untuk memperdalam ilmu syariat terlebih dahulu.
Belajar ilmu syariat dapat diperoleh melalui beberapa orang guru yang alim dan
sesuai dengan bidang masing-masing, seperti ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah dan lainnya.
Apabila ilmu syariat seseorang sudah sempurna, maka thariqat yang diikuti akan
lebih sempurna dan tidak akan sia-sia. Karena beramal shalih tanpa didasari
dengan ilmu pengetahuan yang cukup akan tertolak disisi Allah SWT dan tentu
gelar a-lwashil dan al-arif billah tak akan diperoleh.
Dalil Thariqat dan Tawajuh
Kata thariqat banyak termaktub dalam al-Qur’an, namun bukan
berarti thariqat yang sudah menjadi istilah bagi kelompok mutashawifin sebagaimana
yang telah diuraikan di atas. Dalam surah Jin ayat 16 berbunyi:
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً
غَدَقًا
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar
Kami akan memberi minum kepada mereka dengan air yang segar (rizki yang
banyak)”
Kata al-Thariqah dalam ayat ini sebenarnya terdapat beberapa
makna yang diungkapkan oleh para pakar tafsir. Namun mayoritas ulama menafsiri
dengan “jalan yang benar” seperti Syaikh Mujahid dalam tafsir al-Thabari.
Apabila kita berasumsi pada tafsir “jalan yang benar” berarti
yang dimaksud dalam ayat ini adalah apabila orang-orang itu berpegang teguh
pada jalan kebenaran, iman dan hidayah, dan diridhai oleh Allah, maka mereka
tergolong orang-orang mukmin yang taat. Untuk mencari dalil thariqat secara
spesifik, kita tetap berprinsip pada pembagian thariqat yang bersifat umum dan
khusus. Apabila yang dimaksud adalah dalil dari thariqat yang bersifat umum
maka sudah jelas bahwa mengamalkan ilmu pengetahuan adalah wajib hukumnya.
Karena seorang salik yang bertujuan taqarub pada Allah SWT
melalui amalan-amalan yang utama tidak ada larangan dalam Islam. Sedangkan
dalil dari thariqat yang bersifat khusus, kita cukup menilai pada thariqat itu,
apakah thariqat tersebut tergolong thariqat yang otoritatif (mu’tabarah) atau
tidak. Pada umumnya thariqat yang ada di Bangkalan amalan-amalannya tidak
keluar dari ajaran Islam yang benar. Biasanya amalan mereka terdiri dari amalan
yang bersifat umum seperti dzikir-dzikir, salat sunat, berpuasa, dan melakukan
wirid yang dikerjakan setiap hari. Ada riyadhah yang bersifat khusus,
seperti proses khalwat, pekerjaan ini diperuntukan bagi segolongan kecil
salik. Dan ada riyadhah yang dikerjakan peserta thariqat yang
bersifat khususul khusus (sangat khusus) seperti muraqabah dan muhasabah.
Riyadhah ini bisanya hanya dikerjakan oleh bagian senior bagi peserta
thariqat.
Sebenarnya dalil-dalil tentang thariqat tidak perlu kita sangsikan
lagi karena dalil itu sudah jelas. Cukuplah kita kembali pada surah Jin ayat
16 di atas bahwa orang yang berjalan di atas “thariqat” yang benar maka akan
menerima kompensasi dari Allah SWT. Yang perlu kami jelaskan disini tentang
kegiatan khusus bagi peserta thariqat yang berupa tawajuh atau dzikir
bersama. Bagaimana pandangan Islam tentang dzikir bersama (tawajuh)
dengan cara mengeraskan suara dan dikerjakan secara kolektif. Berkaitan
dengan tradisi dzikir secara berjamaah, ada sekian banyak hadits yang
menganjurkannya antara lain hadits berikut ini yang ditulis terjemahannya: “Saddad
bin Aus berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW tiba-tiba beliau berkata, “Apakah
di antara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” Kami menjawab, “Tidak ada wahai
Rasulullah” Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata,
“Angkatlah tangan kalian, lalu katakan Laa ilaaha illallaah!” Kami mengangkat
tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah meletakan tangannya. Lalu bersabda,
“Alhamdulillah ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid
ini. Engkau memerintahkannya kepadaku dan menjanjikanku surga karenanya,
sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda,
“Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian (HR. Ahmad,
al-Hakim, al-Thabari dan al-Bazzar) Dalam hadits yang lain diterangkan
berdzikir dengan cara mengeraskan suara setelah shalat fardhu, hadits tersebut
adalah: “Dari Abu Ma’bad, bahwa ibn Abbas mengabarkan kepadanya, bahwa
mengeraskan suara dalam berdzikir ketika selesai shalat fardhu berjamaah
terjadi pada zaman Nabi SAW. Ibn Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya
shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara keras mereka dalam berdzikir.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim) Bahkan
Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani ulama Syiah Zaidiyah dalam kitabnya yang
berjudul al-Ijtima’ ‘ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi setelah menyebut
sekian banyak ayat al-Qur’an tentang dzikir ia berkata: “Ini adalah himpunan
ayat-ayat al-Qur’an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut
tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan,
meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian.
Dari banyak dalil yang otoritatif tersebut, maka tradisi
dzikir bersama seperti pembacaan tahlil, istighasah, tawajuh dan lainnya
perlu dipertahankan eksistensinya, karena semua ini tidak keluar dari
norma-norma Islam dan atau sudah dilegitimasi oleh syara’. Karena para
ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul,
istisyfa’, istighatsah, isti’anah, dan tawajuh, memiliki makna dan
hakikat yang sama. Mereka mendefinisikan dengan definisi: “Memohon datangnya
manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan
menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya”. Apabila ada sekelompok orang mengatakan bahwa
thariqat dan tawajuh atau bentuk ritual lainnya itu adalah bid’ah maka
perlu diklarifikasi tuduhan tersebut. Sejauh reverensi yang ada kelompok
yang mengharamkan dan membid’ahkan ritual-ritual tersebut hanya aliran Wahabi.
Disamping itu mereka membid’ahkan dzikir yang ditentukan oleh seorang Syaikh dalam
jumlah dan bilangan tertentu agar dibaca jama’ahnya dalam berdzikir. Misalnya syaikh
mengatakan, bacalah laailaaha illallah sebanyak seribu kali dalam sehari
semalam sebagaiman aurad-aurad yang berlaku di thariqat. Yang lebih
parah lagi, sekte Wahabi ini menuduh thariqat sufi dengan kesyirikan. Bahkan
lebih dari itu, mereka mengatakan “Wahai umat Islam, agama kalian tidak akan
bermanfaat kecuali jika kalian terang-terangan memerangi thariqat dan
memberantasnya”. Na’udzu billah min dzalik.
0 komentar:
Posting Komentar