“KERAPAN SAPI”
Budaya Islami
atau Islamisasi Budaya?
Dewasa ini perbincangan mengenai
kerapan sapi semakin hangat dan semakin ramai memenuhi ruang media yang
bertebaran di mana-mana, tentu dari pembahasan itu yang menjadi pangkal
perdebatan tak lain adalah soal kontroversi terkait dualisme kerapan sapi yang
kini tengah rutin dipersoalkan.
Dua model
kerapan sapi itu, antara lain adalah model kekerasan dan model biasa (tanpa
kekerasan). Adanya dua model tersebut lebih dipengaruhi oleh refleksi hukum positif
dan hukum agama. Hukum positif mengatakan, bentuk kekerasan dalam kerapan sapi dinilai
sangatlah tidak manusiawi. Sementara menurut kaca mata agama hal itu dapat
mempengaruhi legalitas model perlombaan tersebut, karena dinilai tidak sesuai dengan
ketentuan syara’.
Tapi di sisi lain penganut yang
sepakat dengan kerapan sapi model kekerasan―melayangkan argumentasinya dengan
alasan―bahwa sebelum dilombakan dan sesudahnya, sapi tersebut dilayani dengan
perawatan yang sangat istimewa. Jadi, baginya, tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa kerapan sapi merupakan penyiksaan terhadap hewan. Bukankah
penyembelihan pada umumnya, lebih kejam dari sekedar menusuk pantat,
jangan-jangan telah mencampuradukkan istilah dan makna penyiksaan bagi hewan
dan manusia, atau memanusiakan hewan.? Sebab menurutnya, memaknakan penyiksaan
terhadap hewan tidak dapat disamakan dengan memaknakan penyiksaan terhadap
manusia.
Masih menurut pendapat itu, barangkali
para ulama menilai bahwa parktik kerapan sapi tersebut dikatakan penyiksaan
terhadap hewan, karena mereka menganggap penyiksaan sama dengan pemaknaan yang
seharusnya diperuntukkan bagi manusia. Jika demikian benar mereka telah
melakukan pelanggaran terhadap ayat al-Quran QS Tien: 4. Dalam ayat tersebut
sangat jelas bahwa manusia jauh derajat dan kesempurnaannya di atas hewan.
Jadi, pelarangan terhadap kerapan sapi tersebut tidak dapat disandarkan pada
ajaran Islam, hanya dengan alasan terdapat penyiksaan terhadap hewan, katanya.
Sekilas memang benar
pendapat di atas, sapi yang dipersiapkan untuk kerapan juga
medapatkan perlakuan istimewa dari sang pemilik, misalnya dipijat, diinjak dan dimandikan setiap hari bahkan sampai dua kali sehari, dijemur setiap hari. Bahkan diberi jamu campuran butir telur dengan parutan kunyit,
jahe, temulawak, gula merah, dan minuman bersoda yang diberikan dua kali
seminggu.
Namun segala kenikmatan itu harus dibayar sapi dengan
siksaan selama berpacu. Sapi-sapi itu berpacu dalam kesakitan, dan pantatnya
berdarah, akibat garukan paku sang joki yang ditancapkan pada gagang kayu
seperti parut. Tidak hanya itu. Mata, pantat yang luka, dan sekitar lubang anus
si sapi diolesi cuka, sambal, dan balsem. Bagian dalam ekor sapi diikat dengan
kayu yang juga berpaku.
Saat berlari, ekor yang dipasangi kayu berpaku itu naik
turun, dan menusuk kulit sekitar dubur sapi. Sapi-sapi itu terlihat meronta,
mengentak-entakkan kaki dan mendengus berulang-ulang. Pada kondisi seperti itu,
tidak jelas apakah setiap pasangan sapi kerapan, berlari karena kekuatan ototnya atau karena ingin lepas dari rasa
sakit. Bisa jadi, pasangan sapi akan diadu beberapa kali. Artinya, sapi-sapi
tersebut akan mendapatkan perlakuan menyakitkan berulang-ulang.
Adapun argumen yang menyatakan bahwa
kekerasan dalam kerapan tak ubahnya pada waktu penyembelehan, hal itu dapat
dimentahkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa
meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata
bukanlah ekspresi rasa sakit. Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita
sebelumnya. Bahkan mungkin sudah lazim menjadi keyakinan kita bersama, bahwa
setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, pastilah disertai
rasa sakit dan nyeri. Terlebih lagi yang terluka adalah leher dengan luka
terbuka yang menganga lebar.
Hasil penelitian
Prof. Schultz dan Dr. Hazim justru membuktikan yang sebaliknya. Yakni bahwa
pisau tajam yang mengiris leher (sebagai syariat Islam dalam penyembelihan
ternak) ternyata tidaklah menyentuh saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua
peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot
bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi keterkejutan
otot dan saraf saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Dalam Islam penyembelehan hewan harus
mengikuti aturan, antara lain: 1. Membaca basmalah. 2. Menghadapkan hewan ke
arah kiblat 3. Hewan ditidurkan 4. Gunakan senjata yang tajam. Jadi
penyembelehan itu sama sekali bukanlah sebuah penyiksaan.
Selain bentuk penyiksaan di atas dalam praktik kerapan,
nyaris tidak ada dari penonton yang tidak menjadikan
perlombaan kerapan sapi sebagai arena pertaruhan judi. Maka pantaskah budaya
ini terus dilestarikan lagi, jika begini jadinya..?
Meskipun bentuk perjudian
itu tidak sepenuhnya dari peserta lomba, namun setidaknya mereka membantu dalam
kemunkaran, sebab perjudian di situ sulit terhindari belum lagi perjudian kerap
kali menyulut permusuhan. Tentang haramnya judi telah jelas diterangkan dalam
al-Quran surat al-Baqarah 2:219.
Sejatinya semua bentuk perlombaan, termasuk kerapan sapi, itu diperbolehkan
oleh syara’ asal tidak ada unsur lain yang membawanya pada perkara haram,
karena dalam perlombaan terkadang juga ada sisi positifnya bila dapat
direnungi. Semisal dalam kerapan sapi nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para
pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau
menerima kekalahan dengan lapang dada. Juga bisa dilihat dari bentuk kokot sapi
(kaki sapi) yang dibuat agak runcing dari sapi-sapi yang lain, memiliki makna “namen
panggun ka tana” (nanam pasti ke tanah). Karena masyarakat Madura mayoritas
adalah petani yang memiliki etos kerja yang sangat besar. Dan setiap tanaman
itu pasti ditanam ke tanah.
Pangonong (alat yang
mengapit sapi) agar sapi bisa berlari bersama. Hal ini menandakan bahwa orang
Madura juga memiliki nilai-nilai religius yang sangat tinggi. Dan juga mencerminkan iman
dan Islam dimana dua komponen tersebut juga harus berjalan bersama. Kleles (tempat joki) berpijak/berdiri dan
mengendalikan sapi. Hal ini memiliki arti bahwa setiap orang harus memiliki pegangan dan pijakan dalam
melangkah dan melakukan setiap perbuatan. Pegangan dan pijakan orang Madura
adalah al-Qur’an dan al-Hadist. Dan (empa’tanduk sapasang) memiliki arti setiap orang Madura harus memiliki tanduk (keahlian) dalam
bidang apapun. Karena orang Madura terkenal memiliki semangat kerja yang sangat
tinggi dan semangat itu harus didukung dengan kemampuan.
Sederhananya, bahwa kerapan
sapi awalnya adalah media untuk menyebarkan Islam. Jadi, bukan permainannya
yang salah tapi orang yang menyalahgunakan permainan itu. Wallahu a’lam.
*Shofiyullah/Aschal*
0 komentar:
Posting Komentar