Pada dasarnya hidup harus seirama antara batin dan raga, sebagai
keseimbangangan menapaki kehidupan yang berliku, goncangan hidup dan godaan di
sekitar menuntut seseorang memperbaiki jalan hidupnya, tawaran dari islam
memberikan keselarasan antara jiwa dan raga, agar semua perilaku hidupnya
sesuai tuntunan agama, karena hidup tidak lepas dari dua unsur ruhaniyah
dan dahiriyah yang mendesak seseorang agar dapat menyelaraskannya.ruhaniyah
berfungsi menguatkan seseorang memompamental ahlaky yang bertugas dari dalam,
sehingga nanti memancar keseluruh raga, dan menguasai seluruh aktifitas
pelakunya, dahiriyah bertugas menjalankan pesan-peasan ruhaniyah
yang di gagasnya dan di hantarkan menjadi tindakan nyata oleh raga.
Unsur ruhaniyah menjadi dominan dalam keberlangsungan aktifitas
seseorang, maka tindakan yang di lakukan seseorang adalah gambaran dari
batinnya, sebab batinlah penggagas utama, dalam memobilisasi jalannya kehendak
seseorang, sebagaimana di ceritakan dalam sebuah hadits, bahwa dalam diri
seseorang ada segumpal daging, yang dengannyalah semua aktifitas seseorang di
tentukan dan di perintah, jika daging itu baik maka baiklah seluruh
perilakunya, juga sebaliknya jika segumpal daging tersebut jelek maka jelek
pulalah keseluruhan jasadnya, segumpal daging itulah yang di namakan hati,
pusat segala kebaikan seseorang juga pusat segala kebejatannya, bagitulah kata
Rasulullah dalam sabdanya.
Juga sabda Rasulullah ذاق طعم الايمان من رضى بالله
ربا وبالاسلام دينا وبمحمد رسولا (رواه مسلم و الترمذى), “yang merasakan
rasa iman adalah orangyang rida kepada Allah sebagai tuhannya, rida kepada
Islam sebagai agamanya, dan rida kepada Muhammad sebagai rasulnya” hadist
ini, memberi gambaran, bahwa aktifitas ruhaniyah lebih mendominasi
seseorang terhadap perilakunya, apa lagi dalam hadist ini menyinggung seputar
kerelaan seseorang dalam kaitannya dengan agama, Allah, dan rasullnya, yang
kesemuanya tidak terlepas dari unsur-unsur ruhaniyah, yaitu kerelaan
yang timbul dari jiwa terdalamnya, apa lagi tiga hal yang di singgung hadist
tersebut berupa totalitas seseorang dalam menumpahkan keimanannya terhadap
Islam.
Kemudian dilanjutkan dalam hadist yang lainثلاث من
كن فيه وجد حلاوة الايمان من كان الله ورسوله احب اليه مما سواهما ومن احب عبدا لايحبه
الا لله عز وجل ومن يكره ان يعود فى الكفر بعد اذ انقذه الله منهكما يكره ان يلقى فى
النار (رواه البخارى ؤمسلم وغيرهما) “ada
tiga perkara di mana seseorang dapat merasakan lezatnya iman: orang yang mencintai Allah dan
rasul-Nya lebih dari yang lain; orang yang mencintai hamba karena Allah ; dan
orang yang takut kembali kepada kekufuran seperti ketakutannya untuk di
masukkan ke dalam api neraka” hadist ini memperkuat hadist awal yang
mengungkapkan puncak keimanan seseorang kepada penciptanya akan merasakan
kelezakan iman yang tiada tara, apa lagi dengan adanya iman maka seseorang akan
berperilaku sesuai dengan aturan yang di gariskan Allah.
Dalam kaitannya dengan perilaku yang lebih menekankan aspek keruhanian
demi terciptanya perilaku yang baik,
pelaku dari orang-orang yang selalu bertaqarrubkepada Allah atau
istilah lainnya di sebut kaum sufi. Adalah mereka lebih mendahulukan pemompaan
jiwa dengan perbaikan-perbaikan sedemikian rupa sehingga, penyakit-penyakit
yang bersarang berupa penyakit hati akan hilang, padahal dalam pandangan kaum
sufi, menjaga hati lebih utama dari pada menjaga ibadah-ibadah dahiriyahnafilah,
tapi yang banyak terjadi penyimpangan, ketidak seimbangan antara perilaku ruhaniyah
dan dahiriyah, sehingga terkadang penekanan aspek ruhiyah menjadi
prioritas utama, dan membuat seseorang tidak menemukan keseimbangan sehingga ia
melabrak rambu-rambu yang semestinya tidak di labrak.
memperbaiki
jiwa bukan berarti meninggalkan dahiriyah, sehingga hukum syariat yang
berkaitan dengan dahiriyah terbengkalai dengan tidak menghiraukannya, atau malah sebaliknya, jika
seseorang lebih mementingkan urusan dahiriyah saja sehingga membiarkan
jiwanya di kuasai penyakit-penyakit hati yang juga akan membuat dia tidak
seimbang, sebab jika hanya mementingkan dahiriyah saja, bisa saja dalam
pandangannya ia sudah benar, tetapi dalam interaksinya ketika berbenturan
dengan hati akan menjadi perilaku yang dapat menyakiti orang lain, maka
keduanya harus bersamaan, jika tidak demikian akan seperti komentar imam malik
yang di nukil Al-Gazali dalam ihyaknya “orang yang mengamalkan fikih saja,
sedangkan ia tidak bertasawuf maka sungguh telah fasik, sedangkan orang
yang bertasawuf saja tanpa mengamalkan fikih maka ia telah menjadi zindik,
dan orang yang mengumpulkan keduanya(fikih dan tasawuf)maka dialah yang
benar.
Kewajiban
menselaraskan antara tasawuf dengan fiqh ini sebagaimana di singgung dalam
al-Quran surah Al-Jastiah ayat 18 ثم جعلناك على شريعة من
الامرفاتبعها ولاتتبع اهواء الذين لايعلمون (الجاثية: 18)“kemudian
kamijadikan kamu di atas syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui” berkaitan denganayat ini imam Junaid Al-Bangdady salah seorang
imam tasawuf kalangan ahlussunah wal jamaah berkata sebagaimana yang di nukil
Sa’id Al-Hawwa’ dalam tarbiyatuna arrisalahmenuduh sesat golongan yang
menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri
dari hukum-hukum syariat, lebih tegas ia berkata, betul ia sampai tapi keneraka
saqar, Al-Qurtuby mengomentari kata syariah dalam tafsirnya, adalah hukum agama
yang di syariatkan kepada hamba-hambanya.
Jadi
aspek dahiriyah (fiqh) dan ruhaniyah(tasawuf) dua hal yang tidak
bias di pisahkan ibaratnya dua mata uang yang sama-sama saling melengkapi, dan
menjadi berkurang nilainya jika salah satunya menjadi tiada. Fikih mendorong
manusia melakukan perilaku sesuai hukum-hukum Allah, tasawuf lebih mendorong
manusia melakukan perbaikan hati, apa lagi dengan perilaku seseorang bisa
menjadi manusia yang berahlak jika hatinya bersih dari penyakit hati, karena
sebagaimana hadist yang populer dimasyarakat bahwa Nabi di utus hanyalah untuk
menyempurnakan ahlakاانما بعثت لأتمم مكارم الاخلاق"
hadist ini menggunakan adat qaserinnama, yang berarti hanyalah, yang
berobjek pada penghususan di utusnya Rasullah sebagai penyempurna sekaligus
memperbaiki perilaku jahiliyah.
*Humaidi/Aschal*
0 komentar:
Posting Komentar