Nyai Sumtin Abdullah,
Embun
Penyejuk KHS. Abdullah Schal
Sepasang suami-isteri dalam mengarungi rumah tangga laksana bahtera
mengarungi samudera yang sangat luas. Di tengah perjalanan bahtera akan
menghadapi berbagai rintangan, ombak besar menggulung, angin puting-beliung
menghadang dan lain-lain. Si suami berperan sebagai nahkoda, dan si isteri
membantu segala keperluan nahkoda. Kalau keduanya tidak saling membantu,
apalagi saling berebut kemudi, maka bahtera bisa karam di tengah samudera. Tapi
kalau bersatu-padu, seia sekata dalam menghadapi berbagai problema, maka
bahtera akan terus berlayar sampai ke pantai kebahagiaan.
Nyai
Sum, begitu biasanya Nyai Sumtin, isteri KHS. Abdullah Schal dipanggil. Beliau
dilahirkan pada 31 Desember 1946 M di Desa Ngoro, sebuah kecamatan di Kabupaten
Jombang. Setelah boyong dari Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang, beliau
menetap di rumah pamannya yang bernama Ust.Tajus Subki di Bangkalan. Hingga
suatu ketika beliau berhasil menjadi juara pertama lomba Tilawah Al-Qur’an yang
diadakan oleh GP Anshor Bangkalan pimpinan KH.Kholil AG, di halaman Masjid
Agung Bangkalan.
Suaranya
yang merdu tidak hanya memukau para juri dan para penonton, tapi juga KHS. Abdullah
Schal yang saat itu mendengarkan dari Demangan juga terpikat akan kemerduannya.
Setelah melalui proses cukup panjang, akhirnya KHS. Abdullah Schal menyunting
dan menikahi Nyai Sumtin.
Pilihan
KHS. Abdullah Schal ternyata sangat tepat. Dalam masa-masa perjuangan
mengembalikan eksistensi Pesantren Demangan. Nyai Sumtin berperan sangat besar mendampingi
KHS. Abdullah Schal dalam suka maupun duka. Nyai Sumtin memainkan peran penting
laksana Sayyidatuna Khadijah yang sangat besar jasanya didalam mendukung
keberhasilan dakwah Rasulullah.
Nyai Sumtin merupakan tipe seorang
isteri yang sangat sabar, tabah, dan tidak pernah mengeluh dalam kegetiran
hidup yang harus dijalani di awal-awal pernikahannya. Pembawaannya yang kalem
mampu meredam berbagai gejolak dalam perjalanan hidup KHS. Abdullah Schal.
Sebagai seorang isteri shalihah, beliau menjadikan rumah yang ditempati bersama
suami dan putra-putrinya, sebagaimana rumah yang disabdakan oleh Rasulullah
“Baiti Jannati” rumahku laksana surga bagiku.
Setiap
malam saat sang suami sedang keluar berdakwah ke plosok-plosok desa, Nyai Sumtin
tidak bersantai-santai di dalemnya. Beliau tiada henti-hentinya berdzikir dan
berdoa kepada Allah SWT. Hingga pada suatu ketika, dalam keheningan malam yang
sunyi, dalam gemerisik bunyi tasbih yang beliau pakai sebagai teman dalam
berdzikir, di puncak kekhusyukan seorang hamba yang wushul kepada Tuhannya,
tiba-tiba ada sinar dari angkasa. Cahaya tersebut kemudian turun perlahan-lahan
ke permukaan bumi. Nyai Sumtin terpana, sambil terus berdzikir tiada henti,
beliau melihat cahaya tersebut kemudian memasuki tubuhnya. Dinginnya udara
malam yang menusuk, tergantikan dengan rasa hangat yang menjalar dalam sekujur
tubuhnya. Sejak peristiwa sufistik tersebut, Nyai Sumtin merasakan kehidupan
ekonomi keluarganya berubah drastis. Rezekinya semakin dipermudah oleh Allah, min
haitsu la yahtasib.
Dari
pernikahan dengan KHS. Abdullah Schal, Nyai Sumtin dikaruniai 13 orang putera-puteri,
yaitu : Nyai Hj. Mutmainnah, Lora Abd. Kholiq (wafat waktu kecil), Nyai Hj. Nur
Bilqis, RKH. Fachrillah, Nyai Hj. Karimah, Nyai Hj. Zalikho’, Nyai Hj. Faidhoh,
Nyai Hj. Ummu Kholilah (almarhumah), RKH. Fachruddin, RKH. Moh. Nashih, Nyai
Laili (wafat waktu kecil), RKH. Moh Karror, Nyai Hj. Nailatul Farohah.
Sekalipun
menjadi isteri seorang kiai besar, Nyai Sumtin tetap menampakkan kesederhanaan
dan kesahajaannya. Beliau sangat mudah akrab dengan siapapun yang baru
dikenalnya. Tidak pernah membeda-bedakan status sosial orang lain, rendah hati,
dermawan, dan pandai menempatkan diri. Setiap orang yang bertemu dengan beliau,
pasti terkesan dengan sifat-sifat beliau tersebut.
Kasih
sayang beliau kepada putera-puterinya ditumpahkan setiap saat dan setiap waktu,
tanpa membedakan satu dan yang lainnya. Sering kali beliau berpesan, “ Jagalah
ikatan persaudaraan di antara kalian, kalau ada masalah apapun harus saling
mengalah”.
Dikalangan para santri dan
masyarakat luas, beliau sangat dikenal sebagai pribadi yang sangat dermawan,
senang bershadaqah kepada orang lain bahkan kepada para santri sendiri. Beliau
juga dikenal pandai memasak. Dalam hal ini beliau mengaku karena dididik
langsung oleh Nyai Romlah, walau dengan cara didikan yang kadang agak nyeleneh.
Beliau memasak sendiri untuk konsumsi KHS. Abdullah Schal dan putera-puterinya.
Bahkan untuk konsumsi acara apapun di Demangan, kecil atau besar, beliau turun
tangan langsung ke dapur memimpin santri puteri dan masyarakat yang membantu.
Nyai
Sumtin juga aktif mendampingi KHS. Abdullah Schal berdakwah keluar daerah
Bangkalan. Sampai pada akhirnya beliau wafat pada malam Rabu, 02 Jumadil
Akhirah 1427 H, di Simpang Lumut Pangkal Pinang (sekarang masuk Propinsi Bangka
Belitung). Kabar tentang kewafatan beliau pun langsung tersebar kebeberapa
simpatisan, alumni, dan santrinya terutama yang ada di Demangan. Di malam yang
buta, saat semua santri masih terlelap dengan mimpi-mimpi indahnya, kabar pilu
datang dari sebrang sana, seorang guru yang dermawan telah menghembuskan nafas
terakhirnya.
Malam
itu setelah shalat Isya’, beliau masih bercerita tentang segala hal kepada para
tamu dan keluarga H. Miskal (tuan rumah yang biasa ditempati). Selanjutnya
beliau masuk kamar dan istirahat. Kira-kira jam sebelas malam, beliau terbangun
dan merasakan sakit di bagian dada, sebagaimana sering beliau rasakan
sebelumnya. Setelah terbangun Nyai Sumtin meminta maaf kepada KHS. Abdullah
Schal atas segala kesalahan yang pernah dilakukan selama menjadi istri.
Menyaksikan hal tersebut KHS. Abdullah Schal diam saja karena memang tidak ada
firasat apapun sebelumnya. Tapi kemudian Nyai Sumtin tiada henti meminta maaf
dan meminta ridhonya, bahkan sampai memeluk erat seperti tidak mau berpisah.
KHS. Abdullah Schal dengan segala gelagapan memaafkan segala kesalahan dan
meridhoinya. Setelah itu Nyai Sumtin baru melepaskan pelukannya, lisannya
kemudian tiada henti berucap, “ Anakku doakan, anakku doakan, anakku doakan.”
Menyaksikan hal itu, KHS. Abdullah
Schal menyadari keadaan isterinya sangat mengkhawatirkan, kemudian berinisiatif
membawanya ke rumah sakit. Di dalam kendaraan lisan Nyai Sumtin terus-menerus
mengucapkan lafadh “ Allah…Allah…Allah.” Di tengah perjalanan menuju rumah
sakit, beliau menghembuskan nafas terakhir seraya bibirnya berucap “ Allah” dan
beliau pun berpulang ke haribaannya.
Inna Lillahi wa
Inna Ilahi Roji’un… Semoga dosa beliau diampuni, dan segala amal beliau diterima
oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Amin Allahumma Amin…
Sekalipun jasad
beliau telah berbaring di dalam kubur, tapi jasa-jasa beliau terhadap Pondok
Pesantren Demangan tak akan pernah hilang ditelan masa, tak kan pernah luntur
ditelan zaman, karena sudah tertulis dengan tinta emas, dan terpatri dalam dada
segenap keturunannya, santri, alumni, dan masyarakat luas yang sangat
mencintainya.
Oleh: R. KH.
Fahrillah Aschal
0 komentar:
Posting Komentar