(Tab Widget 2)

Selasa, 14 Februari 2017

DEMOKRASI MILIK KALANGAN ELIT (ASCHAL Edisi 15)


DEMOKRASI MILIK KALANGAN ELIT
Oleh Amin Makmun al-Makky
Untukmu yang duduk  sambil diskusi untukmu yang biasa bersafari di sana, di gedung DPR, wakil rakyat kupulan orang hebar bukan kumpulan teman teman dekat apalagi sanak famili dihati dan lidahmu kami berharap suara kami tolong dengar lalu sampaikan jangan ragu jangan takut karang menghadang bicaralah yang yang lantang jangan hanya diam ( Iwan Fals)
Lirik lagu ini selalu terdengar dihati penyeru keadilan, keadilan yang merata tanpa pandang bulu.  kesejahteraan yang memihak pada rakyat kecil, pembangunan kesejahteraan yang merata lebih dari itu. demokrasi yang seharusnya lebih memperlakukan rakyat secara sederajat Demokrasi tidak sebatas pemilu yang bebas dan adil, hal ini selalalu diharapkan rakyat terhadap wakil wakilnya di senayan tanpa henti, perhelatan pesta demokrasi selalu dinanti, diikuti dan diamati demi menentukan pemerintah yang betul betul pemerintah.
Bangsa ini sempat marah ketika Ketua Mahkamah Konstitusi dinonaktif secara tidak hormat, Akil Mochtar ditangkap KPK. Ia diduga menerima uang suap terkait kasus sengketa pilkada. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah hilang, banyaknya wakil rakyat yang tertangkap KPK karena permasalahan korupsi hal ini sungguh merugikan bangsa dan rakyat. Banyaknya korusi di tangan tangan pemimpin bangsa ini tidak lain perubahan sistem pemilihan legislatif pada suara terbanyak.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan perubahan sistem Pemilu legisltatif dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka. tidak lagi melihat kapabilitas figur calon, tetapi asal mendapatkan suara terbanyak maka dia yang berhak duduk menjadi wakil rakyat. Strategi kampanye calon legislator sangat menentukan untuk dapat dipilih. Putusan ini berdampak terhadap demokrasi tidak sehat. Banyaknya orang yang berduit berlomba lomba terlibat dalam pesta demokrasi ini demi bangga banggan semata bukan untuk menciptakan perubahan terhadap rakyat kecil, sehingga hilanglah figur dari kontes demokrasi tersebut yang memang betul betul terbangun dari hati nurani rakyat
Demokrasi ini menciptakan ketidaksetaraan kandidat yang punya uang dan tak punya uang. Orang tidak lagi dipandang sederajat dalam politik karena tidak terciptanya demokrasi yang sesungguhnya Akhirnya, status orang dalam politik tidaklah dipandang berdasarkan kemampuan dan keahliannya berpolitik. Akan tetapi, kebanyakan politisi dipandang dari segi kemampuan dananya.
Apakan pesta demokrasi pemilu 2014 milik bangsa ini, milik rakyat. Atau milik orang elit yang berduit yang hanyalah sarana untuk mengembangkan atau sekedar mempertahankan kekayaan mereka. Yang sama sekali tak peduli dengan penderitaan rakyat banyak. Pertanyaan ini selalu menadi buah bibir masyarakat umum yang tidak puas terhadap pemerintah, terhadap wakil wakilnya yang duduk di senanyan Mengingat, kualitas demokrasi Indonesia diragukan menghasilkan pemimpin yang kapabel karena bersumber dari hasil proses pragmatisme politik.yang tidak ladi memandang Ketokohan kemampuannya seorang pemimpin saat ini.
Oleh karenanya, muncul fenomena baru,  pemilik modal yang bermodel dalam Pemilu menjadi hal yang lumrah ditemui dalam Pemilu Legislatif. Kebanyakan dari mereka memandang Pemilu adalah ajang kontestasi ketimbang kompetisi.Kekuataan modal memungkinkan mereka untuk memiliki akses lebih banyak pada media massa dan menciptakan ruang ruang ketidak adilan dan kecurangan yang selalu menjadi persoalan, pengetahuan dan keputusan dalam memilih masyarakat bukan lahir dari bertemunya harapan masyarakat tetapi lebih karena peristiwa psikologis, bahkan transaksional ada tingkatan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh calon legislator pada saat kampanye sangat besar untuk memenangkannya.  
Dengan biaya kampanye yang begitu mahal, mustahil mungkinkah rakyat diperlakukan sederajat secara politik? Juga, kalau setiap calon diharuskan menyiapkan sekoper uang untuk kampanye, tentu setiap warga negara taklagi punya hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Mahalnya demokrasi kita saat ini sangat rentan dengan plutokrasi, yaitu kekuasaan di tangan kaum kaya-raya. demokrasi  hanya membuka pintu kontestasi kepada kaum kaya. Demokrasi ini telah berubah gagasan“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” menjadi “dari Pengusaha (elit), oleh perusahaan, dan untuk pencarian keuntungan”.
Dengan mahalnya demokrasi semacam ini sulit mendatangkan kesejahteraan rakyat. Sebab, demokrasi ini hanya merepresentasikan si pemilik uang. Sedangkan posisi massa rakyat tak lebih sebagai mesin pengumpul suara, demokrasi semacam ini selalu dengan politik uang, pemilihan wakil rakyat tak lagi menjadi kontes ideologi yang selalu membela rakyat yang selalu menyarakan suara rakyat, melainkan sebagai adu kekayaan. Yang paling kaya dialah yang punya konpetisi dan memenangi konpetisi, konpetisi edeologi dan kemampuan seakan lenyap dari demokrasi bangsa ini, seakan suara tuhan tidak memihak  pada rakyat dan bangsa ini  yang selalu menyuaraka keadilan dan kemakmuran rakyat.
Bangsa ini penakut, selalu kalah dengan uang keadilan seakan sirna tanpa sisa di tanah pertiwi, kesejahteraan takbedanya imajinasi belaka. Selagi demokrasi milik orang orang elit yang berduit, maka semakin banyak orang yang tertangkap KPK, bahkan KPK di tangkap KPK, penindasan demokrasi merajalela keadilan tak pernah ada. 

0 komentar:

Posting Komentar