(Tab Widget 2)

Rabu, 01 Februari 2017

MELURUSKAN PRAKTEK KERAPAN SAPI (ASCHAL Edisi 13)


Kerapan sapi merupakan salah satu budaya yang telah mengakar kuat di pulau Madura, budaya ini telah dikenal bukan hanya di tingkat Nasional bahkan sampai tingkat Internasional. Kerapan sapi merupakan salah satu icon besar dari pulau Madura itu sendiri dan merupakan simbol kedua Madura setelah julukan pulau garam, Madura dikenal dengan pulau pusatnya budaya kerapan sapi. Namun akhir-akhir ini adanya kerapan sapi menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat Madura sendiri, pasalnya ada yang menilai bahwa kerapan sapi tidak selaras dengan ril-ril agama, berikut petikan wawancara Sutrisno Farizy_NH dan Abd.Rahman el Barbazy wartawan dari majalah Aschal dengan KH.A. Djauhari Aris Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah Langkap Burneh, Ketua STIDHI Burneh. Salah satu Ulama Madura yang dikenal ramah dan kreatif yang telah banyak menulis beberapa buku yang telah tersebar di Madura dan Jawa ini. Terkait adanya pro dan kontra budaya kerapan sapi.

Bagaimana stateman Bapak Kiyai mengenai adanya budaya kerapan sapi yang telah menjadi simbol dari pulau Madura ini ?
Alhamdulillah, sebenarnya mengenai budaya kerapan sapi saya pribadi sangat menyukainya,bahkan semenjak saya masih kecil karena memang merupakan salah satu budaya orang Madura, akan tetapi yang saya tidak suka dari adanya kerapan sapi tersebut, karena adanya muatan-muatan yang terdapat dalam kerapan sapi itu sendiri, diantaranya pertama, adanya kerapan sapi yang dibuat lahan (totoan,red Mdr) perjudian. Kedua, sapi-sapi itu terlalu dimanjakan melebihi istri mereka seperti pemberian telur dan susu yang berlebihan diberikan setiap pagi bagi sapi kerapan. Pernah suatu ketika saya bertanya pada salah satu pemilik sapi kerapan mengenai kocek yang harus dikeluarkan untuk perawatan sapi-sapi kerapan yang melebihi dari biaya belanja rumah tangga. Ketiga, kerapan apa saja itu tidak ada dalam syariat Islam kecuali kerapan kuda, itupun caranya bukan seperti kerapan kuda yang sekarang yang untuk menghilangkan haram itu harus ada orang ketiga yang menyelat-nyelati diantara mereka.
Lantas seperti apa penilaian agama sendiri mengenai adanya budaya kerapan sapi ?
Ya, itu tadi dek sudah saya tuturkan bahwa dalam pandangan Islam yang namanya segala jenis pacuan atau kerapan itu tidak ada selain kerapan kuda. Kerapan kuda itu ada memang manjadi salah satu alat berperang yang baik pada masa dulu, kalau sekarang itu ibarat pesawat tempur, kapal perang, tank dan sejenisnya. Bahkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW diterangkan orang yang memelihara kuda sama halnya orang yang berada dalam memperjuangkan agama Allah (fisabilillah) dan kelak kotoran dan kencingnya kuda akan ditimbang menjadi amal yang baik disisi Allah bagi mereka.begitu juga dengan memanah. Jadi intinya yang namanya kerapan sapi dalam pandangan Islam itu memang tidak ada.
Seandainya boleh, sejauh mana aturan yang baik dalam kerapan sapi ?
Sebenarnya (kerapan sapi) boleh, akan tetapi kita harus tepat meletakkan aturan mainnya seperti hal-hal yang dilarang agama itu ditiadakan contohnya perjudian, memanjakan sapi sampai melebihi biaya penghidupan orang yang mempunyainya, menyiksa sapi yang akan dikerap dengan cara melukai dengan roton dan paku yang untuk menggores sapi biar cepat larinya dan sebagainya. Dan saya sangat setuju dengan pendapat pak Gubernur yang mengatakan kerapan sapi “Tanpa kekerasan”. Jadi seandainya dari kesemuannya itu dihilangkan yang menjadikan kerapan sapi itu tidak diperbolehkan, maka nantinya yang tidak boleh akan menjadi boleh. Kita ambil contoh permainan bliard yang hampir dari keseluruhannya memakai taruhan. Seandainya, seperti permainan bliard yang ada di pesantren yang dimana disitu tanpa taruhan dan judi maka hukumnya boleh. Dulu pernah ada salah satu teman saya berasal dari Arosbaya tepatnya desa Karangduwe.Dia ingin pergi haji akan tetapi dia tidak punya ongkos untuk naik haji, maka dia mensiasati dengan membeli sapi di pasar yang harganya relatif murah, kemudian sama dia diajarkan, dilatih untuk menjadi sapi kerapan.Setelah itu dikerap dan ternyata menang, kemudian sama dia dijual dengan harga yang mahal karena sudah menjadi sapi kerap yang cepat. Ongkosnya oleh dia dijadikan naik haji setelah naik haji dia berhenti. Maka insya Allah hal yang semacam itu diperbolehkan oleh agama.

Apakah tidak ada himbauan tegas dari para Ulama atau para tokoh mengenai adanya praktek kerapan sapi yang menyelenceng dari norma-norma agama?
Saya kira kesemuanya Ulama memang tidak kuasa langsung mencegah secara jelas, namun saya yakin para Ulama ada yang melakukannya secara bathin, terkadang dengan doa-doa dimana nantinya praktek kerapan sapi yang melenceng ini dapat dihilangkan. Dan adakalanya dengan menata lapangan dengan sekian rupa yang nantinya akan adanya perselisihan yang ujung-ujungnya dibubarkan.
Sebenarnya Pak Kiyai apa yang menjadi tujuan inti dari adanya kerapan sapi ini?
Ya, itu dek melestarikan budaya, dan memperkenalkannya lebih luas, dulu ketika saya waktu mondok di Sidogiri pernah ada kerapan sapi di Pasuruan tepatnya di lapangan Kejayaan, ketika saya tanya dari mana didapat sapi-sapi kerapan tersebut, mereka menjawab itu semua didatangkan dari Madura. Begitu juga dengan yang ada di Jakarta pernah dulu ada kerapan sapi ketika saya kesana ternyata sama, sapi-sapi kerapan tersebut  juga didatangkan dari Madura. Jadi memang adanya kerapan sapi memang asli produk Madura, belum pernah saya menemukan kerapan sapi yang pelakunya dari daerah selain Madura.

Andaikata praktek budaya kerapan sapi sekarang sudah melenceng dari syariat agama, perlukah menghilangkan kerapan sapi yang sudah membudaya ini?
Tidak perlu dihilangkan akan tetapi diarahkan dan ditata kembali adanya praktek dalam kerapan sapi agar selaras dengan ril-ril agama.Seperti menghilangkan (totoan : red Mdr) taruan, perjudian, perawatan yang berlebihan melebihi biaya hidup orangnya, dan juga penyiksaan kepada sapi tersebut. Ketika tikus menguasai lumbung padi dan kita ingin menyelamati lumbung padi tersebut kita tak perlu membakar dengan lumbung padinya, kita cukup membakar tikus-tikusnya saja seperti itu juga yang ada pada kerapan sapi kita tak perlu menghilangkannya bahkan menghapusnya. Kita arahkan dan tata kembali dengan menghapus unsur-unsur keharamannya.  Dan ketika sudah tidak ada hal-hal yang menyebabkan tidak diperbolehkannya, maka nantinya menjadi hal yang perlu dilestarikan.

Bagaimana dengan suatu kaidah “ Al  adat al muhakkamah “ suatu kebiasaan yang sudah mentradisi dapat dijadikan suatu hukum jika dibenturkan dengan adanya praktek kerapan sapi pada saat ini?
Memang pada umumnya jika suatu permasalahan tidak ditemukan dalam al Quran atau Hadits Nabi, maka dikembalikan pada adat atau kebiasaan yang sudah membudaya, namun adanya itu semua jika tidak bertentangan dengan hukum syara (Mukholifus al Syar’i). Ketika nanti adanya adat tersebut bertentangan dengan syara maka tidak bisa dijadikan tinjauan hukum. Seperti contoh tadi dek, bliard ketika disana memang tidak ada hal-hal yang menyebabkan keharamannya maka sah-sah saja memainkannya.
Akhir-akhir ada beberapa fakta aksi protes kalangan pecinta kerapan sapi terkait keputusan Gubernur Jawa Timur yang mengatakan kerapan sapi ‘tanpa kekerasan’, bagaimana respon Kiai mengenai hal itu?
Kalau saya pribadi sangat mendukung keputusan Bapak Gubernur Jawa Timur mengenai hal itu, karena saya menilai adanya keputusan tersebut sudah 25% mengurangi unsur keharaman yang ada dalam praktek kerapan sapi pada saat ini dengan tidak menyiksa sapi-sapi yang akan dikerap.
Sebenarnya pro dan kontra mengenai hal itu sudah terjadi semenjak dulu apa muncul baru-baru ini?
Sebetulnya pro dan kontra  terkait adanya kerapan sapi tanpa kekerasan itu dikembalikan kepada diri masing-masing, karena sebagian yang mengatakan tidak setuju itu beralasan, nanti ketika tanpa disertai kekerasan sapi-sapi mereka tidak akan lari kencang.Dan juga sebagian yang setuju dengan keputusan tersebut seperti para Ulama beralasan agar dapat mengurangi unsur keharamannya. Dan memang adanya pro dan kontra mengenai hal itu memang sudah ada mulai dari dulu.
Harapan Bapak Kiyai sendiri kepada masyarakat mengenai adanya budaya kerapan sapi?

Mari tetap kita lestarikan budaya Madura ini akan tetapi hilangkanlah muatan-muatan atau unsur-unsur  yang menjadikan ketidak bolehan tersebut. Dan saya sangat menghargai jikalau nanti ada pendapat yang mengatakan diperbolehkan secara mutlak, karena seperti Hadits Nabi SAW “Khilafu ummati rahmatun “ perbedaan pendapat umat Nabi Muhammad adalah menjadi suatu rahmat.Dan saya pribadi meminta maaf jika ada kesalahan dalam pernyataan ini.

0 komentar:

Posting Komentar