Sudah mafhum, bahwa Maulid Nabi telah
mentradisi di masyarakat kita. Tradisi tersebut berbarengan dengan masuknya
Islam ke Indonesia. Wali Songo sebagai kelompok muballig yang menyebarkan
Islam, telah memasyarakatkan Maulid di tengah-tengah masyarakat yang masih awaw
terhadap ajaran Islam, pelan namun pasti, model dakwah Wali Songo menancap ke
dalam hati para pengikutnya. Trik dakwah yang dipergunakan mereka adalah puncak
kesuksesan membumikan Islam di tanah Nusantara, hingga warisan ajarannya masih
tetap diabadikan oleh para pengikutnya hingga saat ini, seakan ajarannya bak
batu karang di tengah lautan, tak lekang oleh terjangan ombak.
perayaan Maulid yang dibawa Wali
Songo ke tanah Indonesia, tidak lain hanyalah bentuk dari pengungkapan rasa
syukur mereka kepada Allah atas diutusnya Muhammad kepada mereka. sebagaimana
firmannya :
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين. (الانبياء 107)
“Engkau tidak aku utus, melainkan hanya sebagai rahmad bagi semesta alam
sekalian” QS. al-Anbiya’: 107. Jika
Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat, bukankah rahmat tersebut adalah
rahmat terbesar yang diberikan Allah kepada alam ini. Sebab dengan adanya
Rasulullah, Allah mengembankan ia meluruskan umat manusia yang terjerumus
kejurang jahiliyah menjadi manusia yang berjalan di jalan Allah, yang demikian
juga menjadikan ia menyelamatkan umat manusia dari terjatuh dalam kenistaan,
maka selayaknya syukur itu perlu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata
sebagaimana yang telah di perintahkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 107.
واشكروا لى ولاتكفرون (البقرة: 107)
“Bersyukurlah engkau semua kepada-Ku dan janganlah kalian mengingkarinya”
QS. al-Baqarah: 107. Dengan demikian,
berarti kita mengadakan Maulid mengikuti perintah Allah dalam bersyukur atas
anugerah diutusnya Rasulullah kepada kita.
Rasulullah pun ketika ditanyakan
tentang puasa hari Senin, beliau menjawa “pada
hari itu aku di lahirkan, dan pada hari itu pula diturunkan (wahyu) kepadaku.
HR. Muslim yang bersumber dari Abi Qotadah ra. Meski bentuk perayaan Maulidnya berbeda
yaitu dengan berpuasa di hari Senin tetapi esensinya tetap sama dengan perayaan
Maulid yang telah lumrah pada mayoritas umat Islam, hal ini sebagaimana kaidah
yang diambil dari hadist mauquf kepada Ibnu Mas’ud ra.
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن, وما رأه المسلمون قبيحا فهو
عند الله قبيح
“Segala hal yang dinilai baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik di
sisi Allah SWT. Dan apa yang dinilai buruk oleh kaum muslimin, maka itu buruk
pula di sisi Allah SWT.” HR. Ahmad. yang merekomendasikan bahwa berkenaan
dengan praktek Maulid diserahkan kepada umat Islam sendiri, asalkan tetap
dijalur Islam, artinya di dalamnya tidak terkandung hal-hal mungkar.
Bahkan di hadits lain Rasulullah
menegaskan, bahwa Rasulullah berhak mengagungkan Nabi Musa dari pada orang
Yahudi. Hal ini tertera dalam hadits riwayat al-Bukhori, Muslim, Abdurrazzaq,
dan al-Bazzar.
قدم رسول الله
صلى الله عليه وسلم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسئلوا عن ذلك فقالوا
هذا اليوم الذى اظهره الله فيه موسى وبني اسرائيل على فرعون فنحن نصومه تعظيما له
فقال النبي صلى الله عليه مسلم نحن اولى بموسى منكم
“Saat nabi datang ke Madinah, nabi mendapati orang-orang Yahudi
melakukan puasa Asyura’. Lalu nabi menanyai mereka dan mereka menjawab: ‘Itu
adalah hari di mana Allah memenangkan Musa dan Bani Isra’il mengalahkan
(menenggelamkan) Fir’aun, dan kami berpuasa karena mengagungkannya (bersyukur).
Lalu Rasulullah berkata ‘kami lebih berhaq atas Musa dari pada kalian’” .
Pernyataan Rasulullah yang oleh Ibnu Hajar dijadikan dalil diperbolehkannya Maulid
bagi umat Rasulullah ketika ia mengomentari Hadits di atas. meskipun itu dengan
berpuasa, apa lagi dengan mengadakan acara selayaknya orang bersukaria dengan
bersedekah di hari kelahiran beliau.
Dengan tidak mengikatnya bentuk Maulid
tersebut, Dalam tradisi ber-Maulid, masyarakat biasanya berkumpul dan
membacakan sejarah kehidupan beliau, mengadakan berzanjian, dan mengadakan
pengajian umum yang di dalamnya mengupas tuntas perjuangan Rasulullah dalam
menyampaikan risalah kenabiannya kepada umat manusia. Setelah itu biasanya
dilanjutkan dengan menyantap hidangan bersama.
Bentuk perayaan Maulid , ditiap-tiap
daerah biasanya tidak sama, tergantung tradisi yang berlaku di daerah
masing-masing, waktunya pun demikian, tidak mengikat, bahkan Sayyid Muhammad
al-Maliki secara tegas mengatakan, bahwa maulid adalah tradisi baru namun baik
untuk dilakukan dan waktunya tidak mengikat kapanpun boleh diadakan (Mafahim Yajibu Antusohhah, 340). Bahkan
as-Suyuti menegaskan bahwa orang yang mengadakan Maulid seperti di atas akan
mendapatkan pahala karena telah mengagungkan derajat nabi, menampakkan rasa
suka cita, dan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah (al-Hawi li al-Fatawi, juz 1/251-252).
Dalam sebuah Hadits di ceritakan
tentang kegembiraan Abu Lahab atas kelahiran Rasulullah hingga ia memerdekakan
budaknya, dan sebab itu pula, saat Abu Lahab meninggal dunia, ia mendapat
keringan dari siksa kubur.
قال عروة وثويبة مولاة لآبي لهب كان ابو لهب اعتقها فأرضعت النبي صلى
الله عليه وسلم فلما مات ابولهب اريه بعض اهله بشر حيبة قال له ماذا لقيت قال ابو
لهب لم الق بعدكم غير انى سقيت فى هذه بعتاقتى ثويبة. (البخارى)
“Urwah berkata: “ Tsuwaibah adalah sahayanya Abu Lahab. Abu
Lahab telah memerdekakannya, lalu ia menyusui Nabi SAW, kemudian saat Abu Lahab
mati sebagian keluarganya bermimpi melihat kondisinya yang parah. Ia bertanya:
“apa yang kau jumpai? Abu lahab menjawab: “aku tidak menjumpai (kenyamanan)
setelah berpisah (mati) dari kalian. Hanya saja aku diberi minuman segini
(sedikit), dengan sebab aku memerdekan Tsuwaibah”. Dalam redaksi
lain, hadits yang semakna dengan hadits tersebut sebagaimana yang dikutip
al-Maliki menjelaskan bahwa kerabat yang bermimpi Abu Lahab tersebut adalah Sayyidina
Abbas ra, Abi Lahab mendapat keringanan dari siksaannya setiap hari Senin
disebabkan ia memerdekakan Tsuwaibah karena telah mengabari dia atas kelahiran
keponakannya (Muhammad) saking bahagianya ia, lalu ia memerdekan budaknya
sendiri yang bernama Tsuwaibah. (Mafahim
Yajibu Antushohhah, 341) orang selefel Abu Lahab saja mendapat keringanan
siksa kubur setiap hari Senin, apa lagi orang Islam yang sudah jelas beriman
dan merayakan Maulidurrasul karena
merasa bahagia atas kelahiran
junjungannya.
Dengan demikian, maka perayaan Maulidurrasul
boleh dilakukan dan waktunya kapanpun, hal itu sebagai bentuk rasa syukur kita
kepada Allah atas dianugerahinya rahmat terbesar bagi umat manusia, yaitu
diutusnya Rasulullah kepada kita. Jika kita selalu memperingati hari ulang
tahun kemerdekaan Republik Indonesia, dan selalu merayakan hari ulang tahun
anak-anak kita, lalu mengapa kita tidak selalu merayakan hari ulang tahun
kelahiran manusia termulia, bahkan seseorang yang menjadi penyebab selamatnya
kita dari jurang kejahiliyahan. Padahal, beliau jauh lebih penting dari semua
itu, karena sebab beliaulah, kita bisa mendapatkan hidayah dan ujung-ujungnya
mengenal Islam, yang otomatis sebagai penyebab selamatnya kita dari jurang
neraka.
*Halwani/Aschal*
0 komentar:
Posting Komentar