(Tab Widget 2)

Rabu, 01 Februari 2017

“KERAPAN SAPI” (ASCHAL Edisi 13)


“KERAPAN SAPI”
Budaya Islami atau Islamisasi Budaya?

            Dewasa ini perbincangan mengenai kerapan sapi semakin hangat dan semakin ramai memenuhi ruang media yang bertebaran di mana-mana, tentu dari pembahasan itu yang menjadi pangkal perdebatan tak lain adalah soal kontroversi terkait dualisme kerapan sapi yang kini tengah rutin dipersoalkan.
Dua model kerapan sapi itu, antara lain adalah model kekerasan dan model biasa (tanpa kekerasan). Adanya dua model tersebut lebih dipengaruhi oleh refleksi hukum positif dan hukum agama. Hukum positif mengatakan, bentuk kekerasan dalam kerapan sapi dinilai sangatlah tidak manusiawi. Sementara menurut kaca mata agama hal itu dapat mempengaruhi legalitas model perlombaan tersebut, karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan syara’.
            Tapi di sisi lain penganut yang sepakat dengan kerapan sapi model kekerasan―melayangkan argumentasinya dengan alasan―bahwa sebelum dilombakan dan sesudahnya, sapi tersebut dilayani dengan perawatan yang sangat istimewa. Jadi, baginya, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kerapan sapi merupakan penyiksaan terhadap hewan. Bukankah penyembelihan pada umumnya, lebih kejam dari sekedar menusuk pantat, jangan-jangan telah mencampuradukkan istilah dan makna penyiksaan bagi hewan dan manusia, atau memanusiakan hewan.? Sebab menurutnya, memaknakan penyiksaan terhadap hewan tidak dapat disamakan dengan memaknakan penyiksaan terhadap manusia.
            Masih menurut pendapat itu, barangkali para ulama menilai bahwa parktik kerapan sapi tersebut dikatakan penyiksaan terhadap hewan, karena mereka menganggap penyiksaan sama dengan pemaknaan yang seharusnya diperuntukkan bagi manusia. Jika demikian benar mereka telah melakukan pelanggaran terhadap ayat al-Quran QS Tien: 4. Dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa manusia jauh derajat dan kesempurnaannya di atas hewan. Jadi, pelarangan terhadap kerapan sapi tersebut tidak dapat disandarkan pada ajaran Islam, hanya dengan alasan terdapat penyiksaan terhadap hewan, katanya.
            Sekilas memang benar pendapat di atas, sapi yang dipersiapkan untuk kerapan juga medapatkan perlakuan istimewa dari sang pemilik, misalnya dipijat, diinjak dan dimandikan setiap hari bahkan sampai dua kali sehari, dijemur setiap hari. Bahkan diberi jamu campuran butir telur dengan  parutan kunyit, jahe, temulawak, gula merah, dan minuman bersoda yang diberikan dua kali seminggu.
            Namun segala kenikmatan itu harus dibayar sapi dengan siksaan selama berpacu. Sapi-sapi itu berpacu dalam kesakitan, dan pantatnya berdarah, akibat garukan paku sang joki yang ditancapkan pada gagang kayu seperti parut. Tidak hanya itu. Mata, pantat yang luka, dan sekitar lubang anus si sapi diolesi cuka, sambal, dan balsem. Bagian dalam ekor sapi diikat dengan kayu yang juga berpaku.
            Saat berlari, ekor yang dipasangi kayu berpaku itu naik turun, dan menusuk kulit sekitar dubur sapi. Sapi-sapi itu terlihat meronta, mengentak-entakkan kaki dan mendengus berulang-ulang. Pada kondisi seperti itu, tidak jelas apakah setiap pasangan sapi kerapan, berlari karena kekuatan ototnya atau karena ingin lepas dari rasa sakit. Bisa jadi, pasangan sapi akan diadu beberapa kali. Artinya, sapi-sapi tersebut akan mendapatkan perlakuan menyakitkan berulang-ulang.
            Adapun argumen yang menyatakan bahwa kekerasan dalam kerapan tak ubahnya pada waktu penyembelehan, hal itu dapat dimentahkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit. Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita sebelumnya. Bahkan mungkin sudah lazim menjadi keyakinan kita bersama, bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Terlebih lagi yang terluka adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar.
            Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim justru membuktikan yang sebaliknya. Yakni bahwa pisau tajam yang mengiris leher (sebagai syariat Islam dalam penyembelihan ternak) ternyata tidaklah menyentuh saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi keterkejutan otot dan saraf saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Dalam Islam penyembelehan hewan harus mengikuti aturan, antara lain: 1. Membaca basmalah. 2. Menghadapkan hewan ke arah kiblat 3. Hewan ditidurkan 4. Gunakan senjata yang tajam. Jadi penyembelehan itu sama sekali bukanlah sebuah penyiksaan.
Selain bentuk penyiksaan di atas dalam praktik kerapan, nyaris tidak ada dari penonton yang tidak menjadikan perlombaan kerapan sapi sebagai arena pertaruhan judi. Maka pantaskah budaya ini terus dilestarikan lagi, jika begini jadinya..?
            Meskipun bentuk perjudian itu tidak sepenuhnya dari peserta lomba, namun setidaknya mereka membantu dalam kemunkaran, sebab perjudian di situ sulit terhindari belum lagi perjudian kerap kali menyulut permusuhan. Tentang haramnya judi telah jelas diterangkan dalam al-Quran surat al-Baqarah 2:219.
Sejatinya semua bentuk perlombaan, termasuk kerapan sapi, itu diperbolehkan oleh syara’ asal tidak ada unsur lain yang membawanya pada perkara haram, karena dalam perlombaan terkadang juga ada sisi positifnya bila dapat direnungi. Semisal dalam kerapan sapi nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. Juga bisa dilihat dari bentuk kokot sapi (kaki sapi) yang dibuat agak runcing dari sapi-sapi yang lain, memiliki makna “namen panggun ka tana” (nanam pasti ke tanah). Karena masyarakat Madura mayoritas adalah petani yang memiliki etos kerja yang sangat besar. Dan setiap tanaman itu pasti ditanam ke tanah.
            Pangonong (alat yang mengapit sapi) agar sapi bisa berlari bersama. Hal ini menandakan bahwa orang Madura juga memiliki nilai-nilai religius yang sangat tinggi. Dan juga mencerminkan iman dan Islam dimana dua komponen tersebut juga harus berjalan bersama. Kleles (tempat joki) berpijak/berdiri dan mengendalikan sapi. Hal ini memiliki arti bahwa setiap orang  harus memiliki pegangan dan pijakan dalam melangkah dan melakukan setiap perbuatan. Pegangan dan pijakan orang Madura adalah al-Qur’an dan al-Hadist. Dan (empa’tanduk sapasang) memiliki arti setiap orang Madura harus memiliki tanduk (keahlian) dalam bidang apapun. Karena orang Madura terkenal memiliki semangat kerja yang sangat tinggi dan semangat itu harus didukung dengan kemampuan.
            Sederhananya, bahwa kerapan sapi awalnya adalah media untuk menyebarkan Islam. Jadi, bukan permainannya yang salah tapi orang yang menyalahgunakan permainan itu. Wallahu a’lam.

 *Shofiyullah/Aschal*

0 komentar:

Posting Komentar