DEMOKRASI MILIK KALANGAN
ELIT
Oleh Amin Makmun al-Makky
Untukmu yang duduk sambil diskusi
untukmu yang biasa bersafari di sana, di gedung DPR, wakil rakyat kupulan orang
hebar bukan kumpulan teman teman dekat apalagi sanak famili dihati dan lidahmu
kami berharap suara kami tolong dengar lalu sampaikan jangan ragu jangan takut
karang menghadang bicaralah yang yang lantang jangan hanya diam ( Iwan Fals)
Lirik
lagu ini selalu terdengar dihati penyeru keadilan, keadilan yang merata tanpa
pandang bulu. kesejahteraan yang memihak
pada rakyat kecil, pembangunan kesejahteraan yang merata lebih dari itu. demokrasi
yang seharusnya lebih memperlakukan rakyat secara sederajat Demokrasi tidak
sebatas pemilu yang bebas dan adil, hal ini selalalu diharapkan rakyat terhadap
wakil wakilnya di senayan tanpa henti, perhelatan pesta demokrasi selalu
dinanti, diikuti dan diamati demi menentukan pemerintah yang betul betul
pemerintah.
Bangsa
ini sempat marah ketika Ketua Mahkamah Konstitusi dinonaktif secara tidak
hormat, Akil Mochtar ditangkap KPK. Ia diduga menerima uang suap terkait kasus
sengketa pilkada. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah hilang, banyaknya
wakil rakyat yang tertangkap KPK karena permasalahan korupsi hal ini sungguh
merugikan bangsa dan rakyat. Banyaknya korusi di tangan tangan pemimpin bangsa
ini tidak lain perubahan sistem pemilihan legislatif pada suara terbanyak.
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan perubahan sistem Pemilu legisltatif dari
sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka. tidak lagi
melihat kapabilitas figur calon, tetapi asal mendapatkan suara terbanyak maka
dia yang berhak duduk menjadi wakil rakyat. Strategi kampanye calon legislator
sangat menentukan untuk dapat dipilih. Putusan ini berdampak terhadap demokrasi
tidak sehat. Banyaknya orang yang berduit berlomba lomba terlibat dalam pesta
demokrasi ini demi bangga banggan semata bukan untuk menciptakan perubahan
terhadap rakyat kecil, sehingga hilanglah figur dari kontes demokrasi tersebut yang
memang betul betul terbangun dari hati nurani rakyat
Demokrasi
ini menciptakan ketidaksetaraan kandidat yang punya uang dan tak punya uang.
Orang tidak lagi dipandang sederajat dalam politik karena tidak terciptanya
demokrasi yang sesungguhnya Akhirnya, status orang dalam politik tidaklah
dipandang berdasarkan kemampuan dan keahliannya berpolitik. Akan tetapi,
kebanyakan politisi dipandang dari segi kemampuan dananya.
Apakan
pesta demokrasi pemilu 2014 milik bangsa ini, milik rakyat. Atau milik orang
elit yang berduit yang hanyalah sarana untuk mengembangkan atau sekedar
mempertahankan kekayaan mereka. Yang sama sekali tak peduli dengan penderitaan
rakyat banyak. Pertanyaan ini selalu menadi buah bibir masyarakat umum yang
tidak puas terhadap pemerintah, terhadap wakil wakilnya yang duduk di senanyan
Mengingat, kualitas demokrasi Indonesia diragukan menghasilkan pemimpin yang
kapabel karena bersumber dari hasil proses pragmatisme politik.yang tidak ladi
memandang Ketokohan kemampuannya seorang pemimpin saat ini.
Oleh
karenanya, muncul fenomena baru, pemilik
modal yang bermodel dalam Pemilu menjadi hal yang lumrah ditemui dalam Pemilu
Legislatif. Kebanyakan dari mereka memandang Pemilu adalah ajang kontestasi
ketimbang kompetisi.Kekuataan modal memungkinkan mereka untuk memiliki akses
lebih banyak pada media massa dan menciptakan ruang ruang ketidak adilan dan
kecurangan yang selalu menjadi persoalan, pengetahuan dan keputusan dalam
memilih masyarakat bukan lahir dari bertemunya harapan masyarakat tetapi lebih
karena peristiwa psikologis, bahkan transaksional ada tingkatan jumlah biaya
yang dikeluarkan oleh calon legislator pada saat kampanye sangat besar untuk
memenangkannya.
Dengan
biaya kampanye yang begitu mahal, mustahil mungkinkah rakyat diperlakukan
sederajat secara politik? Juga, kalau setiap calon diharuskan menyiapkan
sekoper uang untuk kampanye, tentu setiap warga negara taklagi punya hak yang
sama untuk dipilih dan memilih. Mahalnya demokrasi kita saat ini sangat rentan
dengan plutokrasi, yaitu kekuasaan di tangan kaum kaya-raya. demokrasi hanya membuka pintu kontestasi kepada kaum
kaya. Demokrasi ini telah berubah gagasan“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat” menjadi “dari Pengusaha (elit), oleh perusahaan, dan untuk pencarian
keuntungan”.
Dengan
mahalnya demokrasi semacam ini sulit mendatangkan kesejahteraan rakyat. Sebab,
demokrasi ini hanya merepresentasikan si pemilik uang. Sedangkan posisi massa
rakyat tak lebih sebagai mesin pengumpul suara, demokrasi semacam ini selalu
dengan politik uang, pemilihan wakil rakyat tak lagi menjadi kontes ideologi yang
selalu membela rakyat yang selalu menyarakan suara rakyat, melainkan sebagai
adu kekayaan. Yang paling kaya dialah yang punya konpetisi dan memenangi
konpetisi, konpetisi edeologi dan kemampuan seakan lenyap dari demokrasi bangsa
ini, seakan suara tuhan tidak memihak
pada rakyat dan bangsa ini yang
selalu menyuaraka keadilan dan kemakmuran rakyat.
Bangsa ini penakut, selalu kalah dengan uang keadilan seakan sirna tanpa
sisa di tanah pertiwi, kesejahteraan takbedanya imajinasi belaka. Selagi
demokrasi milik orang orang elit yang berduit, maka semakin banyak orang yang
tertangkap KPK, bahkan KPK di tangkap KPK, penindasan demokrasi merajalela
keadilan tak pernah ada.
0 komentar:
Posting Komentar