(Tab Widget 2)

Selasa, 31 Januari 2017

SENI BUDAYA YANG TERNODA (ASCHAL Edisi 13)


            Kabarnya bangsa Arab dulu ada yang enggan menerima Islam disebabkan sudah terpengaruh dengan hegemoni sebuah budaya yang mengikat dan sudah mentradisi, tentunya budaya jahiliyah warisan nenek moyang mereka, sehingga datangnya Islam pada waktu itu menuai pelbagai sambutan yang sangat varian dan dilematis.
Budaya itu adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Hampir di setiap daerah di belahan bumi nusantara hususnya, nyaris tak satupun luput dari yang namanya sebuah budaya, tak ketinggalan pula di pulau Madura. Banyak sekali budaya Madura yang menjadi simbol kebanggaan tersendiri. Budaya yang mengakar di antaranya iyalah kerapan sapi, sebagai ciri khas bagi penduduk pulau garam ini. Kerapan sapi bagi masyarakat Madura adalah sebuah prestise kebanggaan yang akan mengangkat martabat di masyarakat.
            Berbeda dengan itu, kerapan Sapi di Madura selain sebagai tradisi juga sebagai pesta rakyat yang dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Kerapan sebagai pesta rakyat di Madura mempunyai peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi (kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan), bidang seni rupa (ada pada peralatan yang mempunyai hiasan tertentu), bidang seni musik saronen (selalu berubah dan berkembang).
            Tentang sejarah “Kerapan Sapi” tidak ada yang tahu secara persis, namun berdasarkan sumber lisan yang diwariskan secara turun temurun konon katanya kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Sebagaimana yang pernah dilakoni salah satu wali sembilan dalam menyebarkan Islam di bumi nusantara, ada yang menggunakan budaya sebagai media dakwa dan sebagai alat pemikat agar oarang-orang pada waktu itu dapat menerima Islam dengan suka hati. Di Madura juga demikian, waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu.
            Versi lain mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Pengembaraan Adi Poday di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertaniannya adalah dengan menggunakan sapi. Setelah lama, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya, maka timbullah inisiatif mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan itu disebut kerapan sapi.
            Ada yang mengatakan Kerapan Sapi pertama kali dipopulerkan oleh Pangeran Katandur yang berasal dari Pulau Sapudi, Sumenep pada abad 13. Yang mana hal itu haya sebagai sebuah ungkapan kegembiraan dari hasil panen yang melimpah, lalu Pangeran Ketandur mempunyai inisiatif mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya.
            Lambat laun budaya kerapan sapi ini mengalami perubahan signifikan sesuai tuntutan zaman dan keadaan, sehingga kemelesetan itu menyentuh ranah yang melenceng dari bentuk asli dari jiwa budaya itu sendiri. Sampai di sini, timbulah nuansa baru antara pro dan kontra mengiringi eksistensi kerapan sapi disebabkan adanya perubahan bentuk yang kadangkala menyalahi norma dan agama.
            Di antara polemik yang berkembang saat ini adalah praktit kerapan sapi yang terdapat pola kekerasan dan penyiksaan. Bentuk kekerasan yang biasa dipraktikkan dalam pelaksanaan kerapan sapi di Madura, yaitu seperti menggarukkan paku ke pantat sapi, memoleskan balsam ke mata dan dubur sapi agar larinya kencang. Akibatnya, sapi-sapi kerapan itu mengalami luka-luka di bagian dubur hingga mengucurkan darah segar. Lari pasangan sapi karapan lebih kencang, karena kesakitan akibat siksaan.
            Inilah yang menjadi kontroversi di masyarakat, sebab dalam persepektif Islam kekerasan dalam bentuk apapun sangatlah dilarang  baik terhadap sesama manusia atau mahluk-mahluk lain seperti hewan, dan larangan tentang praktik penyiksaan dalam kerapan sapi ini tidak hanya dari sisi hukum Islam saja, akan tetapi juga dari sisi hukum positif.
Hanya saja orientasi kemenangan dalam setiap penyelenggaraan karapan sapi yang menyuburkan kebiasaan menyiksa sapi sebelum terjun berlomba, hingga menodai citra budaya yang sebenarnya suci dari segala bentuk keburukan. Hal ini disebabkan adanya unsur harga diri yang tinggi. Entah kurang begitu jelas kapan awalnya kerapan sapi itu menggunkan kekerasan, tapi yang jelas semua itu diawali dari bentuk rasa gengsi yang mendalam sehingga melupakan sportifitas dalam perlombaan, dan penyiksaan yang dilakukan tidak dirasakan bahwa hal itu sangatlah tidak manusiawi.

*El-Adnany/Aschal*

0 komentar:

Posting Komentar