(Tab Widget 2)

Rabu, 01 Februari 2017

HARUSKAH BUDAYA KERAPAN SAPI TERELIMINASI? (ASCHAL Edisi 13)


Indonesia sangat kental sekali dengan adat istiadat maupun budayanya. Salah satu hasil kebudayaan Indonesia adalah kerapan sapi. Budaya kerapan sapi ini sudah ada sejak abad 14 M. tepatnya di piulau garam Madura. Namun akhir-akhir ini terjadi kontraversi bahkan perdebatan serius tetang budaya madura ini. Kekerasan menjadi vaktor utama terjadinya polemic diantara berbagai kalangan, baik dari kalangan ulama maupun pemerintah. Lantas, haruskah budaya kerapan sapi ini dihapus?? Untuk menjawab pertanyaan besar ini mari kita simak wawancara Redaktur majalah Aschal, Badrut_TM & Ahrori Dhofir bersama D. Zawawi Imron, budayawan Madura, di kediamannya yang sangat sederhana, Batang-batang kabupaten Sumenep.

Bisa dijelaskan latar belakang adanya kerapan sapi di pulau Madura?
Budaya kerapan sapi menurut salah satu literature bermula pada abad ke 16 M. pada zaman Sayyid Achmad Al-Baidlowi atau dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur yang menyebarkan agama Islam di Madura tepatnya di kabupaten Sumenep.
Bagaimana kiai memandang realita seni kerapan sapi yang berlaku saat ini?
Realita kerapan sapi saat ini, yang katanya ada unsur kekerasannya, terus terang saya tidak bisa berkomentar karena saya sendiri tidak pernah nonton. Jadi, tidak tahu bentuk kerapan sapi sat ini.
Mungkin bisa dijelaskan potret kerapan sapi masa dulu, apakah identik dengan kekerasan?
Saya tidak bicara kekerasan. Tetapi kerapan masa dulu itu dipacu sepasang-sepasang atau dikenal dengan istilah “Kerap Tangge’”. Disitu yang lebih diutamakan adalah unsur kesenian yang diawali dengan pidato adat, tari-tarian dan kending madura. Biasanya sapi itu dengan daun kelapa (E gersa, madura.). namun, selain kerap tangge, ada juga kerap yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan di adu atau dilombakan.
Sejak kapan penggunaan paku dalam kerapan sapi?
Mungkin praktek kerapan sapi yang menggunakan paku itu terjadi sesudah tahun 1960. tapi, sejak tahun 1977 saya tidak pernah nonton lagi karena sering pergi. Makanya saya tidak bisa berkomentar.
Menurut kiai, bagaimana gairah masyarakat dalam menonton budaya kerapan sapi?
Saya kira biasa-biasa saja malah menurut saya yang diminati masyarakat adalah kontes Sapi Sono’, sapi betina yang di arak dan dinilai bagaimana jalannya dan kepatutannya.
Masih adakah sisi positif dari budaya ini?
Selain jadi kebanggan dan sapi yang menjadi pemenang akan terjual mahal, juga bisa jadi tontonan dan hiburan bagi masyarakat Madura. Dan tentunya menjadi daya tarik turis-turis dan wisatawan mancanegara.
Haruskah budaya kerapan ini dipertahankan?
Sejak dulu budaya kerapan sapi ini memang sudah ada. Jadi, kalau memang ada sisi negativnya, maka sisi ngatifnya saja yang dihapus bukan berarti kerapan sapinya yang harus dihapus.
Pesan kiai terhadap masyarakat Madura khususnya tentang kerapan sapi?
Bagaimana bisa diupayakan, kerapan sapi ini benar-benar menjadi tontonan yang mewakili budaya Madura yang punya dampak positif. Paling tidak bisa menjadi pemersatu masyrakat Madura. Itu saja.


0 komentar:

Posting Komentar