Religius, mungkin adalah
kata-kata yang tidak berlebihan bila ditujukan pada masyarakat Madura yang
notabene adalah penganut agama yang ta'at menjalankan ajaran agama Islam ala
ahlu sunnah wal jama'ah sebagimana yang telah dibawa oleh Wali Songo ke tanah Jawa
beberapa abad yang lalu, religiusme masyarakat Madura dapat juga kita lihat
dari keseharian serta kultur masyarakatnya; pertama, mayoritas
rumah-rumah masyarakat Madura pasti mempunyai musholla (langger, mdr)
tempat mereka beribadah dan bermunajat kepada Allah SWT. bahkan bila mereka
mempunyai satu lahan tanah yang akan dibuat rumah, maka sebelum rumah itu
dibangun mereka terlebih dahulu membangun langgarnya, hal ini menampakkan bahwa
mereka lebih suka mementingkan urusan ukhrowi dari pada urusan duniawi
atau dengan kata lain mereka lebih suka mempunyai tempat beribadah daripada
tinggal dirumah yang megah tapi tidak mempunyai tempat ibadah.
Kedua, selain dikenal
dengan masyarakat yang agamis Madura juga dikenal dengan salah satu kota santri
yang dibuktikan dengan banyaknya pondok pesantren serta madrasah diniyah taklimiyah yang jumlahnya melebihi seribu madrasah diniyah untuk kabupaten
Bangkalan saja belum tiga kabupaten yang lain yakni Sampang, Pamekasan, dan Sumenep yang jumlahnya tidak kalah banyak. hal ini berdasarkan data dari kemenag tahun 2012. sehingga
masyarakat Madura beranggapan bahwa pendidikan yang paling penting adalah
Pondok Pesantren, "sepenting monduk" yang penting mondok,
itulah kata masyarakat Madura, bukan hanya pesantren di Madura saja yang sesak
dengan santri-santri Madura tapi juga setiap pesantren besar di pulau jawa
pasti terdapat santri dari Madura. begitulah masyarakat Madura yang menjadikan
pendidikan agama sebagai kebutuhan primier dan pendidikan formal sebagai
kebutuhan sekunder.
ketiga, kalo kita bicara
masjid yang ada di Madura rasanya disetiap pelosok desa dari empat kabupaten pasti
mempunyai masjid megah yang merupakah hasil swadaya masyarakat setempat dan
setiap ada peringatan isra' mi'raj ataupun hari-hari besar Islam yang lain, di masjid-masjid
tersebut diadakan pengajian untuk membangun dan mengukuhkan keimanan mereka, bahkan kalo bicara masalah pengajian, maka
masyarakat Madura merupakan masyarakat yang selalu mengadakan pengajian tidak
hanya menunggu hari-hari besar Islam tapi juga setiap mengadakan acara seperti
pernikahan dan acara-acara lain kebanyakan diisi dengan pengajian.
kiranya beberapa hal diatas
cukup membuktikan bahwa kultur masyarakt Madura adalah masyarakat yang religius
serta agamis walupun masih banyak sekali untuk menggambarkan kereligiusan dan
keagamisan masyarakat Madura seperti kebiasaan menghormati para kiyai serta tokoh
masyarakat yang mana budaya menghormati para tokoh ini sangat kuat merasuk disetiap
jiwa masyarakat Madura sehingga siapapun orangnya baik itu orang yang alim,
guru, pedagang, bahkan para jawara (blater, mdr) bila sudah berhadapan
dengan seorang kiyai, maka akan sangat tawadduk dan sungkan.
Seiring dengan era
globalisai serta selesainya pembangunan jembatan suramadu membuat akses ke Madura
sangat mudah sehingga juga memudahkan masuknya budaya serta kultur asing ke
Madura, hal ini nampaknya telah membuat sebagian masyarakat dan remaja Madura mulai
melupakan nilai-nilai luhur serta kultur yang selama ini menjadi ciri has
masyarakatnya sehingga pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang tidak
didampingi dengan tranformasi iman dan taqwa kearah yang lebih baik telah
menyebabkan sebagian remaja Madura kehilangan jati dirinya.
Diantara beberapa temuan
yang cukup memprihatinkan saat ini adalah kebiasan remaja untuk ngapel pada
lawan jenis yang bukan mahromnya dengan berbagai alasan seperti hanya untuk
sekedar belajar bersama ataupun dengan dalih silaturrahim. Mereka para pemuda
Madura telah terbiasa melakukan yang namanya ngapel padahal semua itu tetap
tidak dapat dibenarkan dan sangat jauh dari tuntunan agama serta bukanlah
merupakan adat istiadat masyarakat Madura pada umumya, parahnya kebiasaan ngapel
tersebut nampaknya mendapat lampu hijau dari orang tua mereka sehingnga anak-anak
mereka melakukan hal tersebut tanpa beban bahkan ada anggapan bahwa hal
tersebut mendapat legalitas dalam agama, sungguh kesalahan interpretasi yang
memprihatinkan.
hal yang tidak kalah
memprihatinkan adalah kebiasan melakukan kencan atau mungkin juga pacaran,
padahal didalam al-Qur'an telah dijelaskan “Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka;
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, ” (QS An-Nur:
30-31). sebenarnya kalo bicara
masalah pacaran hal tersebut memang bukanlah hal tabu (bukan berarti halal) bagi
remaja Madura namun ironisnya bila pacaran atau kencan tersebut dilakukan
bukannya ditempat hiburan ataupun rekreasi tapi malah dilakukan pada sa'at acara
pengajian bahkan ada yang pergi ke makam atau haul para auliya' bukannya untuk
mendoa'kan para auliya' tapi justru hanya ingin bertemu dengan kekasihnya, sungguh
degradasi moral yang sangat disayangkan apalagi bila hal tersebut dilakukan
oleh masyarakat pedesaan yang notabene adalah seorang santri.
Begitulah nampaknya moral
dan kultur bangsa ini telah tergilas dengan kemajuan teknologi teperti adanya Hand
Phone dengan konten jejaring sosialnya lewat internet yang sangat populer yaitu
Facebook dan semacamnya nampaknya telah mempengaruhi sebagian besar kultur
remaja Madura sehingga walupun meraka awalnya tidak melukan pertemuan disuatu
tempat tapi mereka dengan leluasa ngobrol dan melakukan perjanjian untuk
melakukan pertemuan yang tentunya semua itu lebih banyak mengarah pada
kemaksiatan dan zina, Allah SWT berfirman;
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. (QS
Al-Isra’ :32). seharusnya
kemajuan teknologi dan informasi saat ini dapat kita jadikan sebagai sarana dan
media untuk belajar dan berdakwah bukannya malah tergilas oleh teknologi
sehingga berdampak pada ekses yang salah seperti kebanyakan remaja saat ini.
Dalam Islam sama sekali tidak
menganal istilah pacaran, melainkan ta'aruf yaitu acara untuk melihat lawan
jenis yang akan dinikahi yang mana hal itupun harus didampingi oleh mahrom
alias tidak boleh berduaan saja, disinlah pentingya pendidikan yang berbasis
agama untuk membentengi aqidah dan keimanan remaja kita, agar tidak semakin
terjerumus dan terseret kedalam budaya-budaya kafir karena minimnya pengetahuan
agama yang mereka miliki, terutama peran orang tua sangat dibutuhkan sebagai
pengawas dan pembimbing seharusnya bisa menegaskan ajaran agama kepada putra
putrinya, bukannya malah memberi lampu hijau dan membiarkan mereka malakukan
hubungan tanpa ikatan pernikahan yang sudah jelas diharamkan, karena bila hal
ini terus dibiarkan, maka kultur Madura yang sarat dengan religiusme lambat
laun akan pupus dan destinasi pergaulan remaja akan mengarah pada pergaulan
bebas yang konotasinya adalah free sex dan sebagainya. na'udzubillahi min
dzalik. semoga Allah SWT menjaga kita dari kedurhakaan tersebut. amin.
* Zainal
arifin*
0 komentar:
Posting Komentar