Indonesia
sangat kental sekali dengan adat istiadat maupun budayanya. Salah satu hasil
kebudayaan Indonesia adalah kerapan sapi. Budaya kerapan sapi ini sudah ada
sejak abad 14 M. tepatnya di piulau garam Madura. Namun akhir-akhir ini terjadi
kontraversi bahkan perdebatan serius tetang budaya madura ini. Kekerasan
menjadi vaktor utama terjadinya polemic diantara berbagai kalangan, baik dari
kalangan ulama maupun pemerintah. Lantas, haruskah budaya kerapan sapi ini dihapus??
Untuk menjawab pertanyaan besar ini mari kita simak wawancara Redaktur majalah
Aschal, Badrut_TM & Ahrori Dhofir bersama
D. Zawawi Imron, budayawan Madura, di kediamannya yang sangat sederhana,
Batang-batang kabupaten Sumenep.
Bisa
dijelaskan latar belakang adanya kerapan sapi di pulau Madura?
Budaya
kerapan sapi menurut salah satu literature bermula pada abad ke 16 M. pada
zaman Sayyid Achmad Al-Baidlowi atau dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur
yang menyebarkan agama Islam di Madura tepatnya di kabupaten Sumenep.
Bagaimana
kiai memandang realita seni kerapan sapi yang berlaku saat ini?
Realita
kerapan sapi saat ini, yang katanya ada unsur kekerasannya, terus terang saya
tidak bisa berkomentar karena saya sendiri tidak pernah nonton. Jadi, tidak
tahu bentuk kerapan sapi sat ini.
Mungkin
bisa dijelaskan potret kerapan sapi masa dulu, apakah identik dengan kekerasan?
Saya
tidak bicara kekerasan. Tetapi kerapan masa dulu itu dipacu sepasang-sepasang
atau dikenal dengan istilah “Kerap Tangge’”. Disitu yang lebih diutamakan
adalah unsur kesenian yang diawali dengan pidato adat, tari-tarian dan kending
madura. Biasanya sapi itu dengan daun kelapa (E gersa, madura.). namun, selain
kerap tangge, ada juga kerap yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan di adu
atau dilombakan.
Sejak
kapan penggunaan paku dalam kerapan sapi?
Mungkin
praktek kerapan sapi yang menggunakan paku itu terjadi sesudah tahun 1960.
tapi, sejak tahun 1977 saya tidak pernah nonton lagi karena sering pergi.
Makanya saya tidak bisa berkomentar.
Menurut
kiai, bagaimana gairah masyarakat dalam menonton budaya kerapan sapi?
Saya
kira biasa-biasa saja malah menurut saya yang diminati masyarakat adalah kontes
Sapi Sono’, sapi betina yang di arak dan dinilai bagaimana jalannya dan
kepatutannya.
Masih
adakah sisi positif dari budaya ini?
Selain
jadi kebanggan dan sapi yang menjadi pemenang akan terjual mahal, juga bisa
jadi tontonan dan hiburan bagi masyarakat Madura. Dan tentunya menjadi daya
tarik turis-turis dan wisatawan mancanegara.
Haruskah
budaya kerapan ini dipertahankan?
Sejak
dulu budaya kerapan sapi ini memang sudah ada. Jadi, kalau memang ada sisi
negativnya, maka sisi ngatifnya saja yang dihapus bukan berarti kerapan sapinya
yang harus dihapus.
Pesan
kiai terhadap masyarakat Madura khususnya tentang kerapan sapi?
Bagaimana
bisa diupayakan, kerapan sapi ini benar-benar menjadi tontonan yang mewakili
budaya Madura yang punya dampak positif. Paling tidak bisa menjadi pemersatu
masyrakat Madura. Itu saja.
0 komentar:
Posting Komentar