Konsep
Mempunyai Anak Shaleh & Ketauladanan Nabi Ismail
Oleh:
Moh Ali Ghafir Addulkarimani*
Maha Besar Allah SWT yang telah menciptakan makhluk-Nya dengan beraneka
macam. Makhluk yang berakal dan yang tak berakal, laki-laki dan perempuan, yang
shaleh dan yang thaleh (yang jelek), dan banyak lagi macamnya. Ada surga yang diperuntukkan untuk makhluk
yang taat dan neraka diciptakan bagi yang durhaka pada-Nya. Maha Kuasa Dzat
yang telah memberikan anak dan keturunan yang mukmin yang shaleh dan kafir. Nabi
Adam alaihissalam yang berpangkat Nabi telah diberikan anak Qabil yang
tergolong orang yang kafir, Kan’an putra Nabi Nuh alaihissalam ditakdirkan
menjadi orang yang kufur. Azar ayahanda dari Nabi Ibrahim alaihissalam
merupakan pembesar dan tokoh agama bagi orang yang menyembah berhala, namun
anaknya menjadi salah satu Nabi Allah SWT. Semua orang pasti mendambakan mempunyai
anak dan keturunan yang baik, membahagiakan, serta bermanfaat dan berkah. Karena
calon-calon generasi muda yang baik akan menjadi pilar utama dalam menuju pintu
kesuksesan sebuah bangsa, sebagaimana ungkapan sastrawan Syaikh Musthafa
al-Ghalayaini, “Sesungguhnya ditanganmulah (kesuksesan) sebuah bangsa.” Banyak cara yang dilakukan para nabi dan
shalihin untuk memperoleh anak dan generasi muda yang qurratu a’yun (membikin
kalbu bahagia). Mereka berusaha melalui taqarrub kepada Allah SWT (ibadah
dan doa), pendidikan, nasehat-nasehat dan lainnya. Nabi Adam alaihissalam
pada saat akan meninggalkan dunia yang fana ini, ia mengajari putra kesayangannya
Nabi Syits alaihissalam tentang eksistensi dan kegunaan waktu siang dan
malam. Mengajari cara-cara ibadah untuk memanfaatkan waktu-waktu tersebut serta
ia telah memberitahu pada Nabi Syits alaihissalam bahwa akan terjadi
tufan yang melanda umat. Dengan didikan yang mulia ini putranya menjadi salah
satu nabi Allah SWT. Lain lagi cara yang dilakukan oleh Nabi Zakaria alaihissalam
untuk mempunyai anak yang shaleh harus berusaha dengan maksimal. Ia sangat lama
yang akan diberi keturunan oleh Allah SWT, namun tidak henti-hentinya selalu taqarrub
dan berdoa pada Sang Maha Pencipta itu SWT. “Anugerahilah aku dari sisi
Engkau seorang putra yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga
Ya’qub, dan jadikanlah ia, ya Tuhanku seorang yang diridhai,” (QS; Maryam:
5-6). Itulah doa Nabi Zakaria alaihissalam yang selalu dilantunkan
kepada Sang Maha Kuasa. Doa dan taqarrub ini selalu dijalankan dengan tekun dan tak
mengenal putus asa. Ada sebagian riwayat mengatakan bahwa ia baru diberi
keturunan seorang putra yang bernama Yahya setelah berdoa selama empat puluh
tahun, dan ada yang berpendapat selama enam puluh tahun. Setelah mendapat
informasi bahwa ia akan diberi anak yang bernama Yahya alaihissalam, ia
keluar ke Mihrabnya (tempat ibadah) dan menyuruh kepada umatnya untuk
selalu bertasbih pada waktu pagi dan sore sebagai tanda bersyukur dan mendoakan
sicabang bayi sebagai calon generasi muda yang tangguh itu. Berkat doa dan ketekunannya
dalam beribadah maka Nabi Yahya alaihissalam sebagai putra Nabi Zakaria alaihissalam
menjadi anak yang shaleh dan taat kepada Allah SWT, dan tidak pernah
berinisiatif untuk melakukan dosa apalagi mengerjakannya.
Maryam ibunda Nabi Isa alaihissalam menjadi orang yang taat
kepada Allah SWT, ia selalu bersujud dan rukuk (shalat) menyembah Sang Pencipta
Allah SWT. Bahkan Malaikat Jibril memberi info padanya bahwa ia telah dipilih
dan disucikan oleh Allah SWT. Dengan memperbanyak ibadah dan selalu mensucikan
diri dari dosa, maka ia diberi seorang putra yang penjadi orang yang shaleh dan
diangkat nabi oleh Allah SWT. Nabi Isa alaihissalam adalah seorang nabi
yang memang diciptakan oleh Allah SWT tanpa mempunyai seorang ayah. Orang
shaleh yang bernama Lukman radhiyallahu anhu selalu memberi nasehat
kepada putranya yang bernama An’am. Ia berpesan agar tidak menjadi orang yang
menyekutukan Allah SWT, selalu tekun melakukan shalat, menegakkan amar
ma’ruf dan nahi mungkar, serta selalu bersabar dalam menghadapi
malapetaka yang menimpa. Dan ia mengajari etika yang baik, santun dalam ucapan
dan sopan dalam tingkah lakunya. Sahabat Abu Bakar radhiyallahu anhu
selalu berdoa, “Wa ashlih li fi dzurriyyati (shalihkanlah keturunan aku).” (QS;
Al-Ahqaf: 15) Ia telah berhasil mendidik semua pura-putrinya,
sehingga mereka memeluk agama yang dibawa oleh Kanjeng Rasul shallahu alaihi
wa sallam dengan tulus. Bahkan kedua orang tuanya menjadi pemeluk agama
Islam yang tidak pernah terjadi dan dialami oleh para sahabat yang lain. Nabi
Ibrahim alaihissalam selalu berdoa kepada Allah SWT agar mempunyai
keturunan yang shaleh. “Rabbi hab li mi al-Shalihiin (Ya Tuhan, berikan
padaku anak yang shaleh),” (QS; Al-Shaffat: 100) itulah doa
Nabi Ibrahim alaihissalam setiap saat. Selain itu, doa yang selalu
dilantunkan adalah, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan keturunanku menjadi
orang yang tekun melakukan shalat, wahai Tukan kami, terimalah doa ini. Wahai
Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan semua orang mukmin.” (QS;
Ibrahim: 40) Nabi Ibrahim alaihissalam selalu tekun berdoa kepada
Allah SWT dan baru dikaruniai seorang anak yang bernama Ismail alaihissalam
setelah berumur seratus tujuh belas tahun. Menurut versi Ibnu Abbas ia
dikaruniai Ismail alaihissalam setelah berumur sembilan puluh sembilan
tahun dan diberi anak yang bernama Ishaq alaihissalam pada usia seratus
dua belas tahun.
Dalam beberapa catatan referensi sejarah dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim
alaihissalam mempunyai banyak keturunan. Dari istri pertamanya yang
bernama Sarah mempunyai putra yang benama Ishaq. Sebelum Ishaq kecil dilahirkan
dari ibunya Sarah, Ismail telah lahir tiga belas tahun yang lalu. Ibu dari
Ismail adalah Hajar al-Qibtiyah al-Mishriyah, ia menjadi istri Nabi
Ibrahim alaihissalam dengan restu dan pemberian istri pertamanya yang
bernama Sarah. Dari istrinya yang bernama Qanthura, Ibrahim dikaruniai anak
sebanyak enam, sedangkan Hajun setelah dikawininya mempunyai anak lima. Kitab
sejarah sangat pelit menginformasikan nama-nama anak tersebut. Dari sekian
banyak anak yang ada, anak yang terkenal dan termulia adalah Ismail dan Ishaq,
karena kedua orang ini diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah SWT.
Nabi Ismail bin Ibrahim merupakan salah satu putra Ibrahim yang banyak
mempunyai sifat-sifat yang mulia yang termaktub dalam al-Qur’an. Hal ini tidak
lepas dari taqarrub ayahnya Ibrahim melalui ibadah, pendidikan yang
diberikan, dan doa kepada Allah SWT semata. Dialah seorang penyabar, bersifat halim,
sifat ini diekspresikan pada saat sang ayahnya melaksanakan perintah
penyembelihan. Demi sam’an wa tha’atan kepada Allah SWT dan orang tuanya
dia langsung mengatakan, “Ya abati if’al maa tu’maru (wahai ayahku, laksanakanlah
sesuatu yang diperintahkan!)”. Dilihat
dari ilmu gramatika Arab, sighat if’al (kerjakanlah) merupakan bentuk
amar yang makna hakikinya adalah perintah dan wajib. Ucapan ini menjadi indikator
bahwa Ismail kecil sangat menyetujui dan taat menjalankan perintah Allah SWT
dan ayahnya. Yang tidak boleh terlupakan, sebelum ayahnya melaksanakan perintah
suci itu, Ismail berwashiyat pada ayahnya. Pertama: “Kuatkan tali yang
dibuat mengikatku, agar aku tidak dapat bergerak!” Pesan ini sangatlah
berarti, karena menunjukkan ke-tawakkal-annya, dan sifat taat yang memuncak. Kedua:
“Hindari bajumu dari percikan darahku, khawatir menjadi penyebab berkurangnya
pahalaku, dan takut terlihat ibu akhirnya ia merasa duka yang mendalam!” Dari
ungkapan ini terlihat sifat sopan Ismail yang tidak ingin menyakitkan sang ayah
atau orang lain karena bajunya kotor, dan tidak mau membuat sang ibu duka
terlalu lama, selain itu ia tidak ingin amalnya tersia-sia dan tidak mengandung
pahala. Ketiga: “Tajamkanlah pisaumu, dan percepat jalannya di tenggorokanku
agar aku cepat mati!” Secara tidak
langsung, ungkapan ini menjadi pelajaran bagi kita, agar tidak menyiksa hewan
sembelihan dengan cara pisaunya ditajamkan, dan Ismail berkeinginan perintah
suci ini cepat selesai dilaksanakan. Keempat: “Apabila Anda bertemu
ibu, sampaikanlah salamku!” Doa sang ibu sangat berharga bagi Ismail,
biarpun dirinya sudah meninggalkannya untuk selamanya, namun doa orang tua
diharapkan terus berlanjut sebagaimana ia masih hidup. Kelima: “Apabila Anda
ingin mengembalikan pakainku pada ibu, lakukanlah, barangkali hal itu menjadi
media baginya untuk melupakanku!” Kata-kata ini sangat menyentuh pada hati,
umpama Ismail sudah tiada dan meninggalkan orang tua selamanya, pada suatu saat
sang ayah dan ibu merindukannya, dapat melepas ingatan dan kerinduan dengan cara
melihat baju peninggalannya.
Seorang putra al-Kholil yang diberi gelar ghulam halim dalam
kitab al-Qur’an merupakan sosok seorang yang mempunyai peninggalan yang sangat
bersejarah. Dialah orang pertama kali yang dapat meluluhkan kuda dan dapat
dibuat alat transportasi yang semula tergolong hewan gesit dan buas. Sebagaimana
yang telah disabdakan oleh Kanjeng Rasul yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Umar, “Ambillah kuda itu dan tahanlah (peliharalah)! Karena kuda itu adalah
peninggalan bapakmu Ismail.” Pada usia empat belas tahun Ismail kecil sudah
bisa berkomunikasi dengan bahasa Arab fushha dan balighah. Dan
dialah yang pertama kali menggunakan bahasa yang fushha itu. Ismail
dikaruniai dua belas putra dari istrinya yang bernama Sayyidah binti Madhadh
bin Amrin. Beliau wafat dalam usia 137 tahun dan dikuburkan dekat ibunya Hajar
di Desa Hajar. Wallahu a’lam.
*Penulis
adalah Dosen STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan
0 komentar:
Posting Komentar