(Tab Widget 2)

Jumat, 13 Januari 2017

HANYA SEKTE WAHABI YANG MEMBID’AHKAN THARIQAT & TAWAJUH (ASCHAL Edisi 11)


Oleh: Moh.H. Ali Ghafir, SPd. MPdI
PP Sirojul Kholil Dulkariman Bangkalan
Pengertian Thariqat
Sudah lama kita mendengar istilah thariqat, dan setiap mendengar istilah ini kita selalu membayangi hal-hal yang erat sekali dengan tashawuf, tawajuh, dan lainnya. Bahkan orang-orang awam beranggapan bahwa thariqat ini hanya khusus bagi orang-orang tertentu yang tak pernah keluar rumah dan tidak beraktivitas kecuali hanya berdzikir pada Allah. Untuk mengantisifasi terjadinya persepsi tersebut, tulisan ini akan menjelaskan apa yang sebenarnya thariqat itu.
Kata thariqat secara etemologis (lughawiyah) mempunyai beberapa arti, di antara arti itu adalah metode, sistem, aliran. Sedangkan menurut mutashawifin istilah thariqat mempunyai beberapa pengertian. Ada yang berpendapat bahwa thariqat adalah jalan atau metode yang dikemas sedemikian rupa oleh para masyaikh terdahulu yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang berupa cara-cara berdzikir, berkhalwat, muraqabah, muhasabah, dan tajarrud. Syaikh Sa’duddin Muhammad Salim al-Murad athaalallah umrahu dalam kitabnya Durar ar-Rasail halaman 12 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan thariqat adalah aplikasi bentuk nyata sebagai media pembersihan hati agar memperoleh buah yang hakiki yaitu menyatunya sebuah hati pada Sang Pencipta SWT, serta melaksanakan sifat kehambaan yang sebenarnya dalam bersikap pada Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa thariqat adalah metode khusus bagi salik atau cara yang tepat dalam mengaplikasikan perintah-perintah Allah SWT. Syaikh Abdullah Sirajuddin rahimahullah ta’ala mengatakan bahwa mendekatkan diri pada Allah tidak akan terjadi kecuali dengan mengikuti aturan-aturan dalam syari’at-Nya, karena syariat Allah SWT merupakan thariqat yang dapat mengantarkan seorang hamba semakin dekat dan cinta pada-Nya. Hal ini sesuai dengan pendapat Syaikh Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mengatakan bahwa thariqat adalah mengaplikasikan segala sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah melalui lisan Nabi Muhammad SAW, dengan kata lain yang dimaksud dengan thariqat menurut pendapat ini adalah mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Pendapat yang terakhir ini diapresiasi oleh Syaikh Abdul Alim bin Abdul Jalil allahumma yarham, ia berpendapat bahwa semua bentuk ibadah yang dapat mendekatkan diri dan cinta pada Allah Subahanahu wa Ta’ala dapat disebut thariqat. Bentuk ibadah itu bisa berupa melakukan shalat fardhu atau shalat sunah, berdzikir, baca shalawat pada Kajeng Rasul SAW, belajar kitab atau mengaji, menuntut ilmu, membaca al-Qur’an, dan lainnya. 
Dari beberapa pendapat para pakar yang memang spesialisasi dalam ilmu thariqat dapat kita kongklusikan bahwa thariqat yang berfungsi untuk mendekatkan diri dan semakin mahabbah pada Allah SWT itu ada dua cara, yaitu thariqat yang bersifat khusus dan thariqat yang bersifat umum. Thariqat khusus adalah suatu metode untuk lebih dekat dan kenal dengan Allah SWT yang dikemas sedemikan rupa dan dibangun melalui struktur genealogi (sanad) yang kokoh secara berkesinambungan dari generasi ke generasi hingga Rasulullah. Pada umumnya thariqat fersi ini mempunyai aurad-aurad yang dibaca pada waktu-waktu tertentu. Ada aurad yang bersifat umum (aurad al-ammah) yang dibaca pada waktu pagi dan sore, dan ada aurad yang khusus yang dibaca setiap hari. Bacaan-bacaan dzikir ini memang diperoleh dengan cara  ijazah  atau bai’ah dari syaikh atau mursyid yang sudah memenuhi kualifikasi. Aurad-aurad yang telah dijadikan bacaan khusus bagi penganut thariqat “formal” ini terstruktur genealoginya mulai dari Rasulullah SAW hingga mursyid dan penganutnya. Thariqat umum adalah cara lain yang ditempuh hamba Allah SWT melalui aneka macam ibadah yang bertujuan ingin mendekatkan diri dan makrifat pada-Nya. Thariqat fersi kedua ini (non formal) tidak mempunyai amalan-amalan secara spesifik, dan secara kasat mata seakan-akan genealoginya tidak terstruktur seperti thariqat fersi pertama. Namun sebenarnya setiap amalan yang utama pasti mempunyai mata rantai (sanad) yang bersambung pada Rasulullah Muhammad bin Abdillah SAW. Istiqamah menjalankan perintah agama, seperti melakukan shalat fardhu, sunah, puasa sunah, puasa wajib, menuntut ilmu dan ibadah lainnya menurut versi ke dua termasuk thariqat. Di samping itu semua larangan agama dihindari sekuat mungkin.
Terlepas dari membagi dua macam cara yang ditempuh oleh hamba Allah SWT menuju gelar al-washil dan al-arif pada-Nya, secara umum seorang yang akan berthariqat baik thariqat yang bersifat umum ataupun yang khusus mempunyai kewajiban untuk memperdalam ilmu syariat terlebih dahulu. Belajar ilmu syariat dapat diperoleh melalui beberapa orang guru yang alim dan sesuai dengan bidang masing-masing, seperti ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah dan lainnya. Apabila ilmu syariat seseorang sudah sempurna, maka thariqat yang diikuti akan lebih sempurna dan tidak akan sia-sia. Karena beramal shalih tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan yang cukup akan tertolak disisi Allah SWT dan tentu gelar a-lwashil dan al-arif billah  tak akan diperoleh.
Dalil Thariqat dan Tawajuh 
Kata thariqat banyak termaktub dalam al-Qur’an, namun bukan berarti thariqat yang sudah menjadi istilah bagi kelompok mutashawifin sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dalam surah Jin ayat 16 berbunyi:
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka dengan air yang segar (rizki yang banyak)”
Kata al-Thariqah dalam ayat ini sebenarnya terdapat beberapa makna yang diungkapkan oleh para pakar tafsir. Namun mayoritas ulama menafsiri dengan “jalan yang benar” seperti Syaikh Mujahid dalam tafsir al-Thabari. Apabila kita berasumsi pada tafsir “jalan yang benar” berarti yang dimaksud dalam ayat ini adalah apabila orang-orang itu berpegang teguh pada jalan kebenaran, iman dan hidayah, dan diridhai oleh Allah, maka mereka tergolong orang-orang mukmin yang taat. Untuk mencari dalil thariqat secara spesifik, kita tetap berprinsip pada pembagian thariqat yang bersifat umum dan khusus. Apabila yang dimaksud adalah dalil dari thariqat yang bersifat umum maka sudah jelas bahwa mengamalkan ilmu pengetahuan adalah wajib hukumnya. Karena seorang salik yang bertujuan taqarub pada Allah SWT melalui amalan-amalan yang utama tidak ada larangan dalam Islam. Sedangkan dalil dari thariqat yang bersifat khusus, kita cukup menilai pada thariqat itu, apakah thariqat tersebut tergolong thariqat yang otoritatif (mu’tabarah) atau tidak. Pada umumnya thariqat yang ada di Bangkalan amalan-amalannya tidak keluar dari ajaran Islam yang benar. Biasanya amalan mereka terdiri dari amalan yang bersifat umum seperti dzikir-dzikir, salat sunat, berpuasa, dan melakukan wirid yang dikerjakan setiap hari. Ada riyadhah yang bersifat khusus, seperti proses khalwat, pekerjaan ini diperuntukan bagi segolongan kecil salik. Dan ada riyadhah yang dikerjakan peserta thariqat yang bersifat khususul khusus (sangat khusus) seperti muraqabah dan muhasabah. Riyadhah ini bisanya hanya dikerjakan oleh bagian senior bagi peserta thariqat.
Sebenarnya dalil-dalil tentang thariqat tidak perlu kita sangsikan lagi karena dalil itu sudah jelas. Cukuplah kita kembali pada surah Jin ayat 16 di atas bahwa orang yang berjalan di atas “thariqat” yang benar maka akan menerima kompensasi dari Allah SWT. Yang perlu kami jelaskan disini tentang kegiatan khusus bagi peserta thariqat yang berupa tawajuh atau dzikir bersama. Bagaimana pandangan Islam tentang dzikir bersama (tawajuh) dengan cara mengeraskan suara dan dikerjakan secara kolektif. Berkaitan dengan tradisi dzikir secara berjamaah, ada sekian banyak hadits yang menganjurkannya antara lain hadits berikut ini yang ditulis terjemahannya: “Saddad bin Aus berkata, “Kami bersama Rasulullah SAW tiba-tiba beliau berkata, “Apakah di antara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” Kami menjawab, “Tidak ada wahai Rasulullah” Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata, “Angkatlah tangan kalian, lalu katakan Laa ilaaha illallaah!” Kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah meletakan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini. Engkau memerintahkannya kepadaku dan menjanjikanku surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda, “Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Thabari dan al-Bazzar) Dalam hadits yang lain diterangkan berdzikir dengan cara mengeraskan suara setelah shalat fardhu, hadits tersebut adalah: “Dari Abu Ma’bad, bahwa ibn Abbas mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir ketika selesai shalat fardhu berjamaah terjadi pada zaman Nabi SAW. Ibn Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara keras mereka dalam berdzikir.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)  Bahkan Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani ulama Syiah Zaidiyah dalam kitabnya yang berjudul al-Ijtima’ ‘ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi setelah menyebut sekian banyak ayat al-Qur’an tentang dzikir ia berkata: “Ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an ketika melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. 
Dari banyak dalil yang otoritatif tersebut, maka tradisi dzikir bersama seperti pembacaan tahlil, istighasah, tawajuh dan lainnya perlu dipertahankan eksistensinya, karena semua ini tidak keluar dari norma-norma Islam dan atau sudah dilegitimasi oleh syara’. Karena para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, dan tawajuh, memiliki makna dan hakikat yang sama. Mereka mendefinisikan dengan definisi: “Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya”.  Apabila ada sekelompok orang mengatakan bahwa thariqat dan tawajuh atau bentuk ritual lainnya itu adalah bid’ah maka perlu diklarifikasi tuduhan tersebut. Sejauh reverensi yang ada kelompok yang mengharamkan dan membid’ahkan ritual-ritual tersebut hanya aliran Wahabi. Disamping itu mereka membid’ahkan dzikir yang ditentukan oleh seorang Syaikh dalam jumlah dan bilangan tertentu agar dibaca jama’ahnya dalam berdzikir. Misalnya syaikh mengatakan, bacalah laailaaha illallah sebanyak seribu kali dalam sehari semalam sebagaiman aurad-aurad yang berlaku di thariqat. Yang lebih parah lagi, sekte Wahabi ini menuduh thariqat sufi dengan kesyirikan. Bahkan lebih dari itu, mereka mengatakan “Wahai umat Islam, agama kalian tidak akan bermanfaat kecuali jika kalian terang-terangan memerangi thariqat dan memberantasnya”. Na’udzu billah min dzalik.

0 komentar:

Posting Komentar