(Tab Widget 2)

Minggu, 26 Februari 2017

NYANTRI, SALAH NIAT FATAL AKIBAT (ASCHAL Edisi 16)



Sebuah Renungan Bagi Para Santri
Nyantri, Salah Niat Fatal Akibat
Terkadang , masih ada sebagian santri yang salah menyemai niat di relung hati. "Yang penting aku hidup di pesantren, sudah pasti dapat ridlo dan berkah kyai”. Tanpa ijtihad yang menggelegar. Tanpa semangat yang berkobar. Tanpa pengabdian yang mendasar. Sehingga benih yang ditanampun tumbuh tak sesuai harapan.
Ingat! Niat adalah otak dari segala aktivitas manusia. Baik- buruk suatu pekerjaan tergantung pada niat yang ditanam. Makan bisa berpahala, bila diniati agar kuat beribadah pada Allah `Azza Wajalla. Namun bisa pula diintai dosa, bila diniati durhaka kepadaNya. “Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesunggunya bagi setiap orang (akan mendapatkan) apa-apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari).
Bagi seorang santri, niat yang baik sangatlah penting. Niat baik akan menjadi guide (pemandu) dalam wisata keilmuannya selama di pesantren. Niat yang baik akan membimbing kemana dia harus melangkah, apa yang perlu dibawa, serta apa yang harus dia tinggalkan. Sehingga tidak banyak waktu terbuang percuma. Apalagi nyasar entah kemana.
Dengan niat yang baik, seorang santri bisa menikmati indahnya aktivitas thalabul ilmi. Mereka merasa seperti berada di sebuah taman Firdaus nan indah. Mereka yakin, setiap detik dari perputaran bumi, para malaikat membentangkan sayap menaungi mereka. Semua penghuni langit dan bumi sibuk memohonkan ampunan bagi mereka. Termasuk ikan dilautan, dan semut-semut di lubang persembunyiannya. (al-Hadist)
“Bagaimana niat yang baik?” suatu ketika Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab, “Niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah dengan benar, dan untuk mengajari yang lainnya”. Ya, begitulah cara kita menanamkan niat ketika belajar di pesantren. Niat belajar untuk ibadah, atau untuk mengajarkan kembali pada orang lain.
Syekh Az-Zarnuji menambahkan, di antara niat yang baik dalam belajar adalah, niat mencari ridlo Allah, niat agar bisa masuk surga, niat menghilangkan kebodohan, serta niat menghidupkan agama Allah, karena Islam bisa hidup bila umat Islam memiliki ilmu.
Jangan sampai salah dalam mengukir niat. Nyantri di pesantren bukan hanya iseng-isengan. Perlu adanya kesungguhan dalam menentukan arah tujuannya. Bisa jadi, kehadiran kita di pesantren bukan untuk menuai barokah, melainkan comberan murka yang tumpah ruah.  Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah pernah bersabda “Barang siapa mencari ilmu untuk mengelabuhi orang bodoh, menyaingi ulama agar mendapat perhatian manusia, maka tempatnya adalah neraka”. (HR. Ibnu Majah)
Terlebih, bila nyantri hanya mencari kertas begambar “Burung Garuda”. Niat oleng yang mementingkan kehidupan dunia. Kita akan rentan mengacuhkan proses belajar yang baik dan benar. Seharusnya, nyantri digunakan sebagai media mereguk ilmu manfaat sebanyak-banyaknya. Namun bila niat salah, kita bisa gunakan segala cara demi selembar ijazah. Tidak peduli curang, manipulasi, mark up nilai, hingga membeli ijazah “aspal” (asli tapi palsu).
Ironinya, penyakit kronis seperti ini sudah tersistem dan terstruktur hampir di semua jenjang pendidikan, mulai yang berbasis umum, sampai pendidikan berbasis diniyah yang tak semestinya ikut terpuruk. Ijazah yang demikian, sangat tidak mencerminkan kompetensi kepribadian dan keilmuan pemiliknya, sehingga berdampak pada melimpahnya sumber daya manusia tidak berkualitas dan kompetitif.
Coba lihat, bagaimana nasib lima Kepala Sekolah yang berdinas di Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian karena disinyalir terlibat dalam kasus kecurangan proses Ujian Nasional Sekolah Menengah Atas dan sederajat, yang digelar 22-24 April lalu. Kelimanya adalah Kepala SMA Cokroaminoto Latimojong,  Kepala SMA Tut Wuri Handayani,  Kepala SMA Tri Dharma, Kepala SMA Abdi Pembangunan, dan Kepala SMA Kartika Candrakirana. (Tempo.com)
Lihat juga, hasil survei Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) atas pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun 2004-2013. Survei online itu menemukan bahwa kecurangan UN terjadi secara massal lewat aksi mencontek. Bukan hanya itu, kebobrokan moral ini juga melibatkan peran Tim Sukses yang terdiri dari guru, kepala sekolah, serta pengawas. (Kompas.com)
            Belum lagi hasil monitoring ujian nasional 2007/2008 yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW). Beberapa kasus sangat miris dalam dunia pendidikan berhasil diungkap. Misalnya kasus yang terjadi di Batam, soal ujian matematika telah beredar sehari sebelum pelaksanaan UN. Di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, 16 Guru serta Kepala Sekolah ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 ketika memperbaiki jawaban murid. (Tempo.com)
 Dan masih banyak lagi kasus serupa. Baik yang tertangkap polisi, yang berhasil bersembunyi, atau bahkan sengaja tidak diurusi. Baik yang terekspos media, ataupun kasus yang menguap begitu saja.
Di sini kiranya, menyemai niat baik ketika belajar di pesantren amat dibutuhkan. Seandainya kita tidak bisa meneladani kebaikan ulama terdahulu, minimal kita bisa terhindar dari keburukan masa kini yang makin menjadi-jadi.
Oleh: M. Muhsin Bahri
Guru Tugas Wajib PP. Sidogiri, Pasuruan.



0 komentar:

Posting Komentar