Kerapan sapi merupakan salah satu budaya
yang telah mengakar kuat di pulau Madura, budaya ini telah dikenal bukan hanya
di tingkat Nasional bahkan sampai tingkat Internasional. Kerapan sapi merupakan
salah satu icon besar dari pulau Madura itu sendiri dan merupakan simbol
kedua Madura setelah julukan pulau garam, Madura dikenal dengan pulau pusatnya
budaya kerapan sapi. Namun akhir-akhir ini adanya kerapan sapi menuai pro dan
kontra di kalangan masyarakat Madura sendiri, pasalnya ada yang menilai bahwa
kerapan sapi tidak selaras dengan ril-ril agama, berikut petikan wawancara Sutrisno
Farizy_NH dan Abd.Rahman el Barbazy wartawan dari majalah Aschal
dengan KH.A. Djauhari Aris Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah
Langkap Burneh, Ketua STIDHI Burneh. Salah satu Ulama Madura yang dikenal ramah
dan kreatif yang telah banyak menulis beberapa buku yang telah tersebar di
Madura dan Jawa ini. Terkait adanya pro dan kontra budaya kerapan sapi.
Bagaimana stateman Bapak Kiyai mengenai
adanya budaya kerapan sapi yang telah menjadi simbol dari pulau Madura ini ?
Alhamdulillah, sebenarnya mengenai budaya
kerapan sapi saya pribadi sangat menyukainya,bahkan semenjak saya masih kecil
karena memang merupakan salah satu budaya orang Madura, akan tetapi yang saya
tidak suka dari adanya kerapan sapi tersebut, karena adanya muatan-muatan yang
terdapat dalam kerapan sapi itu sendiri, diantaranya pertama, adanya
kerapan sapi yang dibuat lahan (totoan,red Mdr) perjudian. Kedua, sapi-sapi
itu terlalu dimanjakan melebihi istri mereka seperti pemberian telur dan susu
yang berlebihan diberikan setiap pagi bagi sapi kerapan. Pernah suatu ketika
saya bertanya pada salah satu pemilik sapi kerapan mengenai kocek yang harus
dikeluarkan untuk perawatan sapi-sapi kerapan yang melebihi dari biaya belanja
rumah tangga. Ketiga, kerapan apa saja itu tidak ada dalam syariat Islam
kecuali kerapan kuda, itupun caranya bukan seperti kerapan kuda yang sekarang
yang untuk menghilangkan haram itu harus ada orang ketiga yang menyelat-nyelati
diantara mereka.
Lantas seperti apa penilaian agama sendiri
mengenai adanya budaya kerapan sapi ?
Ya, itu tadi dek sudah saya tuturkan bahwa
dalam pandangan Islam yang namanya segala jenis pacuan atau kerapan itu tidak
ada selain kerapan kuda. Kerapan kuda itu ada memang manjadi salah satu alat
berperang yang baik pada masa dulu, kalau sekarang itu ibarat pesawat tempur,
kapal perang, tank dan sejenisnya. Bahkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW
diterangkan orang yang memelihara kuda sama halnya orang yang berada dalam
memperjuangkan agama Allah (fisabilillah) dan kelak kotoran dan
kencingnya kuda akan ditimbang menjadi amal yang baik disisi Allah bagi mereka.begitu
juga dengan memanah. Jadi intinya yang namanya kerapan sapi dalam pandangan
Islam itu memang tidak ada.
Seandainya boleh, sejauh mana aturan yang
baik dalam kerapan sapi ?
Sebenarnya (kerapan sapi) boleh, akan
tetapi kita harus tepat meletakkan aturan mainnya seperti hal-hal yang dilarang
agama itu ditiadakan contohnya perjudian, memanjakan sapi sampai melebihi biaya
penghidupan orang yang mempunyainya, menyiksa sapi yang akan dikerap dengan
cara melukai dengan roton dan paku yang untuk menggores sapi biar cepat larinya
dan sebagainya. Dan saya sangat setuju dengan pendapat pak Gubernur yang
mengatakan kerapan sapi “Tanpa kekerasan”. Jadi seandainya dari
kesemuannya itu dihilangkan yang menjadikan kerapan sapi itu tidak
diperbolehkan, maka nantinya yang tidak boleh akan menjadi boleh. Kita ambil
contoh permainan bliard yang hampir dari keseluruhannya memakai taruhan.
Seandainya, seperti permainan bliard yang ada di pesantren yang dimana disitu
tanpa taruhan dan judi maka hukumnya boleh. Dulu pernah ada salah satu teman
saya berasal dari Arosbaya tepatnya desa Karangduwe.Dia ingin pergi haji akan
tetapi dia tidak punya ongkos untuk naik haji, maka dia mensiasati dengan
membeli sapi di pasar yang harganya relatif murah, kemudian sama dia diajarkan,
dilatih untuk menjadi sapi kerapan.Setelah itu dikerap dan ternyata menang,
kemudian sama dia dijual dengan harga yang mahal karena sudah menjadi sapi
kerap yang cepat. Ongkosnya oleh dia dijadikan naik haji setelah naik haji dia
berhenti. Maka insya Allah hal yang semacam itu diperbolehkan oleh agama.
Apakah tidak ada himbauan tegas dari para
Ulama atau para tokoh mengenai adanya praktek kerapan sapi yang menyelenceng
dari norma-norma agama?
Saya kira kesemuanya Ulama memang tidak
kuasa langsung mencegah secara jelas, namun saya yakin para Ulama ada yang
melakukannya secara bathin, terkadang dengan doa-doa dimana nantinya praktek
kerapan sapi yang melenceng ini dapat dihilangkan. Dan adakalanya dengan menata
lapangan dengan sekian rupa yang nantinya akan adanya perselisihan yang
ujung-ujungnya dibubarkan.
Sebenarnya Pak Kiyai apa yang menjadi
tujuan inti dari adanya kerapan sapi ini?
Ya, itu dek melestarikan budaya, dan
memperkenalkannya lebih luas, dulu ketika saya waktu mondok di Sidogiri pernah
ada kerapan sapi di Pasuruan tepatnya di lapangan Kejayaan, ketika saya tanya
dari mana didapat sapi-sapi kerapan tersebut, mereka menjawab itu semua
didatangkan dari Madura. Begitu juga dengan yang ada di Jakarta pernah dulu ada
kerapan sapi ketika saya kesana ternyata sama, sapi-sapi kerapan tersebut juga didatangkan dari Madura. Jadi memang
adanya kerapan sapi memang asli produk Madura, belum pernah saya menemukan
kerapan sapi yang pelakunya dari daerah selain Madura.
Andaikata praktek budaya kerapan sapi
sekarang sudah melenceng dari syariat agama, perlukah menghilangkan kerapan sapi
yang sudah membudaya ini?
Tidak perlu dihilangkan akan tetapi
diarahkan dan ditata kembali adanya praktek dalam kerapan sapi agar selaras
dengan ril-ril agama.Seperti menghilangkan (totoan : red Mdr) taruan,
perjudian, perawatan yang berlebihan melebihi biaya hidup orangnya, dan juga penyiksaan
kepada sapi tersebut. Ketika tikus menguasai lumbung padi dan kita ingin
menyelamati lumbung padi tersebut kita tak perlu membakar dengan lumbung
padinya, kita cukup membakar tikus-tikusnya saja seperti itu juga yang ada pada
kerapan sapi kita tak perlu menghilangkannya bahkan menghapusnya. Kita arahkan
dan tata kembali dengan menghapus unsur-unsur keharamannya. Dan ketika sudah tidak ada hal-hal yang
menyebabkan tidak diperbolehkannya, maka nantinya menjadi hal yang perlu
dilestarikan.
Bagaimana dengan suatu kaidah “ Al adat al muhakkamah “ suatu kebiasaan yang
sudah mentradisi dapat dijadikan suatu hukum jika dibenturkan dengan adanya
praktek kerapan sapi pada saat ini?
Memang pada umumnya jika suatu permasalahan
tidak ditemukan dalam al Quran atau Hadits Nabi, maka dikembalikan pada adat
atau kebiasaan yang sudah membudaya, namun adanya itu semua jika tidak
bertentangan dengan hukum syara (Mukholifus al Syar’i). Ketika
nanti adanya adat tersebut bertentangan dengan syara maka tidak bisa dijadikan
tinjauan hukum. Seperti contoh tadi dek, bliard ketika disana memang tidak ada
hal-hal yang menyebabkan keharamannya maka sah-sah saja memainkannya.
Akhir-akhir ada beberapa fakta aksi protes
kalangan pecinta kerapan sapi terkait keputusan Gubernur Jawa Timur yang
mengatakan kerapan sapi ‘tanpa kekerasan’, bagaimana respon Kiai mengenai hal
itu?
Kalau saya pribadi sangat mendukung
keputusan Bapak Gubernur Jawa Timur mengenai hal itu, karena saya menilai
adanya keputusan tersebut sudah 25% mengurangi unsur keharaman yang ada dalam
praktek kerapan sapi pada saat ini dengan tidak menyiksa sapi-sapi yang akan
dikerap.
Sebenarnya pro dan kontra mengenai hal itu
sudah terjadi semenjak dulu apa muncul baru-baru ini?
Sebetulnya pro dan kontra terkait adanya kerapan sapi tanpa kekerasan
itu dikembalikan kepada diri masing-masing, karena sebagian yang mengatakan
tidak setuju itu beralasan, nanti ketika tanpa disertai kekerasan sapi-sapi
mereka tidak akan lari kencang.Dan juga sebagian yang setuju dengan keputusan
tersebut seperti para Ulama beralasan agar dapat mengurangi unsur keharamannya.
Dan memang adanya pro dan kontra mengenai hal itu memang sudah ada mulai dari
dulu.
Harapan Bapak Kiyai sendiri kepada masyarakat
mengenai adanya budaya kerapan sapi?
Mari tetap kita lestarikan budaya Madura
ini akan tetapi hilangkanlah muatan-muatan atau unsur-unsur yang menjadikan ketidak bolehan tersebut. Dan
saya sangat menghargai jikalau nanti ada pendapat yang mengatakan diperbolehkan
secara mutlak, karena seperti Hadits Nabi SAW “Khilafu ummati rahmatun “
perbedaan pendapat umat Nabi Muhammad adalah menjadi suatu rahmat.Dan saya
pribadi meminta maaf jika ada kesalahan dalam pernyataan ini.
0 komentar:
Posting Komentar