Sebuah
Renungan Bagi Para Santri
Nyantri, Salah Niat
Fatal Akibat
Terkadang
, masih ada sebagian santri yang salah menyemai niat di relung hati. "Yang penting aku hidup di pesantren,
sudah pasti dapat ridlo dan berkah kyai”. Tanpa ijtihad yang menggelegar. Tanpa
semangat yang berkobar. Tanpa pengabdian yang mendasar. Sehingga benih yang
ditanampun tumbuh tak sesuai harapan.
Ingat!
Niat adalah otak dari segala aktivitas manusia. Baik- buruk suatu pekerjaan tergantung
pada niat yang ditanam. Makan bisa berpahala, bila diniati agar kuat beribadah
pada Allah `Azza Wajalla. Namun bisa pula diintai dosa, bila diniati durhaka
kepadaNya. “Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan
sesunggunya bagi setiap orang (akan mendapatkan) apa-apa yang dia niatkan.”
(HR. Bukhari).
Bagi
seorang santri, niat yang baik sangatlah penting. Niat baik akan menjadi guide
(pemandu) dalam wisata keilmuannya selama di pesantren. Niat yang baik akan
membimbing kemana dia harus melangkah, apa yang perlu dibawa, serta apa yang
harus dia tinggalkan. Sehingga tidak banyak waktu terbuang percuma. Apalagi nyasar
entah kemana.
Dengan niat yang baik, seorang
santri bisa menikmati indahnya aktivitas thalabul ilmi. Mereka merasa
seperti berada di sebuah taman Firdaus nan indah. Mereka yakin, setiap detik
dari perputaran bumi, para malaikat membentangkan sayap menaungi mereka. Semua
penghuni langit dan bumi sibuk memohonkan ampunan bagi mereka. Termasuk ikan
dilautan, dan semut-semut di lubang persembunyiannya. (al-Hadist)
“Bagaimana niat yang baik?” suatu ketika Imam Ahmad
ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab,
“Niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk
dapat beribadah pada Allah dengan benar, dan untuk mengajari yang lainnya”. Ya,
begitulah cara kita menanamkan niat ketika belajar di pesantren. Niat belajar
untuk ibadah, atau untuk mengajarkan kembali pada orang lain.
Syekh Az-Zarnuji menambahkan, di antara niat yang baik
dalam belajar adalah, niat mencari ridlo Allah, niat agar bisa masuk surga,
niat menghilangkan kebodohan, serta niat menghidupkan agama Allah, karena Islam
bisa hidup bila umat Islam memiliki ilmu.
Jangan sampai salah dalam mengukir
niat. Nyantri di pesantren bukan hanya iseng-isengan. Perlu adanya kesungguhan
dalam menentukan arah tujuannya. Bisa jadi, kehadiran kita di pesantren bukan
untuk menuai barokah, melainkan comberan murka yang tumpah ruah. Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah pernah
bersabda “Barang siapa mencari ilmu untuk mengelabuhi orang bodoh, menyaingi
ulama agar mendapat perhatian manusia, maka tempatnya adalah neraka”. (HR. Ibnu
Majah)
Terlebih, bila nyantri hanya mencari
kertas begambar “Burung Garuda”. Niat oleng yang mementingkan kehidupan dunia. Kita
akan rentan mengacuhkan proses belajar yang baik dan benar. Seharusnya, nyantri
digunakan sebagai media mereguk ilmu manfaat sebanyak-banyaknya. Namun bila niat
salah, kita bisa gunakan segala cara demi selembar ijazah. Tidak peduli curang,
manipulasi, mark up nilai, hingga membeli ijazah “aspal” (asli tapi
palsu).
Ironinya, penyakit kronis seperti
ini sudah tersistem dan terstruktur hampir di semua jenjang pendidikan, mulai
yang berbasis umum, sampai pendidikan berbasis diniyah yang tak semestinya ikut
terpuruk. Ijazah yang demikian, sangat tidak mencerminkan kompetensi
kepribadian dan keilmuan pemiliknya, sehingga berdampak pada melimpahnya sumber
daya manusia tidak berkualitas dan kompetitif.
Coba lihat, bagaimana nasib lima Kepala
Sekolah yang berdinas di Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu.
Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian karena disinyalir terlibat dalam
kasus kecurangan proses Ujian Nasional Sekolah Menengah Atas dan sederajat,
yang digelar 22-24 April lalu. Kelimanya adalah Kepala SMA Cokroaminoto Latimojong, Kepala SMA Tut Wuri Handayani, Kepala SMA Tri Dharma, Kepala SMA Abdi
Pembangunan, dan Kepala SMA Kartika Candrakirana. (Tempo.com)
Lihat
juga, hasil survei Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) atas pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun
2004-2013. Survei online itu menemukan bahwa kecurangan UN terjadi
secara massal lewat aksi mencontek. Bukan hanya itu, kebobrokan moral ini juga
melibatkan peran Tim Sukses yang terdiri dari guru, kepala sekolah, serta pengawas.
(Kompas.com)
Belum lagi hasil monitoring ujian nasional 2007/2008 yang
dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW). Beberapa kasus sangat miris dalam
dunia pendidikan berhasil diungkap. Misalnya kasus yang terjadi di Batam, soal
ujian matematika telah beredar sehari sebelum pelaksanaan UN. Di Lubuk Pakam,
Deli Serdang, Sumatera Utara, 16 Guru serta Kepala Sekolah ditangkap Detasemen
Khusus (Densus) 88 ketika memperbaiki jawaban murid. (Tempo.com)
Dan masih
banyak lagi kasus serupa. Baik yang tertangkap polisi, yang berhasil
bersembunyi, atau bahkan sengaja tidak diurusi. Baik yang terekspos media,
ataupun kasus yang menguap begitu saja.
Di sini kiranya, menyemai niat baik ketika belajar di
pesantren amat dibutuhkan. Seandainya kita tidak bisa meneladani kebaikan ulama
terdahulu, minimal kita bisa terhindar dari keburukan masa kini yang makin
menjadi-jadi.
Oleh: M. Muhsin Bahri
Guru Tugas Wajib PP. Sidogiri,
Pasuruan.
0 komentar:
Posting Komentar