(Tab Widget 2)

Minggu, 26 Februari 2017

NIAT TIDAK BENAR, MENGANCAM IMAGE GAGAL OUTPUT PESANTREN (ASCHAL Edisi 16)



Menitipkan anak di sebuah pendidikan pesantren seringkali tidak disertai dengan ruh amal yang semata-mata demi mendapatkan ridho Allah Swt. Niat yang semestinya menjadi pondasi awal masuk pesantren masih tidak begitu diperhatikan dan akibatnya pun seakan-akan tidak pernah dipetimbangkan. Lalu bagaimana sebenarnya niat yang baik ketika hendak ada dipesantren? Berikut Wawancara Pimpinan Redaksi Aschal Mufti Shohib Bersama KH. Abdul Wahid Hasyim, salah satu staf pengajar Madrasah Diniyah al-Ma’arif tingkat Aliyah Tarbiyatul Mu’allimin PP. Syaichona Moh. Cholil Bangkalan. Berikut wawancaranya:

Kadang pesantren hanya sekdedar nitip anak. Pandangan Kiai?
Yang demikian itu ya kurang tepat karena segala sesuatu harus didasari dengan niat. Niat yang salah akan memperoleh hasil sebagaimana apa yang di niati.

Kira-kira hal demikian factor utamanya apa?
Faktornya banyak. yang pertama karena factor ketidak fahaman wali santri terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya. bagaimana sebagai orang tua mempunyai kewajiban moral untuk membesarkan anaknya  sesuai norma-norma Islam. maka dengan demikian wali santri harus diberi pemahaman sebab mereka tidak begitu mengetahui bahwa melakukan sesuatu itu sangat tergantung pada niat. di dalam kitab-kitab kan banyak dijelaskan bahwa
كم من عمل يتصور بصورةة عمل الدنيا فصار بحسن النية عمل الاخرة
Betapa banyak perbuatan yang berbentuk perbuatan duniawi, kemudian karena niat yang baik maka menjadi perbuatan akhirat
Dan ini juga berlaku sebaliknya. Ketika masuk pesantren yang itu merupakan perbuatan ukhrawy, ketika niatnya tidak baik maka otomatis menjadi perbuatan duniawi belaka. jadi kalau niatnya hanya sekedar nitip anak, ya aman saja selesai tapi tidak akan memperoleh apa yang diinginkan.

Bagaimana Niat yang baik?
Ya tentu yang pertama orang menitipkan anak ke pesantren, agar anaknya itu dalam kehidupannya mendapat ridlo Allah. yang kedua supaya menjadi anak yang sholeh. yang ketiga supaya anak itu bisa menjadi orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dan yang paling penting juga ketika saya misalnya menitipkan anak ke pesantren saya mempunyai harapan, potensi yang ada pada diri  anak saya itu bisa dikembangkan baik potensi yang bersifat karakter maupun potensi-potensi yang lain yang bisa dikembangkan. Jadi harapannya dengan dititipkan di pondok pesantren, anak kita dapat berkembang sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Antara pendidikan formal dan diniyah di pesantren. Mana yang harus diprioritaskan?
Pendidikan diniyah sebagai salah satu ciri dan karakter pendidikan pesantren tentu harus lebih diprioritaskan daripada pendidikan formal. Seperti di pondok (PP. Syaichona Moh. Cholil). Jadi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pengasuh. Itulah sebabnya kenapa diniyah waktu sekolahnya di pagi hari karena memang waktu pagi itu lebih panjang dan pemikiran juga lebih segar.
Adapun pendidikan formal hanyalah sekedar untuk mengakomodir berbagai kepentingan dan harapan masyarakat pada konteks sekarang. Pada era Sekarang, pesantren tanpa adanya pendidikan formal nampak akan kurang mendapat minat dari masyarakat. Jadi berkembang sesuai tuntutan situasi.

Kenyataannya banyak kalangan masyarakat yang memprioritaskan Formal
Kenyataan di tengah masyarakat memang demikian. Itulah sebabnya pesantren merespon terhadap keinginan masyarakat tersebut. Akan tetapi, pesantren selain harus dapat merespon keinginan masyarakat juga harus menjaga substansi, karakter dan tujuan asasi didirikannya pondok pesantren agar tidak melenceng dari karakter aslinya. Kalau pondok pesantren tidak lagi menjaga karakter aslinya (Diniyah) dan lebih memprioritaskan karakter baru (keinginan masyarakat; formal), maka pesantren akan kehilangan keasliannya dan tidak lagi menjadi sebuah lembaga pendidikan yang unik, tapi tak ubahnya seperti lembaga-lembaga pendidikan formal lain yang, -saya kira- tidak ada sumber barokah. Kala pesantren jelas sumber barokah, sumber ilmu, hikmah dan lain sebagainya. Inilah yang asli pesantren asalkan niatnya benar dan di  pesantren hidup layaknya seorang tholibul ilmi. Jadi pendidikan diniyah tetap harus diprioritaskan tanpa harus menghilangkan kepentingan formal.
Sebenarnya kalau kita berbicara masalah substansi pendidikan Islam tidak ada yang namanya dikotomi tapi kadang orang-orang lebih memprioritaskan yang satunya daripada yang lain.

Tentang degradasi berbagai aspek yang dialami santri, adakah kaitannya dengan niat yang tidak benar?
sedikit banyak  Ada. Di dalam hadits kan sudah dijelaskan bahwa
ومن كان هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ومن كان هجرته الى الدنيا يصيبها او امرئة ينكحها فهجرته الى ما هاجر اليه
Jadi kalau niatnya hanyalah sekedar nitip, jelas ada kaitannya dan dampak negatifnya.

Dampak negative yang lebih luas?
Dari aspek moral ini akan muncul image bahwa output Dari pesantren ternyata belum mampu menampilkan karakter asli pesantren yang tafaqquh fiddin akibatnya pesantren yang dicap gagal. karena itu mestinya output itu mampu  baik secara moral, intelektual maupun secara akademik. mampu untuk eksis berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai wujud khairunnas anfauhum linnas. Tapi ketika sudah tidak di barengi dengan niat yang ditata dengan baik sejak awal, akhirnya yang terjadi dekadensi moral. Ketika dekadensi moral yang terjadi ditengah masyarakat dan ternyata dalangnya adalah output pesantren, maka ini gawat. Naudzubillah. Akhirnya akan kehilangan kepercayaan masyarakat.

Kalau ingin berbenah harus di mulai dari mana?
pertama masyarakat harus di beri pemahaman dengan berbagai cara dan melalui berbagai momen apa saja.

Himbauan kepada santri dan masyarakat khusunya wali santri
wali santri tidak sekedar menitipkan anak begitu saja tapi juga harus memiliki kepekaan dan ikut berperan aktif dalam mengsukseskan pendidikan anaknya di pesantren. kalau orang tua tidak ikut memberikan  kontribusi dan tidak berperan aktif maka anankya sulit untuk berhasil dan sukses. Karena kiprah orang tua adalah kunci kesuksesan si anak. Seorang ibu harus mendoakan anaknya dan seorang bapak harus memberikan motivasi yang baik, ikut mengevaluasi atas apa yang diperoleh. Seperti saat libur pesantren, orang tua harus melihat sejauh mana perkembangan pelajaran anaknya, ikut mengontrol prilaku sikap dan moralnya.
Kalau ini dilakukan, saya kira paripurnalah sudah peserta didik pesantren menjadi insan kamil.  Hal yang sangat penting adalah, orang tua harus ekstra hati-hati dalam memberikan bekal si anak. Yang diberikan kepada anak harus benar-benar rejeki yang halal. Karena kalau tidak demikian maka pemikiran si anak akan alot. Kata ulama’,
فانى يستجاب ومطعمه حرام ومشربه حرام  
Bagaimana mungkin bisa di istijabah sedangkan makanannya haram, minumannya haram dan lain sebagainya.
dan lain sebagainya.
Jadi peran bapak ibu sangat vital dalam rangka mensukseskan anaknya menjadi anak yang shaleh, berilmu dan bermanfaat ditengah-tengah kehidupan masyarakat.


0 komentar:

Posting Komentar