Lancar
Mengoreksi Lupa Intropeksi
Oleh M. Nurut Taufiq
Dinamika hidup cenderung lebih
sering mencerminkan hal-hal yang berseberangan dengan kode etik adaptasi
sosial. Secara tabi’at, manusia memang tidak dapat terlepas dari kesalahan.
Karakter manusia sebagai makhluk yang dalam dirinya juga diikut sertakan yang
namanya hawa nafsu lebih sering pula memiliki kecenderungan yang bertentangan
dengan kebenaran yang implemintasikan melalui al-Qur’an dan Hadist. Imam
Bukhari pernah mengutip perkataan Abu az-Zinad mengenai hal di atas yaitu
ان السنن
ووجوه الحق لتأتي كثيرا على خلاف الرئي
Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran
bertentangan dengan pandangan pribadi
Oleh karenanya, upaya untuk
meminimalisir tabi’at
buruk manusia itu terus digencarkan oleh
sebagian manusia yang lain yang ditandai dengan semaraknya beberapa karya ulama
tentang kode etik manusia baik secara vertikal (kode etik antar manusia; hablun
min annas) maupun secara horizontal (kode etik manusia dengan tuhannya; hablun
min Allah).
Permasalahan
yang dapat kita posisikan sebagai kebiasaan buruk sebagaimana pemaparan diatas
diantaranya adalah kecenderungan kita menilai dan
mengoreksi orang lain daripada mengaca dan menyadari kesalahan ataupun
kekurangan pribadi. Lebih parahnya lagi, kebiasaan
negative lebih sering mengoreksi kekurangan orang lain ini juga merembet pada
hal-hal negative lain yang tak kalah buruknya seperti
sifat munafik, ghibah dan beberapa penyakit lisan dan penyakit hati yang lain. rasionalisasinya
adalah, budaya mengoreksi kesalahan orang lain ini akan menumbuhkan sifat
antisipasi antara yang satu dengan yang lain. Sama-sama saling berusaha
mengungkap kesalahan orang lain dan otomatis disertai usaha menutupi keburukan
diri sendiri. Pada akhirnya kebiasaan buruk yang menyertai adalah dusta dan
munafik. Sungguh kebiasaan yang mengerikan!
Berangkat dari pemaparan diatas, semestinya
yang perlu dikoreksi terlebih dahulu adalah kekurangan diri sendiri. Secara
aksiomatis (dlaruri) kita pun mengetahui bahwa kitaa adalah makhluk yang diasertai hawa nafsu dan tidak dapat
terlepas dari kesalahan, keburukan dan kekurangan. Maka idealnya memang sering melakukan intropeksi terhadap diri sendiri sebelum
mengoreksi kesalahan orang lain (ekstropeksi).
Intropeksi
merupakan suatu proses mengamati diri sendiri; apakah yang dilakukan sudah
benar, sudah baik, apakah kita sudah sukses dan beberapa bentuk pengamatan yang
lain Evaluasi diri. Dalam bahasa arab sering disebut muhasabatu annafsi.
Sayyidina Umar pernah menganjurkan untuk selalu melakukan intropeksi. Beliau
mengatakan,
حاسبوا
انفسكم قبل ان تحاسبوا
Hisablah diri kalian (intropeksi dirilah) sebelum
kalian semua di hisab
Hal ini
bukan berarti kita harus menghakimi diri sendiri dan menyalahkan diri pribadi
melainkan sebuah upaya untuk legowo menyadari kekurangan dan kesalahan
kita sehingga akan ada follow Up yang berupa usaha memperbaiki dan membenahi
kekurangan tersebut.
Syaich Jamaluddin bin Muhammad
al-Qasimy dalam bukunya, Mauidzatul Mu’minin yang diringkas dari Ihya’
‘Ulumuddin-nya al-Ghazali menyampaikan bahwa ketika Allah menghendaki suatu
kebaikan bagi hambanya maka Allah senantiasa memperlihatkan kepadanya kekurangan dirinya. Sesuatu yang dapat mengantarkan kita untuk mengetahui
kekurangan diri sendiri sebagai sarana muhasabah antara lain adalah:
1.
Mencari
seorang teman yang baik, jujur dan religius.
Sebagaimana
orang bijak mengatakan bahwa teman yang baik bukanlah teman yang selalu
membenarkan kita melainkan seorang teman yang selalu berkata jujur kepada kita.
Mengatakan dengan sebenarnya bahwa yang kita lakukan adalah keliru bukan malah
membenarkan kekeliruan yang kita lakukan. cara yang kedua ini banyak di
aplikasikan oleh para sahabat. Sayyidina Umar bin Khattab pernah mengatakan “
semoga Allah memberikan rahmat bagi orang yang menunjukkan kekuranganku”.
2. Mendengarkan Perkataan orang yang
membenci kita
Dalam
hal ini jelas bahwa orang yang tidak senang kepada kita itu lebih peka terhadap
kekurangan dan kesalahan kita daripada seorang teman yang selalu memuji kita
dan menutupi kekurangan kita sehingga dengan ini pula kita dapat mengetahui
tumpukan kesalahan dan kekurangan kita. Akhirnya intropeksi diri.
3. Berkumpul dengan orang lain
Tidak
jarang kita menyadari bahwa yang kita lakukan itu salah setelah kita melihan
kesalahan itu dilakukan oleh orang lain. ini adalah cara intropeksi sederhana
yang dapat kita lakukan. Imam al-Ghazali pernah menyampaikan, “seandainya
seseorang itu tidak melakukan sesuatu yang tidak disenanginya apabila dilakukan
orang lain kepadanya, tentu tidak perlu belajar yang namanya etika”.
Simpelnya, kalau kita tidak senang dimaki orang lain, janganlah kita senang
memaki-maki orang lain.
Benang merah pemaparan diatas adalah hendaknya kita
berperilaku bijak. Sebuah permasalahan yang seringkali muncul dalam kehidupan
kita mestinya kita sikapi dengan bijaksana. jangan lantas kita menyalahkan
siapa, barangkali kita yang perlu berbenah. memulai merubah situasi dengan
melakukan intropeksi dan memperbaiki diri sendiri. Jangan malah lancar
mengoreksi (orang lain) dan lupa intropeksi.
0 komentar:
Posting Komentar