(Tab Widget 2)

Kamis, 16 Februari 2017

PEMILU, SISTEM NON ISLAM YANG ISLAMI (ASCHAL Edisi 15)


PEMILU,
Sistem Non Islam yang Islami
Oleh Mufti Shohib
Pemilihan Umum merupakan Proses pemilihan yang dilakukan oleh orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu termasuk juga prosesi pemilihan seorang presiden yang merupakan pimpinan tertinggi suatu negara. Dalam wacana syariah ada tiga mekanisme pemilihan yang ditampilkan dalam rangka Nashbul Imamah (suksesi kepemimpinan) yang pertama adalah bai’at. Sebagaimana diterapkan oleh para sahabat yang membai’at Abu Bakar untuk menjadi seorang pemimpin. Yang kedua adalah wasiat dimana seorang pemimpin menunjuk seseorang yang memiliki kapabilitas kepemimpinan untuk menjadi pemimpin setelahnya. Hal ini juga dipraktekkan oleh Sayyidina Abu bakar yang menunjuk sayyidina Umar sebagai khalifah. Dan yang terakhir adalah istila’u dzissyakah yaitu seseorang  muslim yang memiliki kekuatan menang dalam kepemimpinan.
Tiga wacana yang ditampilkan dalam syari’at ini mengindikasikan bahwa mekanisme yang terealisasi di Indonesia secara konsep tidak tercover dalam syari’at. Namun demikian hal pertama yang urgen untuk diketahui bahwa mengangkat seorang presiden (Nashbul Imamah) merupakan sesuatu yang Wajib demi terciptanya mashlahat universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini banyak sekali tertuang dalam berbagai literatur fiqih mu’tabarah sebagaiamana juga tertulis dalam kitab Raudlatut Thalibin karya Imam An-Nawawi. Oleh karenanya, ketika tiga konsep wacana syariat tentang mekanisme pengangkatan seorang imam tersebut tidak dapat terealisasi, sedangkan pengangkatan itu sendiri merupakan hal yang tidak dapat disangkal keharusannya, maka bagi rakyat boleh mengaplikasikan segala sistem demi terwujudnya tugas pokok yaitu Nashbul Imamah (suksesi kepemimpinan) yang sesuai dengan prinsip syariat (al-Mashlahat) termasuk juga juga mekanisme pemilihan secara langsung yaitu pemilu.
Kemudian terdapat beberapa hal yang menjadi keharusan rakyat sebagai seorang pemilih atau bahkan dalam sistem demokrasi dapat dikategorikan sebagai pemegang tunggal kekuasaan. Hal itu sebagaimana dikutip dari kitab Al- Ahkam As-Sultoniyah yang intinya adalah rakyat harus memiliki pengetahuan dan pandangan tentang siapa yang layak menyandang tugas sebagai seorang presiden. Rakyat harus memilik gagasan dan kebijaksanaan dalam menentukan sosok presiden yang betul-betul memiliki kapabilitas dan kualitas yang relevan menjadi seorang presiden dan tegas serta bijak dalam mengemban komitmen mewujudkan kemashlahatan. Oleh karenanya ketika misalnya di suatu wilayah ada dua calon presiden yang memiliki kualitas dibidangnya masing-masing, maka yang menjadi tolak ukur penentu pilihan adalah relevansi masing-masing dari keduanya dengan situasi dan kondisi wilayah tersebut. dalam artian, kalau misalnya calon yang pertama lebih dipercaya dalam mengemban amanah sedangkan calon yang kedua lebih tegas memberi keputusan maka yang diprioritaskan adalah relevansinya dengan kebutuhan wilayah itu.
Imam al-Mawardi dan Abu Ya’la berpendapat bahwa dalam hal ini yang diprioritaskan adalah tuntutan di masa itu. ketika yang dibutuh adalah sosok pemimpin yang tegas dan berani karena maraknya golongan pemberontak terhadap pemerintahan maka yang lebih berhak untuk dipilih adalah seorang presiden yang tegas dan begitu pula sebaliknya. Hal ini dijelaskan dalam kitab al-Imamatu al-Udzma hal 306-307.
Adapun permasalahan yang kian menjamur terlebih saat menjelang prosesi pemilu ialah mewabahnya pemberian dari oknum-oknum tertentu kepada rakyat. Tidak semua pemberi lantas memaparkan secara jelas maksud dan tujuan dari pemberiannya. Bahkan tidak sedikit yang berdalih bahwa pemberian itu sebatas hadiah dan lain sebagainya.
Dalam hal ini sudah jelas kiranya klarifikasi yang disampaikan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin-nya sebagai berikut, “Orang yang memberikan kepada Orang Lain tidak lain pasti ada tujuannya. Namun tujuan pemberian itu adakalanya yang bersifat Ukhrawy seperti mengharap pahala, dan adakalanya bersifat duniawy. Sedangkan yang bersifat duniawy adakalahnya berbentuk materi, perbuatan, menolong atas tujuan tertentu, dan adakalanya dengan tujuan agar hati orang yang diberi senang kepada si pemberi, baik memang tujuan agar disenangi semata oleh orang yang diberi, maupun senangnya orang yang diberi dijadikan sebagai mediator (alasan) untuk mendapatkan tujuan tertentu dibelakangnya. Kesimpulannya ada lima bagian; ... bagian yang ke lima adalah tujuan si pemberi agar ditolong oleh orang yang diberi dengan melakukan perbuatan tertentu, ....- pemberian ini merupakan sebuah pemberian dengan syarat dibalas dengan balasan tertentu yang tujuan balasan itu dapat diketahui dari indikasi situasi dan kondisi. Maka telitilah maksud perbuatan yang berupa balasan dari pemberian ini. Apabila balasan yang dimaksud adalah perbuatan haram seperti usaha didalam melestarikan terus menerusnya perbuatan haram atau berbuat dholim kepada manusia atau yang lainnya, maka hukum mengambil pemberian tersebuat hukumnya haram. Dan jika hal tersebut merupakan sebuah kewajiban seperti menolak kedzaliman yang tertentu atas setiap orang yang mampu melakukannya, atau persaksian tertentu maka haram pula mengambilanya karna hal demikian termasuk praktek suap yang tidak diragukan lagi keharamannya”
Dari klarifikasi diatas dapat ditarik benang berah bahwa ketika ada seseorang menyodorkan pemberian dengan tujuan agar kita memilih seorang pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas sebagai seorang pemimpin, meskipun tujuan pemberian itu tidak di ucapkan oleh pemberi, karena indikasi kondisi dan situasi sudah menunjukkan tujuan pemberian tersebut, maka hukum mengambilnya jelas haram. Dan hal itu di kategorikan risywah atau suap.
Kesimpulan dari pemaparan di atas adalah wajibnya umat muslim Indonesia memilih seorang presiden yang dapat mewujudkan perubahan tentunya dengan memilih seorang presiden yang memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi seorang pemimpin negara. Mekanisme pengangkatan yang di aplikasikan di Indonesia pun mendapatkan lampu hijau syari’at meskipun pada dasarnya tidak pernah tergambar dalam wacana Islam. Dan demi terciptanya perubahan menuju negara Indonesia yang lebih baik rakyat diharuskan untuk proaktif mengikuti prosesi pemilihan dengan memilih seorang calon yang berkompeten dan dianggap mampu mengemban amanah membawa Indonesia pada tahap perubahan yang lebih baik, dan larangan bagi rakyat mempraktekkan suap menyuap demi kemashlahatan Indonesia, Kemashlahatan hidup berbangsa dan bernegara, dan kemakmuran Indonesia.
Yang terakhir, bahwa krisis multidimensi yang melanda Indonesia adalah kesalahan kita bersama yang seringkali bersikap apatisme, tidak mau tahu persoalan negara dan tidak peduli terhadap “segalanya”. Perubahan itu rakyat yang menentukan. Presiden hanya sebagai pelaksana.!

0 komentar:

Posting Komentar