PEMILU,
Sistem Non Islam yang Islami
Oleh Mufti
Shohib
Pemilihan Umum merupakan Proses
pemilihan yang dilakukan oleh orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik
tertentu termasuk juga prosesi pemilihan seorang presiden yang merupakan
pimpinan tertinggi suatu negara. Dalam wacana syariah ada tiga mekanisme
pemilihan yang ditampilkan dalam rangka Nashbul Imamah (suksesi
kepemimpinan) yang pertama adalah bai’at. Sebagaimana diterapkan
oleh para sahabat yang membai’at Abu Bakar untuk menjadi seorang pemimpin. Yang
kedua adalah wasiat dimana seorang pemimpin menunjuk seseorang
yang memiliki kapabilitas kepemimpinan untuk menjadi pemimpin setelahnya. Hal
ini juga dipraktekkan oleh Sayyidina Abu bakar yang menunjuk sayyidina Umar
sebagai khalifah. Dan yang terakhir adalah istila’u dzissyakah yaitu
seseorang muslim yang memiliki kekuatan
menang dalam kepemimpinan.
Tiga wacana yang ditampilkan dalam
syari’at ini mengindikasikan bahwa mekanisme yang terealisasi di Indonesia
secara konsep tidak tercover dalam syari’at. Namun demikian hal pertama yang
urgen untuk diketahui bahwa mengangkat seorang presiden (Nashbul Imamah)
merupakan sesuatu yang Wajib demi terciptanya mashlahat universal dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini banyak sekali tertuang dalam
berbagai literatur fiqih mu’tabarah sebagaiamana juga tertulis dalam kitab Raudlatut
Thalibin karya Imam An-Nawawi. Oleh karenanya, ketika tiga konsep wacana
syariat tentang mekanisme pengangkatan seorang imam tersebut tidak dapat
terealisasi, sedangkan pengangkatan itu sendiri merupakan hal yang tidak dapat
disangkal keharusannya, maka bagi rakyat boleh mengaplikasikan segala sistem
demi terwujudnya tugas pokok yaitu Nashbul Imamah (suksesi kepemimpinan) yang
sesuai dengan prinsip syariat (al-Mashlahat) termasuk juga juga
mekanisme pemilihan secara langsung yaitu pemilu.
Kemudian terdapat beberapa hal yang
menjadi keharusan rakyat sebagai seorang pemilih atau bahkan dalam sistem
demokrasi dapat dikategorikan sebagai pemegang tunggal kekuasaan. Hal itu
sebagaimana dikutip dari kitab Al- Ahkam As-Sultoniyah yang intinya adalah
rakyat harus memiliki pengetahuan dan pandangan tentang siapa yang layak
menyandang tugas sebagai seorang presiden. Rakyat harus memilik gagasan dan
kebijaksanaan dalam menentukan sosok presiden yang betul-betul memiliki
kapabilitas dan kualitas yang relevan menjadi seorang presiden dan tegas serta
bijak dalam mengemban komitmen mewujudkan kemashlahatan. Oleh karenanya ketika
misalnya di suatu wilayah ada dua calon presiden yang memiliki kualitas
dibidangnya masing-masing, maka yang menjadi tolak ukur penentu pilihan adalah
relevansi masing-masing dari keduanya dengan situasi dan kondisi wilayah
tersebut. dalam artian, kalau misalnya calon yang pertama lebih dipercaya dalam
mengemban amanah sedangkan calon yang kedua lebih tegas memberi keputusan maka
yang diprioritaskan adalah relevansinya dengan kebutuhan wilayah itu.
Imam al-Mawardi dan Abu Ya’la
berpendapat bahwa dalam hal ini yang diprioritaskan adalah tuntutan di masa
itu. ketika yang dibutuh adalah sosok pemimpin yang tegas dan berani karena
maraknya golongan pemberontak terhadap pemerintahan maka yang lebih berhak
untuk dipilih adalah seorang presiden yang tegas dan begitu pula sebaliknya.
Hal ini dijelaskan dalam kitab al-Imamatu al-Udzma hal 306-307.
Adapun permasalahan yang kian
menjamur terlebih saat menjelang prosesi pemilu ialah mewabahnya pemberian dari
oknum-oknum tertentu kepada rakyat. Tidak semua pemberi lantas memaparkan
secara jelas maksud dan tujuan dari pemberiannya. Bahkan tidak sedikit yang
berdalih bahwa pemberian itu sebatas hadiah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini sudah jelas kiranya
klarifikasi yang disampaikan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya
sebagai berikut, “Orang yang memberikan kepada Orang Lain tidak lain pasti
ada tujuannya. Namun tujuan pemberian itu adakalanya yang bersifat Ukhrawy
seperti mengharap pahala, dan adakalanya bersifat duniawy. Sedangkan yang
bersifat duniawy adakalahnya berbentuk materi, perbuatan, menolong atas tujuan
tertentu, dan adakalanya dengan tujuan agar hati orang yang diberi senang kepada
si pemberi, baik memang tujuan agar disenangi semata oleh orang yang diberi,
maupun senangnya orang yang diberi dijadikan sebagai mediator (alasan) untuk
mendapatkan tujuan tertentu dibelakangnya. Kesimpulannya ada lima bagian; ...
bagian yang ke lima adalah tujuan si pemberi agar ditolong oleh orang yang
diberi dengan melakukan perbuatan tertentu, ....- pemberian ini merupakan
sebuah pemberian dengan syarat dibalas dengan balasan tertentu yang tujuan
balasan itu dapat diketahui dari indikasi situasi dan kondisi. Maka telitilah
maksud perbuatan yang berupa balasan dari pemberian ini. Apabila balasan yang
dimaksud adalah perbuatan haram seperti usaha didalam melestarikan terus
menerusnya perbuatan haram atau berbuat dholim kepada manusia atau yang
lainnya, maka hukum mengambil pemberian tersebuat hukumnya haram. Dan jika hal
tersebut merupakan sebuah kewajiban seperti menolak kedzaliman yang tertentu
atas setiap orang yang mampu melakukannya, atau persaksian tertentu maka haram
pula mengambilanya karna hal demikian termasuk praktek suap yang tidak
diragukan lagi keharamannya”
Dari klarifikasi diatas dapat
ditarik benang berah bahwa ketika ada seseorang menyodorkan pemberian dengan
tujuan agar kita memilih seorang pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas sebagai
seorang pemimpin, meskipun tujuan pemberian itu tidak di ucapkan oleh pemberi,
karena indikasi kondisi dan situasi sudah menunjukkan tujuan pemberian
tersebut, maka hukum mengambilnya jelas haram. Dan hal itu di kategorikan risywah
atau suap.
Kesimpulan dari pemaparan di atas
adalah wajibnya umat muslim Indonesia memilih seorang presiden yang dapat
mewujudkan perubahan tentunya dengan memilih seorang presiden yang memiliki
kapasitas dan kapabilitas menjadi seorang pemimpin negara. Mekanisme pengangkatan
yang di aplikasikan di Indonesia pun mendapatkan lampu hijau syari’at meskipun
pada dasarnya tidak pernah tergambar dalam wacana Islam. Dan demi terciptanya
perubahan menuju negara Indonesia yang lebih baik rakyat diharuskan untuk
proaktif mengikuti prosesi pemilihan dengan memilih seorang calon yang
berkompeten dan dianggap mampu mengemban amanah membawa Indonesia pada tahap
perubahan yang lebih baik, dan larangan bagi rakyat mempraktekkan suap menyuap
demi kemashlahatan Indonesia, Kemashlahatan hidup berbangsa dan bernegara, dan
kemakmuran Indonesia.
Yang terakhir, bahwa krisis
multidimensi yang melanda Indonesia adalah kesalahan kita bersama yang
seringkali bersikap apatisme, tidak mau tahu persoalan negara dan tidak peduli
terhadap “segalanya”. Perubahan itu rakyat yang menentukan. Presiden hanya
sebagai pelaksana.!
0 komentar:
Posting Komentar