KH. Muhammad Dimyathi bin K.H. Muhammad Amin
Al-Bantani, atau dikenal dengan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim Banten (lahir
tahun 1925 – wafat pada tanggal 3 Oktober 2003). Dalam buku Tiga Guru Sufi Tanah
Jawa karya H. Murtadho Hadi, "Abuya Dimyathi digolongkan bersama Syekh
Muslih bin Abdurrahman al-Maraqi (Mranggen, Demak) dan Syekh Romli Tamim
(Rejoso, Jombang) sebagai tiga ulama sufi berpengaruh di Jawa". Bahkan, dalam
buku Manaqib Abuya Cidahu (Dalam Pesona Langkah di Dua Alam), "Abuya
Dimyathi yang juga keturunan Sultan Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah
ini dikenal sebagai wali qutub". Alangkah ruginya orang Indonesia kalau
tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati
bin Syaikh Muhammad Amin.
Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan,
penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang,
Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu
menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam
perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya
seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW, Humanis, penuh kasih sesama umat
manusia.
Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar
ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya. Beliau lahir sekitar tahun
1925 anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi
sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu
pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupesing
Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Plered, Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya
Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai,
sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat
Banten menjuluki beliau juga sebagai paku Banten, di samping sebagai pakunya
negara Indonesia.
Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang
yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan
"adem" dan tenteram di hati orang yang melihatnya. Abuya Dimyati,
begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah
Banten, Tepatnya di Cidahu Kabupaten Pandeglang Abuya Dimyathi dikenal sosok
ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja
mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan
pendekatan tasawuf, dan tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah
Qodiriyyah.
Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh
tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang Qurra’ (menguasai
Qiro'at ) dengan lida yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari
40 tahun. Yang kalau shalat Tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur,
kecuali setelah mengkhatamkan al -Qur’an dalam shalat. Oleh karenanya, tidak
salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi. Dibanding
dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah
ngaji). Melalui ngaji, sunnah keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji,
tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan.
Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu
keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan
fungsi kekhalifahannya. Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang
sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah; “Jangan sampai ngaji
ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang,
seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus ; jangan sampai ngaji
ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan
partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim
untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan
dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majelis. Itulah sekelumit
keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan
al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6 ; "Qu anfusakum wa ahlikum
naran".
Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin
tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat
mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya
dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di
atas khalayak biasa. Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di
antaranya ; Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri
(Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin
Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi.
Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syaikh Nawawi
al-Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria
kekhilafahan atau mursyid sempurna. Disebutkan ketika bertemu dengen Mbah
Dalhar Watucongol, Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya
tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Mbah Dalhar. Tepat pada hari ke 40
Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau apa jauh-jauh datang ke sini?” tanya
Mbah Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah. ”Kemudian
Mbah Dalhar pun berkata, ”Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu,
justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini
buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang
sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut
masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam. ”Mendengar
jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk
mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang
kitab, kitab apa yang mampu saya karang?". Kemudian Mbah Dalhar memberi
saran, ”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu
sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya
teman.” Kemudian Mbah Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya. Di
pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan "Mbah Dim
Banten" dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan
topo dunyo.
Abuya Dimyati di Penjara
Abuya Dimyati di Penjara
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat
teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada
zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan di masukkan ke dalam
penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah
ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti
pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian
Abuya keluar dari penjara. Karya Abuya Dimyathi Ada beberapa kitab yang
dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah ; 1. Minhajul Ishthifa. Kitab
ini isinya menguraikan tentang hizib Nashr dan hizib ikhfa. Dikarang pada bulan
Rajab H 1379/1959 M. 2. Ashlul Qodr. Kitab ini isinya menguraikan tentang
khususiyat sahabat saat perang Badr. 3. Roshnul Qodr I. Kitab ini isinya menguraikan
tentang hizib Nashr. 4. Rochbul Qoir II. Kitab ini isinya sama dengan Roshnul
Qodr I, yaitu menguraikan tentang hizib Nashr. 5. Bahjatul Qolaid. Yaitu kitab
Nadzam Tijanud Darori. 6. Al Hadiyyatul Jalaliyyah. Yang di dalamnya membahas
tentang tarekat Syadziliyyah. Karomah Abuya Dimyathi salah satu cerita karomah
yang diceritakan Gus Munir adalah, dimana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi
ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut
merasa sangat bangga karena tak banyak kyai di Indonesia yang mengunjungi Irak,
paling jauh mereka ziarah adalah makam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi kiai
tersebut dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Ketika
sampai di maqam tersebut, maka penjaga makam bertanya padanya, “Darimana kamu
(Bahasa Arab)”. Lalu kiai tersebut menjawab, “Dari Indonesia”. Maka penjaga itu
langsung bilang, “Oh, di sini setiap malam Jum’at ada seorang ulama Indonesia
yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah
akan diam dan menghormati beliau, dan kalau beliau membaca al-Qur’an, maka
penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka.” Maka Kiai tadi kaget, dan
berniat untuk menunggu sampai malam Jum’at agar tahu siapa sebenarnya ulama
tersebut. Singkat cerita, tibalah malam jum'at yang di tunggu-tunggu, dan kaget
sekaligus kagum kiai tersebut, ketika mengetahui ulama yang di ceritakan penjaga
itu adalah Abuya Dimyati.
Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke
Jawa, lalu menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh
Abdul Qadir al-Jailani (ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan
santri-santrinya).
Wafat
Wafat
Umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah
kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin
Al-Bantani, wafat pada Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H,
sekitar pukul 03:00 WIB. di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78
tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan
putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara
resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat–pelayat-yang datang ke
kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur,
menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”
0 komentar:
Posting Komentar