Syaich Zakaria Al-Anshari;
Pemungut kulit Semangka yang ‘alim “luar
biasa”
(826-926/1423-1520)
Oleh Abd. Fattah I ATM
Kulit semangka
ternyata tidak hanya menjadi konsumsi Syaichona Moh. Cholil ketika menimba
ilmu, jauh sebelum itu, sekitar abad ke 8 H. Ada seorang pemuda yang kelak akan
menjadi guru besar serta tunggal di masanya juga mengalami nasib sebagaimana Syaichona
Moh. Cholil memungut kulit semangka dari tempat sampah. Beliau adalah guru
besar Islam, Abu Yahya Zakaria al-Anshari yang familiar dengan panggilan Syeich
Zakaria.
Mesir adalah
negara kelahirannya, tepatnya di Sunaikah, sebuah desa kecil yang terletak
antara kota Bilbis dan Al-Abbasiyah, timur Mesir. Desa yang pada tahun 826
H/1423 M. menjadi saksi lahirnya seorang mujaddin ke 9 H. di lingkungan
keluarga yang terbilang cukup bahkan sangat sederhana.
Menginjak usia
remaja, semangat mencari ilmu mengantarkan Zakariya menuju Universitas al-Azhar
Cairo. Waktu tidak di laluinya dengan sia-sia, ia perdalami semua bidang
keilmuan, makanya tidak heran jika kemudian Zakariya mampu menguasai berbagai
disiplin ilmu khususnya dalam bidang keagamaan seperti fikih, hadits, tafsir,
nahwu dan lainnya.
Rihlah ilmiahnya
tidak berjalan mulus sebagaimana mayoritas kalangan. Syeich Zakariya hidup
dengan kondisi krisis ekonomi, tidak ada bekal untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. oleh karenanya, sebagaimana di sampaikan di atas, beliau
seringkali memungut sisa-sisa kulit semangka yang tergeletak berceceran di
tanah sebagai makanan pokok. Dan hal itu terus di laluinya hingga kemudian ada
seseorang yang mengetahui kebiasaan miskin Syeich Zakariya tersebut. orang
tersebut adalah seorang waliyullah yang bekerja di sebuah perusahaan tepung.
Orang ini yang kemudian sangat berjasa dalam kehidupan Syeich Zakariya, ia
memenuhi segala kebutuhan Syeich Zakariya, seperti pakaian, makanan,
kitab-kitab dan lain sebagainya. Hal itu terus di lakukannya sampai beberapa
tahun.
Suatu ketika di
malam yang sepi, ketika orang-orang sedang tidur, tiba-tiba sang dermawan itu
mendatangi Syeich Zakariya dan memintanya untuk bangun lalu mengajaknya keluar.
Sebagaimana di ceritakan Syeich Zakariya, “Aku berjalan mengikuti
langkah-langkahnya dan berhenti di suatu tangga tempat bahan bakar. Tangga itu
lumayan tinggi. Di tengah pikiranku yang berkecamuk mengapa aku dibawa ke
tempat ini tiba-tiba orang mulia itu berkata kepadaku: "Naiklah…"
"Naik tangga ini ?" aku bertanya dalam keadaan bimbang. "Ya,
naikilah tangga itu. Aku menaiki tangga itu dengan pelan dan terus berpikir apa
makna semua ini. Orang tua asuhku itu terus bilang, "Ayo terus naik, terus".
setelah aku sampai di puncak beliau berkata: "Kamu akan tetap hidup
sementara semua kawan sezamanmu telah mati. Kamu akan unggul melebihi semua
ulama Mesir. Murid-muridmu akan menjadi syekh-syekh besar. Inilah yang terjadi
dalam kehidupanmu hingga tertutup penglihatanmu". "Berarti aku akan
menjadi buta?" ratapku seketika. Beliau berkata: "Sabarlah itu sudah
menjadi suratan wajib bagimu". Sejak saat itu, aku tidak pernah bertemu
beliau lagi.”
Ternyata benar
apa yang yang telah di sampaikan oleh sang dermawan di atas, berbagai
gelar ilmiah di nobatkan kepada Syeich Zakariya dan masyhur di berbagai elemen,
mulai rakyat hingga pejabat sampai akhirnya Zakariya mendapatkan tawaran
menjadi hakim tertinggi di Negaranya akan tetapi selalu di tolaknya dengan lembut
hingga pada bulan Rajab 886 H. Beliau
menerima tawaran tersebut akibat selalu di desak oleh raja.
Selama menjadi
hakim, beliau selalu tegas dalam memberikan kebijakan, tidak pandang bulu.
Tidak juga seperti gambaran hukum di Negeri ini yang tajam. Bahkan beliau tidak
segan-segan melayangkan
surat teguran serta kecaman kepada raja waktu itu karena kebijakan-kebijakannya
yang berseberangan dengan tuntutan agama. Dan ini mengakibatkan beliau di pecat
dari posisinya sebagai hakim tertinggi. Setelah lepas dari jabatannya sebagai
hakim, beliau kembali menggeluti dunianya sebagai seorang ulama. Mengarang dan
mengajar.
Di antara
karangannya adalah: Tahrir Tanqih
al-Lubab (Fikih), Tuhfah al-Bari ‘ala
Shahih al-Bukhari (Hadits), Syarh
Isaghuji (Mantiq), Syarh
as-Syafi’iyah li Ibn Hajib (Nahwu), Fath
ar-Rahman bi Kasyf Ma Yaltabisu fi al-Qur’an (Tafsir) dan masih banyak yang
lain. Beberapa karya di atas menjadi
standart kurikulum di berbagai pondok pesantren di nusantara termasuk juga
pondok pesantren Syaichona Moh. Cholil Demangan Barat Bangkalan, seperti tuhfatu al-thullab syarh tahriri tanqihi
al-lubab (Fiqih).
Pada tahun 906 H.
tejadi musibah besar yang menimpa Syeich Zakariya. Ketika terdengar kabar bahwa
kapal yang membawa putranya, Syekh Muhibbuddin tenggelam di sungai Nil. Berita
itu membuat Syeich Zakariya begitu berduka. Beliau selalu menangisi kepergian
putranya sehingga indra penglihatannya menjadi kabut. Rupanya perkataan sang
wali yang menemaninya beberapa tahun yang silam menjadi kenyataan, beliau buta
sepanjang hidupnya.
Syekh Zakariya
wafat pada hari Jumat 04 Dzulhijjah 926 H/1423 M. dan dikebumikan di Qarafah, Kairo dekat makam Imam Syafi’i.
0 komentar:
Posting Komentar