(Tab Widget 2)

Selasa, 14 Februari 2017

PEMILU BIKIN NGILU (ASCHAL Edisi 15)


Pemilu Bikin Nyilu
Kalau tidak ada perubahan, pemilihan calon wakil rakyat atau anggota DPR akan digelar pada tanggal 9 April 2014 M. Banyak para politisi yang menebar senyum dipinggir jalan melalui beberapa baliho. Ada pula melalui media elektronik, lebih-lebih para politisi yang memang memiliki ‘payung’ televisi. Setiap jam hamper ada iklan mengenai partai dan dirinya. Ah, dasar politisi narsis.
Mengenai Pemilu mendatang-banyak diantara politisi yang memperediksi sebagai tahun perubahan dari segala lini. Lebih-lebih perubahan disektor ekonomi dan pendidikan. Dua sector tersebut yang sering menjadi platform partai politik untuk meng-kudeta hati rakyat. Saat ini rakyat betul-betul diuji oleh keberadaan para politisi. Tentu politisi yang punya ambisi, bukan visi yang serasi. Disinilah rakyat ‘diramal’ agar dapat menentukan pilihannya dengan obyektif dan selektif agar tidak terkecoh oleh penampilan mereka yang sampai detik ini hanya tersenyum lewat baliho sesaat. Mungkin ada baik nya bagi kita tidak menjadi pragmatis politik sebagai tunjangan hidup satu detik. Melainkan, keterbukaan mereka dalam menjalankan tugas sebagai rakyat harus menjadi prioritasnya.
***
Begini, dalam pemilu 2014 nanti warga Indonesia akan melaksanakan ‘pesta demokrasi’ dengan cara memilih wakil rakyat dan dilanjutkan pemilihan presiden. Pemilu itu diharapkan memunculkan pemimpin baru yang benar-benar tahu akan keberadaan rakyat sekaligus member kesejahteraan kepada mereka. Dari 14 kontestan partai politik semuanya sudah mulai mengambil ancang-ancang guna mengusung Capres dari masing-masing partai. PartaiHanura misalnya, yang mencalonkan Wiranto dan Hari Tanoesoebidyo (WIN-HT). Partai Golkar sudah tidak bias ditawar lagi, akan men-Capreskan Abu Rizal Bakrie (ARB), dan masih banyak lagi partai politik yang sudah memilih kadernya agar bersaing guna menjadi orang nomor satu. Memang, pemilihan presiden baru dimulai setelah pemilihan anggota DPR, akan tetapi riak-riaknya sudah mengemuka sekitar dua tahun lalu.
Pemilu bagi masyarakat Indonesia tak ubahnya sebuah ‘makanan pokok’ yang terkadang bikin mereka keselet. Sebuah pemandangan yang sering membuat kepala kita pusing melihat beberapa kasus pemilu yang berakhir dengan tragis. Banyak contoh yang benar-benar miris. Pemilu ibarat lading basah untuk mencari kasab lewat menjadi Bupati, DPR, DPD, Gubernur hatta Presiden sekalipun. Tentu idealnya kita untuk merajut cita-cita luhur pemilu pagelaran lima tahun sekali merupakan misi inposible. Untuk itulah, prediksi para pengamat mengenai akan munculnya pemimpin baru dengan Indonesia baru pula sulit diimplementasikan, jika para calon-calon yang ada hanya rakus akan jabatan. Asumsi ini bukanlah isapan jempol, akan tetapi fakta konkrit yang berbicara.
Oleh karena itu, bagi para calon DPR dan calon presiden, sejatinya bukan hanya mengandalkan kharismaansich, akan tetapi kinerja nyata harus diperlihatkan kepada semua rakyat agar rakyat dapat merasakan sebuah kesejahteraan yang semula dimimpikan oleh para calon-calon. Adalah sebuah ironi, jika pada gilirannya para pemimpin setelah menduduki kursi parlemen justru tidak lagi meng- ingat pada masa dimana mereka menjadi “pengemis” suara. Bahkan diantara mereka ada yang rela memakan dipinggir jalan guna mencari simpati masyarakat. Sungguh pemandangan yang aneh. Padahal seandainya mereka sudah jadi nanti, nyaris diantara mereka tidak ada yang mengulang seperti saat mereka mencari dukungan. Yang lebih parah adalah ulah para politisi yang kerap membuat malu Negara Indonesia. Lhokok?Hampir disetiap pemberitaan citra buruk para politisi menjadiheadline media massa; mulai dari kasus korupsi sampai pada perbuatan mesum. Betul-betul membuat kita malu tidak kepalang dan kepala menjadi nyilu, gara-gara pemilu.

Terakhir, mari kita perhatikan pernyataan Imam al-Ghazali “Sadarlah wahai penguasa. Engkau adalah makhluk dan, engkau memiliki tuhan yang menciptakanmu”.Statemen al-Ghazali diatas merupakan sebuah warning bagi para pemimpin agar selalu menyeimbangkan nilai spritualnya dalam melaksanakan tugas sebagai abdi Negara. Disamping itu pula, kepada kita semua jangan sampai terjebak dengan politik uang. Apalah artinya jika pada pemilu nanti kita dikasih uang 10 -50 ribu akan tetapi kita menderita selama lima tahun. Pada pemilu nanti, sebaiknya bagi para calon-calon DPR tidak mengajari rakyat Indonesia untuk berbohong dengan cara mencoblos dua kali. Karena penulis yakin, bahwa kejahatan structural dalam pemilu nanti bukan tidak mungkin akan terjadi. Mari kita buktikan.  Pada pemilu nanti, para politisi jangan coba-coba menjadikan para kiai sebagai media penggalangan dukungan, setelah itu ditinggalkan. Sekalilagi, jangan coba-coba!. Pada pemilu nanti, semoga muncul para pemimpin yang amanah yang memikirkan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai rakyat merasa nyilu dengan adanya pemilu. 

0 komentar:

Posting Komentar