(Tab Widget 2)

Minggu, 05 Februari 2017

TINJAUAN MAULID DALAM PANDANGAN SYARI’AH (ASCHAL Edisi 14)


Sudah mafhum, bahwa Maulid Nabi telah mentradisi di masyarakat kita. Tradisi tersebut berbarengan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Wali Songo sebagai kelompok muballig yang menyebarkan Islam, telah memasyarakatkan Maulid di tengah-tengah masyarakat yang masih awaw terhadap ajaran Islam, pelan namun pasti, model dakwah Wali Songo menancap ke dalam hati para pengikutnya. Trik dakwah yang dipergunakan mereka adalah puncak kesuksesan membumikan Islam di tanah Nusantara, hingga warisan ajarannya masih tetap diabadikan oleh para pengikutnya hingga saat ini, seakan ajarannya bak batu karang di tengah lautan, tak lekang oleh terjangan ombak.
perayaan Maulid yang dibawa Wali Songo ke tanah Indonesia, tidak lain hanyalah bentuk dari pengungkapan rasa syukur mereka kepada Allah atas diutusnya Muhammad kepada mereka. sebagaimana firmannya :
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين. (الانبياء 107)
Engkau tidak aku utus, melainkan hanya sebagai rahmad bagi semesta alam sekalian” QS. al-Anbiya’: 107.  Jika Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat, bukankah rahmat tersebut adalah rahmat terbesar yang diberikan Allah kepada alam ini. Sebab dengan adanya Rasulullah, Allah mengembankan ia meluruskan umat manusia yang terjerumus kejurang jahiliyah menjadi manusia yang berjalan di jalan Allah, yang demikian juga menjadikan ia menyelamatkan umat manusia dari terjatuh dalam kenistaan, maka selayaknya syukur itu perlu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata sebagaimana yang telah di perintahkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 107.
واشكروا لى ولاتكفرون (البقرة: 107)
Bersyukurlah engkau semua kepada-Ku dan janganlah kalian mengingkarinya” QS. al-Baqarah: 107.  Dengan demikian, berarti kita mengadakan Maulid mengikuti perintah Allah dalam bersyukur atas anugerah diutusnya Rasulullah kepada kita.
Rasulullah pun ketika ditanyakan tentang puasa hari Senin, beliau menjawa “pada hari itu aku di lahirkan, dan pada hari itu pula diturunkan (wahyu) kepadaku. HR. Muslim yang bersumber dari Abi Qotadah ra. Meski bentuk perayaan Maulidnya berbeda yaitu dengan berpuasa di hari Senin tetapi esensinya tetap sama dengan perayaan Maulid yang telah lumrah pada mayoritas umat Islam, hal ini sebagaimana kaidah yang diambil dari hadist mauquf kepada Ibnu Mas’ud ra.
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن, وما رأه المسلمون قبيحا فهو عند الله قبيح
Segala hal yang dinilai baik oleh kaum muslimin, maka hal itu baik di sisi Allah SWT. Dan apa yang dinilai buruk oleh kaum muslimin, maka itu buruk pula di sisi Allah SWT.” HR. Ahmad. yang merekomendasikan bahwa berkenaan dengan praktek Maulid diserahkan kepada umat Islam sendiri, asalkan tetap dijalur Islam, artinya di dalamnya tidak terkandung hal-hal mungkar.
Bahkan di hadits lain Rasulullah menegaskan, bahwa Rasulullah berhak mengagungkan Nabi Musa dari pada orang Yahudi. Hal ini tertera dalam hadits riwayat al-Bukhori, Muslim, Abdurrazzaq, dan al-Bazzar.
 قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسئلوا عن ذلك فقالوا هذا اليوم الذى اظهره الله فيه موسى وبني اسرائيل على فرعون فنحن نصومه تعظيما له فقال النبي صلى الله عليه مسلم نحن اولى بموسى منكم
Saat nabi datang ke Madinah, nabi mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa Asyura’. Lalu nabi menanyai mereka dan mereka menjawab: ‘Itu adalah hari di mana Allah memenangkan Musa dan Bani Isra’il mengalahkan (menenggelamkan) Fir’aun, dan kami berpuasa karena mengagungkannya (bersyukur). Lalu Rasulullah berkata ‘kami lebih berhaq atas Musa dari pada kalian’” . Pernyataan Rasulullah yang oleh Ibnu Hajar dijadikan dalil diperbolehkannya Maulid bagi umat Rasulullah ketika ia mengomentari Hadits di atas. meskipun itu dengan berpuasa, apa lagi dengan mengadakan acara selayaknya orang bersukaria dengan bersedekah di hari kelahiran beliau.
Dengan tidak mengikatnya bentuk Maulid tersebut, Dalam tradisi ber-Maulid, masyarakat biasanya berkumpul dan membacakan sejarah kehidupan beliau, mengadakan berzanjian, dan mengadakan pengajian umum yang di dalamnya mengupas tuntas perjuangan Rasulullah dalam menyampaikan risalah kenabiannya kepada umat manusia. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan menyantap hidangan bersama.
Bentuk perayaan Maulid , ditiap-tiap daerah biasanya tidak sama, tergantung tradisi yang berlaku di daerah masing-masing, waktunya pun demikian, tidak mengikat, bahkan Sayyid Muhammad al-Maliki secara tegas mengatakan, bahwa maulid adalah tradisi baru namun baik untuk dilakukan dan waktunya tidak mengikat kapanpun boleh diadakan (Mafahim Yajibu Antusohhah, 340). Bahkan as-Suyuti menegaskan bahwa orang yang mengadakan Maulid seperti di atas akan mendapatkan pahala karena telah mengagungkan derajat nabi, menampakkan rasa suka cita, dan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah (al-Hawi li al-Fatawi, juz 1/251-252).
Dalam sebuah Hadits di ceritakan tentang kegembiraan Abu Lahab atas kelahiran Rasulullah hingga ia memerdekakan budaknya, dan sebab itu pula, saat Abu Lahab meninggal dunia, ia mendapat keringan dari siksa kubur.
قال عروة وثويبة مولاة لآبي لهب كان ابو لهب اعتقها فأرضعت النبي صلى الله عليه وسلم فلما مات ابولهب اريه بعض اهله بشر حيبة قال له ماذا لقيت قال ابو لهب لم الق بعدكم غير انى سقيت فى هذه بعتاقتى ثويبة. (البخارى)
“Urwah berkata: “ Tsuwaibah adalah sahayanya Abu Lahab. Abu Lahab telah memerdekakannya, lalu ia menyusui Nabi SAW, kemudian saat Abu Lahab mati sebagian keluarganya bermimpi melihat kondisinya yang parah. Ia bertanya: “apa yang kau jumpai? Abu lahab menjawab: “aku tidak menjumpai (kenyamanan) setelah berpisah (mati) dari kalian. Hanya saja aku diberi minuman segini (sedikit), dengan sebab aku memerdekan Tsuwaibah”. Dalam redaksi lain, hadits yang semakna dengan hadits tersebut sebagaimana yang dikutip al-Maliki menjelaskan bahwa kerabat yang bermimpi Abu Lahab tersebut adalah Sayyidina Abbas ra, Abi Lahab mendapat keringanan dari siksaannya setiap hari Senin disebabkan ia memerdekakan Tsuwaibah karena telah mengabari dia atas kelahiran keponakannya (Muhammad) saking bahagianya ia, lalu ia memerdekan budaknya sendiri yang bernama Tsuwaibah. (Mafahim Yajibu Antushohhah, 341) orang selefel Abu Lahab saja mendapat keringanan siksa kubur setiap hari Senin, apa lagi orang Islam yang sudah jelas beriman dan merayakan Maulidurrasul karena merasa bahagia atas kelahiran  junjungannya.
Dengan demikian, maka perayaan  Maulidurrasul boleh dilakukan dan waktunya kapanpun, hal itu sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah atas dianugerahinya rahmat terbesar bagi umat manusia, yaitu diutusnya Rasulullah kepada kita. Jika kita selalu memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, dan selalu merayakan hari ulang tahun anak-anak kita, lalu mengapa kita tidak selalu merayakan hari ulang tahun kelahiran manusia termulia, bahkan seseorang yang menjadi penyebab selamatnya kita dari jurang kejahiliyahan. Padahal, beliau jauh lebih penting dari semua itu, karena sebab beliaulah, kita bisa mendapatkan hidayah dan ujung-ujungnya mengenal Islam, yang otomatis sebagai penyebab selamatnya kita dari jurang neraka.

*Halwani/Aschal*

0 komentar:

Posting Komentar