(Tab Widget 2)

Rabu, 01 Februari 2017

KERDIL ATAS NAMA TASAWUF; TERLALU MENGADA-ADA (ASCHAL Edisi 13)


            Pada dasarnya hidup harus seirama antara batin dan raga, sebagai keseimbangangan menapaki kehidupan yang berliku, goncangan hidup dan godaan di sekitar menuntut seseorang memperbaiki jalan hidupnya, tawaran dari islam memberikan keselarasan antara jiwa dan raga, agar semua perilaku hidupnya sesuai tuntunan agama, karena hidup tidak lepas dari dua unsur ruhaniyah dan dahiriyah yang mendesak seseorang agar dapat menyelaraskannya.ruhaniyah berfungsi menguatkan seseorang memompamental ahlaky yang bertugas dari dalam, sehingga nanti memancar keseluruh raga, dan menguasai seluruh aktifitas pelakunya, dahiriyah bertugas menjalankan pesan-peasan ruhaniyah yang di gagasnya dan di hantarkan menjadi tindakan nyata oleh raga.
            Unsur ruhaniyah menjadi dominan dalam keberlangsungan aktifitas seseorang, maka tindakan yang di lakukan seseorang adalah gambaran dari batinnya, sebab batinlah penggagas utama, dalam memobilisasi jalannya kehendak seseorang, sebagaimana di ceritakan dalam sebuah hadits, bahwa dalam diri seseorang ada segumpal daging, yang dengannyalah semua aktifitas seseorang di tentukan dan di perintah, jika daging itu baik maka baiklah seluruh perilakunya, juga sebaliknya jika segumpal daging tersebut jelek maka jelek pulalah keseluruhan jasadnya, segumpal daging itulah yang di namakan hati, pusat segala kebaikan seseorang juga pusat segala kebejatannya, bagitulah kata Rasulullah dalam sabdanya.
            Juga sabda Rasulullah ذاق طعم الايمان من رضى بالله ربا وبالاسلام دينا وبمحمد رسولا (رواه مسلم و الترمذى), “yang merasakan rasa iman adalah orangyang rida kepada Allah sebagai tuhannya, rida kepada Islam sebagai agamanya, dan rida kepada Muhammad sebagai rasulnya” hadist ini, memberi gambaran, bahwa aktifitas ruhaniyah lebih mendominasi seseorang terhadap perilakunya, apa lagi dalam hadist ini menyinggung seputar kerelaan seseorang dalam kaitannya dengan agama, Allah, dan rasullnya, yang kesemuanya tidak terlepas dari unsur-unsur ruhaniyah, yaitu kerelaan yang timbul dari jiwa terdalamnya, apa lagi tiga hal yang di singgung hadist tersebut berupa totalitas seseorang dalam menumpahkan keimanannya terhadap Islam.
            Kemudian dilanjutkan dalam hadist yang lainثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان من كان الله ورسوله احب اليه مما سواهما ومن احب عبدا لايحبه الا لله عز وجل ومن يكره ان يعود فى الكفر بعد اذ انقذه الله منهكما يكره ان يلقى فى النار (رواه البخارى ؤمسلم وغيرهما)  “ada tiga perkara di mana seseorang dapat merasakan lezatnya  iman: orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya lebih dari yang lain; orang yang mencintai hamba karena Allah ; dan orang yang takut kembali kepada kekufuran seperti ketakutannya untuk di masukkan ke dalam api neraka” hadist ini memperkuat hadist awal yang mengungkapkan puncak keimanan seseorang kepada penciptanya akan merasakan kelezakan iman yang tiada tara, apa lagi dengan adanya iman maka seseorang akan berperilaku sesuai dengan aturan yang di gariskan Allah.
            Dalam kaitannya dengan perilaku yang lebih menekankan aspek keruhanian demi terciptanya perilaku yang baik,  pelaku dari orang-orang yang selalu bertaqarrubkepada Allah atau istilah lainnya di sebut kaum sufi. Adalah mereka lebih mendahulukan pemompaan jiwa dengan perbaikan-perbaikan sedemikian rupa sehingga, penyakit-penyakit yang bersarang berupa penyakit hati akan hilang, padahal dalam pandangan kaum sufi, menjaga hati lebih utama dari pada menjaga ibadah-ibadah dahiriyahnafilah, tapi yang banyak terjadi penyimpangan, ketidak seimbangan antara perilaku ruhaniyah dan dahiriyah, sehingga terkadang penekanan aspek ruhiyah menjadi prioritas utama, dan membuat seseorang tidak menemukan keseimbangan sehingga ia melabrak rambu-rambu yang semestinya tidak di labrak.
            memperbaiki jiwa bukan berarti meninggalkan dahiriyah, sehingga hukum syariat yang berkaitan dengan dahiriyah terbengkalai dengan tidak  menghiraukannya, atau malah sebaliknya, jika seseorang lebih mementingkan urusan dahiriyah saja sehingga membiarkan jiwanya di kuasai penyakit-penyakit hati yang juga akan membuat dia tidak seimbang, sebab jika hanya mementingkan dahiriyah saja, bisa saja dalam pandangannya ia sudah benar, tetapi dalam interaksinya ketika berbenturan dengan hati akan menjadi perilaku yang dapat menyakiti orang lain, maka keduanya harus bersamaan, jika tidak demikian akan seperti komentar imam malik yang di nukil Al-Gazali dalam ihyaknya “orang yang mengamalkan fikih saja, sedangkan ia tidak bertasawuf maka sungguh telah fasik, sedangkan orang yang bertasawuf saja tanpa mengamalkan fikih maka ia telah menjadi zindik, dan orang yang mengumpulkan keduanya(fikih dan tasawuf)maka dialah yang benar.
            Kewajiban menselaraskan antara tasawuf dengan fiqh ini sebagaimana di singgung dalam al-Quran surah Al-Jastiah ayat 18 ثم جعلناك على شريعة من الامرفاتبعها ولاتتبع اهواء الذين لايعلمون (الجاثية: 18)kemudian kamijadikan kamu di atas syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” berkaitan denganayat ini imam Junaid Al-Bangdady salah seorang imam tasawuf kalangan ahlussunah wal jamaah berkata sebagaimana yang di nukil Sa’id Al-Hawwa’ dalam tarbiyatuna arrisalahmenuduh sesat golongan yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syariat, lebih tegas ia berkata, betul ia sampai tapi keneraka saqar, Al-Qurtuby mengomentari kata syariah dalam tafsirnya, adalah hukum agama yang di syariatkan kepada hamba-hambanya.
            Jadi aspek dahiriyah (fiqh) dan ruhaniyah(tasawuf) dua hal yang tidak bias di pisahkan ibaratnya dua mata uang yang sama-sama saling melengkapi, dan menjadi berkurang nilainya jika salah satunya menjadi tiada. Fikih mendorong manusia melakukan perilaku sesuai hukum-hukum Allah, tasawuf lebih mendorong manusia melakukan perbaikan hati, apa lagi dengan perilaku seseorang bisa menjadi manusia yang berahlak jika hatinya bersih dari penyakit hati, karena sebagaimana hadist yang populer dimasyarakat bahwa Nabi di utus hanyalah untuk menyempurnakan ahlakاانما بعثت لأتمم مكارم الاخلاق" hadist ini menggunakan adat qaserinnama, yang berarti hanyalah, yang berobjek pada penghususan di utusnya Rasullah sebagai penyempurna sekaligus memperbaiki perilaku jahiliyah.

*Humaidi/Aschal*

0 komentar:

Posting Komentar