Kabarnya bangsa Arab dulu ada yang
enggan menerima Islam disebabkan sudah terpengaruh dengan hegemoni sebuah budaya
yang mengikat dan sudah mentradisi, tentunya budaya jahiliyah warisan
nenek moyang mereka, sehingga datangnya Islam pada waktu itu menuai pelbagai
sambutan yang sangat varian dan dilematis.
Budaya
itu adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Hampir di setiap
daerah di belahan bumi nusantara hususnya, nyaris tak satupun luput dari yang
namanya sebuah budaya, tak ketinggalan pula di pulau Madura. Banyak sekali
budaya Madura yang menjadi simbol kebanggaan tersendiri. Budaya yang mengakar
di antaranya iyalah kerapan sapi, sebagai ciri khas bagi penduduk pulau garam
ini. Kerapan sapi bagi masyarakat Madura adalah sebuah prestise kebanggaan yang
akan mengangkat martabat di masyarakat.
Berbeda dengan itu, kerapan Sapi di
Madura selain sebagai tradisi juga sebagai pesta rakyat yang dilaksanakan
setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Kerapan sebagai pesta
rakyat di Madura mempunyai peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi
(kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan), bidang seni rupa (ada pada
peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni musik saronen (selalu
berubah dan berkembang).
Tentang sejarah “Kerapan Sapi” tidak
ada yang tahu secara persis, namun berdasarkan sumber lisan yang diwariskan
secara turun temurun konon katanya kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Sebagaimana
yang pernah dilakoni salah satu wali sembilan dalam menyebarkan Islam di bumi
nusantara, ada yang menggunakan budaya sebagai media dakwa dan sebagai alat
pemikat agar oarang-orang pada waktu itu dapat menerima Islam dengan suka hati.
Di Madura juga demikian, waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan
agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu.
Versi lain mengatakan bahwa kerapan
sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di
daerah Sapudi pada abad ke-14. Pengembaraan Adi Poday di Madura membawa
pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau
itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertaniannya
adalah dengan menggunakan sapi. Setelah lama, karena banyaknya para petani yang
menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya, maka timbullah inisiatif
mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan itu
disebut kerapan sapi.
Ada yang mengatakan Kerapan Sapi
pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau
Sapudi, Sumenep pada abad 13. Yang mana hal itu haya sebagai sebuah ungkapan
kegembiraan dari hasil panen yang melimpah, lalu Pangeran Ketandur mempunyai
inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Akhirnya
tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus
berkembang dan dijaga kelestariannya.
Lambat laun budaya kerapan sapi ini
mengalami perubahan signifikan sesuai tuntutan zaman dan keadaan, sehingga
kemelesetan itu menyentuh ranah yang melenceng dari bentuk asli dari jiwa
budaya itu sendiri. Sampai di sini, timbulah nuansa baru antara pro dan kontra mengiringi
eksistensi kerapan sapi disebabkan adanya perubahan bentuk yang kadangkala
menyalahi norma dan agama.
Di
antara polemik yang berkembang saat ini adalah praktit kerapan sapi yang
terdapat pola kekerasan dan penyiksaan. Bentuk kekerasan yang biasa dipraktikkan
dalam pelaksanaan kerapan sapi di Madura, yaitu seperti menggarukkan paku ke
pantat sapi, memoleskan balsam ke mata dan dubur sapi agar larinya kencang. Akibatnya,
sapi-sapi kerapan itu mengalami luka-luka di bagian dubur hingga mengucurkan
darah segar. Lari pasangan sapi karapan lebih kencang, karena kesakitan akibat
siksaan.
Inilah
yang menjadi kontroversi di masyarakat, sebab dalam persepektif Islam kekerasan
dalam bentuk apapun sangatlah dilarang baik
terhadap sesama manusia atau mahluk-mahluk lain seperti hewan, dan larangan
tentang praktik penyiksaan dalam kerapan sapi ini tidak hanya dari sisi hukum
Islam saja, akan tetapi juga dari sisi hukum positif.
Hanya saja
orientasi kemenangan dalam setiap penyelenggaraan karapan sapi yang menyuburkan
kebiasaan menyiksa sapi sebelum terjun berlomba, hingga menodai citra budaya
yang sebenarnya suci dari segala bentuk keburukan. Hal ini disebabkan adanya
unsur harga diri yang tinggi. Entah kurang begitu jelas kapan awalnya kerapan
sapi itu menggunkan kekerasan, tapi yang jelas semua itu diawali dari bentuk
rasa gengsi yang mendalam sehingga melupakan sportifitas dalam perlombaan, dan
penyiksaan yang dilakukan tidak dirasakan bahwa hal itu sangatlah tidak
manusiawi.
*El-Adnany/Aschal*
0 komentar:
Posting Komentar