KH. Muchtaram
Mun’im,
Bangkalan adalah salah satu kota
yang tercatat sebagai tempat lahirnya beberapa ulama kharismatik yang menjadi
pembimbing serta panutan masyarakat. Salah satu di antara beberapa ulama
tersebut adalah KH.Muchtaram Mun’im, sosok pendidik Al-Qur’an yang Istiqomah
Lahirnya sang
pendidik
Sekitar
tahun 1352 H/1931 M masehi dikota bangkalan tepatnya kampung jegelen yang
terletak di sebelah utara kota bangkalan lahir seorang bayi dari pasangan KH.
Abd.Mun’im bersama Nyai Hj. Talifah yang kemudian di beri nama Muchtaram Mun’im.
Beliau lahir di lingkungan pesantren asuhan ayahnya yang lebih spesifik
terhadap pengajaran ilmu Al-Qur’an dan banyak melahirkan para huffadz
(penghafal Al-Qur’an). Pondok ini dikenal dengan istilah pondok jegelen. Konon,
KH. Abdul Mun’im ini hadup semasa dengan Syaichona Moh. Cholil sehingga suatu
ketika ada seorang santri yang hendak mengaji Al-Quran ke Syaichona Moh. Cholil
lantas beliau menyarankan santri tersebut untuk berguru kepada kiai Bancaran
Yaitu KH. Abdul Mun’im (pada waktu itu syaichona cholil sudah sepuh dan kiai
mun’in masih muda).
Dibimbing dan
ditinggal orang tua
Kiai
Muchtaram mendapat bimbingan Al Qur’an secara langsung dari ayahandanya, Kiai
Abdul Mun’im hingga menginjak usia remaja karena memang taram kecil inilah yang
kelak akan melanjutkan sebagai penerus perjuangan sang ayah. Akan tetapi, dalam usia yang terbilang masih
sangat muda dan haus terhadap bimbingan seorang ayah, beliau harus rela
kehilangan sang ayahanda berpulang kerahmatullah dan disusul beberapa tahun
kemudian oleh Ibu beliau, Nyai talifah. sejak saat itu kiai Muhtaram hanya
tinggal bersama para saudara beliau. Diantaranya adalah KH. Fakhri Mun’im.
Menimba ilmu di
pesantren
Kepergian kedua orang tuanya tidak
lantas menjadikan taram kecil patah semangat dalam menuntut ilmu. Layaknya
putra seorang kiai dan dengan kecukupan ekonomi sebagai bekal untuk menuntut
ilmu, maka kiai muchtaram muda oleh saudaranya dimondokkan di salah satu
pesantren di tanah jawa yaitu pondok pesantren Panji buduran sidoarjo. tidak ada sumber yang pasti mengenai tahun berapa
lama beliau mondok di pesantren tersebut hanya saja menurut salah satu
putranya, KH. Hasbullah Muchtaram sekitar - + 6 tahun.
Menikahi cucu
Syaichona Moh.Cholil
Setelah beberapa tahun berada di
pesantren Panji Buduran sidoarjo, Kiai Muchtaram pulang ke kampung halamannya yaitu desa
pajegelen dan meneruskan syi’ar dan perjuangn sang ayahandanya. Tidak hanya
itu, kiai Muchtaram kemudian mempersunting salah seorang putri Kiai Yasin
kepang yang masih memiliki ikatan nasab dengan Syaichonaa Moh. Cholil dari
jalur ibunya, Istri KH Yasin yaitu Nyai Hj. Asiatun Binti Nyai Asma (istri KH.
Yasin) binti Syaichona Moh. Cholil bin KH. Abdullatif. Dari pernikahannya
dengan Nyai. Hj. Asiyatun ini Kiai Muchtaram dikaruniai 6 buah hati; 3
laki-laki dan yang tiganya lagi perempuan. Mereka semua adalah KH.Ahmad Faruq,
Nyai. Nur Jamilah, Nyai. Nur Kautsar, Nyai. Nur Latifah, KH. Hasbullah dan
terakhir KH. Imam Ghozali.
Mendirikan
podok pesantren
Tiga tahun setelah pernikahan dengan
Nyai. Hj. Asiatun yang tentunya dengan bekal keilmuan yang mapan, beliau hijrah
ke demangan tepatnya di sebelah timur pondok pesantren syaichona Moh. Cholil
dan mendirikan pondok pesantren di sana yang saat ini dikenal dengan pondok
pesantren Nurul hidayah. Di sanalah beliau mulai merintis, meneruskan cita-cita
sang ayah yaitu sebuah perjuangan dengan mengajarkan beberapa disiplin ilmu. Metode
mengajar yang di lakukan oleh Kiai Muchtaram ini tidak monoton terhadap apa
yang di lakukan sang ayah yaitu pondok pesantren yang lebih spesifik terhadaqp
ilmu al qur’an. Akan tetapi metode beliau lebih mengglobal terhadap
pembelajaran kitab kuning.
Dalam pondok pesantren ini pula
beliau menggagas sebuah trobosan baru dikala itu yang mana para santri mendapatkan izin untuk
menimba ilmu umum ke luar pesantren yang pada saat itu sekitar era 70-an
pelajaran ilmu umum masih di anggap tabu untuk di pelajari dan kebanyakan para
santri hanya monoton pada pengajian kitab kuning.
Setelah beliau boyong dari panji
sidoarjo, dalam usianya yang masih terbilang sangat muda beliau sudah mulai
menggeluti dunia sosial dengan cara terjun langsung kemasyarakat dalam
mengajarkan ilmu al qur’an karena di pondok beliau, selain menerima santri dari luar kiai taram
muda punya pemikiran untuk menyebarkan dan mengenalkan bacaan ilmu al qur’an
dengan cara mendatangi langsung satu persatu rumah-rumah di sekitar pesantren.
Meniti istiqomah
kesadaran akan pentingnya ibadah
shalat rupanya sangat tertanam dalam benak kiai muchtaram. Betapa tidak, selain
di kenal sebagai penyiar agama beliau juga merupakan tokoh yang sangat
istiqomah dalam melaksanakan ibadah shalat lima. Setiap kumandang tarhim
terdengar, beliau di pastikan sudah selesai mandi dan bersiap-siap dengan
busana yang rapi untuk menyambut kedatangan waktu shalat. Dan waktu yang
seperti inilah beliau tidak segan-segan menghentikan perbincangannya dengan
para tamu untuk kemudian melaksanakan shalat. Siapapun tamunya.
Beliau juga di kenal sebagai seorang
kiai yang sangat disiplin dalam semua urusan. beliau juga sangat menghormati
waktu dalam segala hal terutamanya dalam menghadiri undangan atau mengunjungi
tamu.
Dalam lingkungan keluarga, beliau
adalah sosok yang selalu memposisikan musyawaroh sebagai jalan keluar dari
semua masalah yang sedang beliau hadapi. Kalau pun toh masalah itu belum ada
jalan keluarnya, beliau lebih memilih diam ketimbang harus banyak bicara yang
tidak bermanfaat.
Beliau juga tertmasuk sosok yang sangat
di kagumi di lingkungan keluarganya mulai dari istri beliau, anak-anak dan
cucu-cucu yang menututi masa hidup beliau.
Sang guru kembali ke rahmatullah
Pada malam jum’at Sya’ban 1415 H/1994
M. di komplek pondok pesantren Nurul Hidayah tersebar kabar yang melahirkan
duka besar dihati masyarakat terutama keluarga dan sanak family kiai muchtaram.
Sosok yang selama ini menjadi kebanggaan serta pembimbing masyarakat telah
berpulang kerahmatullah.
Beliau dimakamkan di pemakaman martajasah
di dekat makam Syaichona Moh. Cholil berdempetan dengan makam ayahandanya.
Kepergian kiai Muchtaram sangat
menyisakan kesedihan yang luar biasa dikalangan masyarakat terutama para santri
yang selalu haus akan bimbingan beliau. Selamat jalan wahai guru.
Semoga amal ibadahnya
di terima di sisi Allah SWT.
*Mufti, Maulana
Ishaq Rafi/Aschal*
0 komentar:
Posting Komentar