(Tab Widget 2)

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Media Kreasi Santri

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 26 Februari 2017

NYANTRI, SALAH NIAT FATAL AKIBAT (ASCHAL Edisi 16)



Sebuah Renungan Bagi Para Santri
Nyantri, Salah Niat Fatal Akibat
Terkadang , masih ada sebagian santri yang salah menyemai niat di relung hati. "Yang penting aku hidup di pesantren, sudah pasti dapat ridlo dan berkah kyai”. Tanpa ijtihad yang menggelegar. Tanpa semangat yang berkobar. Tanpa pengabdian yang mendasar. Sehingga benih yang ditanampun tumbuh tak sesuai harapan.
Ingat! Niat adalah otak dari segala aktivitas manusia. Baik- buruk suatu pekerjaan tergantung pada niat yang ditanam. Makan bisa berpahala, bila diniati agar kuat beribadah pada Allah `Azza Wajalla. Namun bisa pula diintai dosa, bila diniati durhaka kepadaNya. “Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesunggunya bagi setiap orang (akan mendapatkan) apa-apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari).
Bagi seorang santri, niat yang baik sangatlah penting. Niat baik akan menjadi guide (pemandu) dalam wisata keilmuannya selama di pesantren. Niat yang baik akan membimbing kemana dia harus melangkah, apa yang perlu dibawa, serta apa yang harus dia tinggalkan. Sehingga tidak banyak waktu terbuang percuma. Apalagi nyasar entah kemana.
Dengan niat yang baik, seorang santri bisa menikmati indahnya aktivitas thalabul ilmi. Mereka merasa seperti berada di sebuah taman Firdaus nan indah. Mereka yakin, setiap detik dari perputaran bumi, para malaikat membentangkan sayap menaungi mereka. Semua penghuni langit dan bumi sibuk memohonkan ampunan bagi mereka. Termasuk ikan dilautan, dan semut-semut di lubang persembunyiannya. (al-Hadist)
“Bagaimana niat yang baik?” suatu ketika Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab, “Niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah dengan benar, dan untuk mengajari yang lainnya”. Ya, begitulah cara kita menanamkan niat ketika belajar di pesantren. Niat belajar untuk ibadah, atau untuk mengajarkan kembali pada orang lain.
Syekh Az-Zarnuji menambahkan, di antara niat yang baik dalam belajar adalah, niat mencari ridlo Allah, niat agar bisa masuk surga, niat menghilangkan kebodohan, serta niat menghidupkan agama Allah, karena Islam bisa hidup bila umat Islam memiliki ilmu.
Jangan sampai salah dalam mengukir niat. Nyantri di pesantren bukan hanya iseng-isengan. Perlu adanya kesungguhan dalam menentukan arah tujuannya. Bisa jadi, kehadiran kita di pesantren bukan untuk menuai barokah, melainkan comberan murka yang tumpah ruah.  Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah pernah bersabda “Barang siapa mencari ilmu untuk mengelabuhi orang bodoh, menyaingi ulama agar mendapat perhatian manusia, maka tempatnya adalah neraka”. (HR. Ibnu Majah)
Terlebih, bila nyantri hanya mencari kertas begambar “Burung Garuda”. Niat oleng yang mementingkan kehidupan dunia. Kita akan rentan mengacuhkan proses belajar yang baik dan benar. Seharusnya, nyantri digunakan sebagai media mereguk ilmu manfaat sebanyak-banyaknya. Namun bila niat salah, kita bisa gunakan segala cara demi selembar ijazah. Tidak peduli curang, manipulasi, mark up nilai, hingga membeli ijazah “aspal” (asli tapi palsu).
Ironinya, penyakit kronis seperti ini sudah tersistem dan terstruktur hampir di semua jenjang pendidikan, mulai yang berbasis umum, sampai pendidikan berbasis diniyah yang tak semestinya ikut terpuruk. Ijazah yang demikian, sangat tidak mencerminkan kompetensi kepribadian dan keilmuan pemiliknya, sehingga berdampak pada melimpahnya sumber daya manusia tidak berkualitas dan kompetitif.
Coba lihat, bagaimana nasib lima Kepala Sekolah yang berdinas di Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian karena disinyalir terlibat dalam kasus kecurangan proses Ujian Nasional Sekolah Menengah Atas dan sederajat, yang digelar 22-24 April lalu. Kelimanya adalah Kepala SMA Cokroaminoto Latimojong,  Kepala SMA Tut Wuri Handayani,  Kepala SMA Tri Dharma, Kepala SMA Abdi Pembangunan, dan Kepala SMA Kartika Candrakirana. (Tempo.com)
Lihat juga, hasil survei Pusat Psikologi Terapan Jurusan Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) atas pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun 2004-2013. Survei online itu menemukan bahwa kecurangan UN terjadi secara massal lewat aksi mencontek. Bukan hanya itu, kebobrokan moral ini juga melibatkan peran Tim Sukses yang terdiri dari guru, kepala sekolah, serta pengawas. (Kompas.com)
            Belum lagi hasil monitoring ujian nasional 2007/2008 yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW). Beberapa kasus sangat miris dalam dunia pendidikan berhasil diungkap. Misalnya kasus yang terjadi di Batam, soal ujian matematika telah beredar sehari sebelum pelaksanaan UN. Di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, 16 Guru serta Kepala Sekolah ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 ketika memperbaiki jawaban murid. (Tempo.com)
 Dan masih banyak lagi kasus serupa. Baik yang tertangkap polisi, yang berhasil bersembunyi, atau bahkan sengaja tidak diurusi. Baik yang terekspos media, ataupun kasus yang menguap begitu saja.
Di sini kiranya, menyemai niat baik ketika belajar di pesantren amat dibutuhkan. Seandainya kita tidak bisa meneladani kebaikan ulama terdahulu, minimal kita bisa terhindar dari keburukan masa kini yang makin menjadi-jadi.
Oleh: M. Muhsin Bahri
Guru Tugas Wajib PP. Sidogiri, Pasuruan.



SINERGI ORANG TUA – SANTRI, TENTUKAN ARAH JATI DIRI (ASCHAL Edisi 16)


Sebuah Renungan Bagi Para Orang Tua
Sinergi Orang Tua – Santri, Tentukan Arah Jati Diri

Kiprah santri adalah menanamkan nila-nilai keagamaan di tengah masyarakat. Apalagi hidup saat ini tidak terlalu menghiraukan nilai-nilai agama dan budi luhur para leluhur. Maka santri dituntut untuk menghidupkan semangat spiritual, pendidikan agama, serta menjaga moralitas masyarakat. Dan merupakan sebuah hal pasti, bahwa para orang tua juga mengambil peran penting dalam misi mulia ini. Terlebih di masa-masa menuntut ilmu, yang merupakan fondasi dasar bagi setiap generasi bangsa dan agama.

Minat masyarakat menjadikan pesantren sebagai tujuan pendidikan kian redup dan surut. Orang tua lebih cendrung menyekolahkan anak-anaknya di sekolah bertaraf Nasional atau bahkan international. Ada pula di antara mereka yang memondokkan anaknya di pesantren. Namun sayang, tujuan mereka lebih condong pada pendidikan formalnya saja.

Bisa jadi, hal ini bertujuan agar anak-anak mereka mendapatkan pekerjaan baik dan lebih mapan. Atau, pesantren hanya dijadikan sebagai batu loncatan, untuk menampung anaknya sementara waktu. Sayangnya, fenomena ini banyak terjadi di masyarakat dan banyak dirasakan oleh para orang tua.
Orang tua tertipu. Pola pikir ini termakan pola pikir hedonesme dan meterialisme. Mereka beranggapan bahwa dunia segala galanya. Tiada yang lain kecuali dunia. Mereka lupa bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan akhirat. Sedangkan dunia hanyalah lahan untuk mengumpulkan bekal untuk akhirat yang abadi. Hal ini dampak gelombang globalisasi, teknologi, dan pasar bebas yang tak mungkin terbendung lagi.  Sehingga berujung pada pola fikir seakan lebih maju dengan gaya hidup seakan lebih baik.

Sebagian masyarakat memilih pemahaman keliru terkait pendidikan. Mereka mempersiapkan anak-anaknya hanya untuk kesejahteraan dan kemakmuran dunia belaka. Seakan-akan sekolahlah yang menjanjikan pekerjaan. Sekolah yang mapan mampu memberikan pekerjaan mapan pula. inilah yang  menjadi target orang tua.

Jangan terlena! Ingatlah, jika anak-anak generasi bangsa tidak memiliki dasar agama yang kuat. Mereka akan tumbuh sebagai generasi yang kering akan nilai-nilai agama.  Mereka akan menjadi generasi yang salah jalan, serta tidak memahami ajaran agama sama sekali. Padahal, status mereka adalah generasi penerus bagsa dan agama.

Sehingga akan datang masa di mana ada begitu banyak cendikiawan,  profesor, doctor, ataupun insinyur. Namun keilmuannya tidak diimbangi dengan kecerdasan spiritual. Akibatnya, mereka hanya akan membuat kerusakan di muka bumi. Data-fakta yang tidak perlu dipaparkan lagi, dari banyaknya cendikiawan dengan gelar akademik tinggi, menjadi contoh kebobrokan moral.

Tidak bisa dipungkiri, sedikit-banyak kerusakan moral ini tidak lepas dari peran orang tua, selaku penentu arah masa depan anak bangsa. Terlebih, apabila mereka menjadikan pendidikan sebagai batu loncatan untuk mencapai kemakmuran dunia saja. Dalam hadist Nabi Muhammad SAW ditegaskan, bahwa seorang penuntut ilmu akan senatiasa dimudahkan jalannya oleh Allah menuju surga.
Hal itu diperjelas oleh Syekh Zainuddin bin Abd. Rohman al-Malibari,  shohibu Fathul Mu’in dengan memberikan klarifikasi dalam kalam Nadhomnya:
هذا اذا قصد الاله واخره #  بالعلم والا فالهلاك تحصلا
Hal itu akan tercapai apabila menuntut ilmu dengan niat karena Allah dan demi akhirah, jika tidak maka kerusakan yang akan diperoleh

Baiknya tujuan merupakan penentu terbesar bagi penuntut ilmu dalam memperoleh kebaikan ilmu. Sedangkan orang tua biasanya lebih peka akan arah pendidikan anaknya. Bagaimana menjadikan anak menjadi orang yang bisa dibanggakan serta mensejahterakan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, orang tua harus diusahakan mampu menjelaskan tujuan-tujuan mulia dalam menuntut ilmu pada putra-putrinya. Bukan malah sebaliknya, dengan menanamkan niat keliru dalam menuntut ilmu.

Begitu pula dalam menempuh pendidikan di pesantren. Orang tua dituntut pandai mengarahkan anak-anaknya pada tujuan yang mulia. Karena pendidikan pesantren memiliki prisip yang sama dalam mencerdaskan anak bangsa, baik dunyawiyah dan ukhrowiyah. Pesantren bertumpu pada tiga prinsip pokok, yaitu ilmu, amal, dan ikhlas. Tiga pokok lainnya: Iman, Islam, dan Ihsan, atau dalam bahasa lain akidah, syariah, dan akhlak.

Mencari ilmu butuh niat yang jelas, apalagi belajar ilmu agama. Jelas tidak bisa disamakan dengan belajar ilmu fisika atau matematika. Sebab agama bukan sekedar ilmu pengetahuan, atau informasi-informasi yang bisa didapat dengan cara yang instan dan otodidak. Belajar agama membutuhkan keyakinan yang kuat, menjaga niat, memperhatikan kebaikannya, mencegah kerusakannya, menjaga riyadhah, kebersihan hati, tata krama luhur, dan berbagai aspek positiv lainnya.
Imam Ibrahim an-Nakha’i rahimahullaah mengatakan, “Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.”
Memperbaiki niat adalah kunci sukses dalam menuntut ilmu. Sedangkan adanya sinergi antara penuntut ilmu dan orang tua sangatlah dibutuhkan. Oleh karena itu, diharapkan agar para orang tua ikut membimbing putra-putrinya dalam menata niat. Karena bagaimanapun juga, generasi muda masa sekarang, adalah para pemimpin di masa mendatang.

oleh : R ma’mun Al Makky

KH. Wahhab Djazuli (ASCHAL Edisi 16)



Bagaimana niat yang benar masuk pesantren?
Niat santri masuk ke pesantren diterangkan dalam kitab Ta’limul Mutaallim; pertama, niat menghilangkan kebodohan supaya menjadi orang pintar. Kedua, Lii’lai Kalimatillah (Memuliakan tanda-tanda kebesaran Allah) memuliakan syariat islam, meningkatkan akidah, supaya orang yang tidak tau bertambah akidahnya, masalah hukum Fiqihnya dan juga masalah Tasawwuf.
kalau bicara akidah, akidah ini adalah urusan hati, sedang ilmu Fiqih urusan muamalah yang halal dan haram. Adapun tasawwuf adalah untuk mendekatkan diri  pada Allah. Di setiap pesantren sudah sejalan dengan tasawwuf. karena apa? Karena ada penghormatan dari santri terhadap gurunya. Diantara penghormatanya yaitu ilmu tasawwuf. penghormatan orang kampung/pedesaan termasuk orang yang memang menghoramati, lebih-lebih orang yang ahli tasawwuf, ahli thoriqot. Thoriqot di sini tidak terfokus pada jenis thoriqot itu apa, tetapi semua thoriqot, karena semua thoriqot memiliki tujuan yang sama yaitu bertujuan ingin mendekatkan diri pada Allah SWT. Pokoknya santri itu di pondok mendapatkan keimanan, selain itu juga mendapatkan ilmu.

Bolehkah kepentingan duniawi menjadi bagian dari niat?
Orang yang berniat ukhrowi  tetapi diniati secara duniawi adalah orang yang paling berbahaya. misalnya sholat karena Allah tetapi niat untuk mendapatkan uang. Mengerjakan perbuatan duniawi ingin mendapatkan ilmu untuk mencari rejeki yang mana rejeki itu untuk kewajiban beribadah, menghidupi istri dan anak, melaksanakan kewajban dan sebagainya, Hal ini bagus. tapi kalau urusan duniawi hanya tertuju pada dunia, atau ukhrowi hanya tertuju pada akhirat atau kedua-duanya, apalagi urusan akhirat tertuju pada dunia, Ini paling bahaya. Sepertihalnya juga berdakwah itu karena Allah. tapi kalau berdakwah untuk mendapatkan uang, Itu tidak boleh.

Dalam pandangan islam, adakah pengaruh niat terhadap keberhasilan santri?
Pasti ada. Dengan niat tulus, hati benar-benar menjiwai, ta’zdim terhadap guru, niat menghormati guru, menjalankan perintah orang tua, harapan orang tua, menjalankan niat, atau imtitsal karena orang tua, lebih-lebih karena guru. kalau benar-benar semangat, maka akan berhasil. Hal ini tergantung orang dan semangatnya. Niat yang ada harus disertai semangat. Meski niat ada kalau tidak disertai semangat tidak akan berhasil, tetapi bila niat disertai semangat pasti ada harapan untuk santri.

Sebagian masyarakat berasumsi bahwa sukses itu memiliki banyak finansial. Pandangan kiai?
Seseorang yang memiliki banyak finansial (harta) sedikit atau banyak, itu tergantung niatnya. misalnya kamu memiliki niat membangun gedung yang paling besar, tetapi tidak memiliki harta yang banyak. Hal itu tidak bisa kecuali memiliki uang. Jadi tergantung perbuatannya. Kalau perbuatan seseorang sesuai dengan niat, niat melakukan pekerjaan yang besar harus dengan uang yang besar pula. kalau pekerjaannya kecil tentunya membutuhkan uang yang sedikit. Ada orang pedesaan bertanya, “Apakah membutuhkan modal yang besar untuk memiliki kekayaan” kalau orang sudah banyak hartanya harus ikhlas karena Allah. Nah, hasilnya nanti untuk kegiatan islam, perjuangan islam, membantu fakir-miskin, untuk melaksanakan kewajiba haji, untuk membayar kewajiban zakat. Agar orang yang mengumpulkan harta tersebut tidak termasuk dengan apa yang disabdakan Nabi “Addunya ro’suhu bikhotiatin”. maksudnya, mengambil harta yang haram untuk sesuatu yang haram. Kalau orang-orang pedesaan hartanya sedikit. orang-orang yang tinggi jabatanya mengambil uang haram, yang lebih parah uang haram itu malah digunakan untuk sesutu yang haram. Ini yang berbahaya. Kalau orang hanya memiliki dua atau tiga ekor kambing dan sapi. itu bukan duniawi tapi untuk akhirat. Alahmdulillah orang-orang pedesaan itu memelihara ayam yang ketika ditanya hasilnya dikumpulkan untuk menghidupi anaknyan di pondok pesantren.

Upaya apa yang harus dilakuakan untuk mengubah persepektif, keliru masyarakat?
Allah SWT. berfirman “Ud’u ila sabili robbika bilhikmati” allah SWT. memerintahkan “Ud’u “ kalau ada orang mengantarkan anaknya  ke pondok pesantren sekedar dititipkan saja, itukan orang yang tidak tahu. Hal itu tidak ada yang perlu dirubah. Tambahlah ilmu! karena kewajiban santri adalah menambah ilmu terhadap orang tersebut. tidak perlu disinggung dan diapa-apakan, diberi ilmu saja, karena orang itu kekurangan bahan darimu. Kamu itu hanya diam, tidak mengatakan terhadap orang lain. Kamu harus memberi tahu misalnya; “Tata-tertib kalau anak sampean mau dimondokkan caranya begini, begitu dll. Orang yang memondokkan anaknya sekedar dititip, itu karena bodoh. Kalau bodoh, ya harus diberi ilmu.

Apa tolok ukur santri sukses?

Kalau santri itu sudah sukses, pertama adab kesopanan terhadap orang tua dan gurunya, akhlaq sesama manusianya, mengetahui akidah , mengetahui hukum, menjalankan perintah Allah dan menjahui larangan-larangan Allah. Ini baru dikatakan santri yang sukses.

NIAT TIDAK BENAR, MENGANCAM IMAGE GAGAL OUTPUT PESANTREN (ASCHAL Edisi 16)



Menitipkan anak di sebuah pendidikan pesantren seringkali tidak disertai dengan ruh amal yang semata-mata demi mendapatkan ridho Allah Swt. Niat yang semestinya menjadi pondasi awal masuk pesantren masih tidak begitu diperhatikan dan akibatnya pun seakan-akan tidak pernah dipetimbangkan. Lalu bagaimana sebenarnya niat yang baik ketika hendak ada dipesantren? Berikut Wawancara Pimpinan Redaksi Aschal Mufti Shohib Bersama KH. Abdul Wahid Hasyim, salah satu staf pengajar Madrasah Diniyah al-Ma’arif tingkat Aliyah Tarbiyatul Mu’allimin PP. Syaichona Moh. Cholil Bangkalan. Berikut wawancaranya:

Kadang pesantren hanya sekdedar nitip anak. Pandangan Kiai?
Yang demikian itu ya kurang tepat karena segala sesuatu harus didasari dengan niat. Niat yang salah akan memperoleh hasil sebagaimana apa yang di niati.

Kira-kira hal demikian factor utamanya apa?
Faktornya banyak. yang pertama karena factor ketidak fahaman wali santri terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya. bagaimana sebagai orang tua mempunyai kewajiban moral untuk membesarkan anaknya  sesuai norma-norma Islam. maka dengan demikian wali santri harus diberi pemahaman sebab mereka tidak begitu mengetahui bahwa melakukan sesuatu itu sangat tergantung pada niat. di dalam kitab-kitab kan banyak dijelaskan bahwa
كم من عمل يتصور بصورةة عمل الدنيا فصار بحسن النية عمل الاخرة
Betapa banyak perbuatan yang berbentuk perbuatan duniawi, kemudian karena niat yang baik maka menjadi perbuatan akhirat
Dan ini juga berlaku sebaliknya. Ketika masuk pesantren yang itu merupakan perbuatan ukhrawy, ketika niatnya tidak baik maka otomatis menjadi perbuatan duniawi belaka. jadi kalau niatnya hanya sekedar nitip anak, ya aman saja selesai tapi tidak akan memperoleh apa yang diinginkan.

Bagaimana Niat yang baik?
Ya tentu yang pertama orang menitipkan anak ke pesantren, agar anaknya itu dalam kehidupannya mendapat ridlo Allah. yang kedua supaya menjadi anak yang sholeh. yang ketiga supaya anak itu bisa menjadi orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dan yang paling penting juga ketika saya misalnya menitipkan anak ke pesantren saya mempunyai harapan, potensi yang ada pada diri  anak saya itu bisa dikembangkan baik potensi yang bersifat karakter maupun potensi-potensi yang lain yang bisa dikembangkan. Jadi harapannya dengan dititipkan di pondok pesantren, anak kita dapat berkembang sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Antara pendidikan formal dan diniyah di pesantren. Mana yang harus diprioritaskan?
Pendidikan diniyah sebagai salah satu ciri dan karakter pendidikan pesantren tentu harus lebih diprioritaskan daripada pendidikan formal. Seperti di pondok (PP. Syaichona Moh. Cholil). Jadi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pengasuh. Itulah sebabnya kenapa diniyah waktu sekolahnya di pagi hari karena memang waktu pagi itu lebih panjang dan pemikiran juga lebih segar.
Adapun pendidikan formal hanyalah sekedar untuk mengakomodir berbagai kepentingan dan harapan masyarakat pada konteks sekarang. Pada era Sekarang, pesantren tanpa adanya pendidikan formal nampak akan kurang mendapat minat dari masyarakat. Jadi berkembang sesuai tuntutan situasi.

Kenyataannya banyak kalangan masyarakat yang memprioritaskan Formal
Kenyataan di tengah masyarakat memang demikian. Itulah sebabnya pesantren merespon terhadap keinginan masyarakat tersebut. Akan tetapi, pesantren selain harus dapat merespon keinginan masyarakat juga harus menjaga substansi, karakter dan tujuan asasi didirikannya pondok pesantren agar tidak melenceng dari karakter aslinya. Kalau pondok pesantren tidak lagi menjaga karakter aslinya (Diniyah) dan lebih memprioritaskan karakter baru (keinginan masyarakat; formal), maka pesantren akan kehilangan keasliannya dan tidak lagi menjadi sebuah lembaga pendidikan yang unik, tapi tak ubahnya seperti lembaga-lembaga pendidikan formal lain yang, -saya kira- tidak ada sumber barokah. Kala pesantren jelas sumber barokah, sumber ilmu, hikmah dan lain sebagainya. Inilah yang asli pesantren asalkan niatnya benar dan di  pesantren hidup layaknya seorang tholibul ilmi. Jadi pendidikan diniyah tetap harus diprioritaskan tanpa harus menghilangkan kepentingan formal.
Sebenarnya kalau kita berbicara masalah substansi pendidikan Islam tidak ada yang namanya dikotomi tapi kadang orang-orang lebih memprioritaskan yang satunya daripada yang lain.

Tentang degradasi berbagai aspek yang dialami santri, adakah kaitannya dengan niat yang tidak benar?
sedikit banyak  Ada. Di dalam hadits kan sudah dijelaskan bahwa
ومن كان هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ومن كان هجرته الى الدنيا يصيبها او امرئة ينكحها فهجرته الى ما هاجر اليه
Jadi kalau niatnya hanyalah sekedar nitip, jelas ada kaitannya dan dampak negatifnya.

Dampak negative yang lebih luas?
Dari aspek moral ini akan muncul image bahwa output Dari pesantren ternyata belum mampu menampilkan karakter asli pesantren yang tafaqquh fiddin akibatnya pesantren yang dicap gagal. karena itu mestinya output itu mampu  baik secara moral, intelektual maupun secara akademik. mampu untuk eksis berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai wujud khairunnas anfauhum linnas. Tapi ketika sudah tidak di barengi dengan niat yang ditata dengan baik sejak awal, akhirnya yang terjadi dekadensi moral. Ketika dekadensi moral yang terjadi ditengah masyarakat dan ternyata dalangnya adalah output pesantren, maka ini gawat. Naudzubillah. Akhirnya akan kehilangan kepercayaan masyarakat.

Kalau ingin berbenah harus di mulai dari mana?
pertama masyarakat harus di beri pemahaman dengan berbagai cara dan melalui berbagai momen apa saja.

Himbauan kepada santri dan masyarakat khusunya wali santri
wali santri tidak sekedar menitipkan anak begitu saja tapi juga harus memiliki kepekaan dan ikut berperan aktif dalam mengsukseskan pendidikan anaknya di pesantren. kalau orang tua tidak ikut memberikan  kontribusi dan tidak berperan aktif maka anankya sulit untuk berhasil dan sukses. Karena kiprah orang tua adalah kunci kesuksesan si anak. Seorang ibu harus mendoakan anaknya dan seorang bapak harus memberikan motivasi yang baik, ikut mengevaluasi atas apa yang diperoleh. Seperti saat libur pesantren, orang tua harus melihat sejauh mana perkembangan pelajaran anaknya, ikut mengontrol prilaku sikap dan moralnya.
Kalau ini dilakukan, saya kira paripurnalah sudah peserta didik pesantren menjadi insan kamil.  Hal yang sangat penting adalah, orang tua harus ekstra hati-hati dalam memberikan bekal si anak. Yang diberikan kepada anak harus benar-benar rejeki yang halal. Karena kalau tidak demikian maka pemikiran si anak akan alot. Kata ulama’,
فانى يستجاب ومطعمه حرام ومشربه حرام  
Bagaimana mungkin bisa di istijabah sedangkan makanannya haram, minumannya haram dan lain sebagainya.
dan lain sebagainya.
Jadi peran bapak ibu sangat vital dalam rangka mensukseskan anaknya menjadi anak yang shaleh, berilmu dan bermanfaat ditengah-tengah kehidupan masyarakat.


Rabu, 22 Februari 2017

KH. Moh. Nasir Yasin (ASCHAL Edisi 16)


KH. Moh. Nasir Yasin;
Cucu Syaichona Moh. Cholil yang ‘Alim dan Khumul

Tidak semua kalangan mengenal beliau. Bahkan konon ceritanya ketika sedang naik becak, si tukang becak justru bercerita panjang lebar tentang kealiman Kiai Nasir tanpa sadar bahwa yang diceritakan adalah penumpangnya. Begitulah Kiai Moh. Nasir Yasin, Cucu Syaichona Moh. Cholil yang ‘alim dan khumul (law profil).
KH. Moh. Nasir hidup di lingkungan pesantren Kepang, Bangkalan. Beliau lahir dari pasangan darah biru, yaitu Kiai Yasin dan Nyai Asma binti Syaichona Moh. Cholil. Tidak ada keterangan pasti tentang waktu kelahiran beliau. Menurut sebagian putranya, beliau lahir pada tahun 1935 M. Hal ini berdasarkan bukti, bahwa di waktu mudanya beliau ikut membereskan persenjataan Jepang yang menyerah tanpa syarat pada tentara Inggris. Sedangkan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1945 M.
Nasir ramaja, adalah sosok lora yang terbilang nakal, layaknya bukan putra seorang kiai dan cucu Syaichona Moh. Cholil. Rambutnya gondrong, acap kali balapan dengan kereta api menggunakan sepeda ontel, start di Kamal dan finish di Bangakalan. Bahkan, diriwayatkan pula bahwa beliau pernah mabuk dan pinsan di pasar sebab terlalu banyak mengkonsumsi soto.
Akhirnya, Kiai Yasin menyuruh Nasir remaja untuk menempuh pendidikan di Makkah al-Mukarromah. Berguru kepada Syekh Hasan al-Yamani dan Syekh Alawi al-Maliki. Di tanah kelahiran Rosulullah ini, beliau banyak mengabdi (ngabuleh) kepada guru-gurunya, selain rutinitas mengaji kepada mereka. Sejak saat itulah beliau tidak lagi tercatat sebagai anak yang nakal.
Di Makkah, beliau rajin menuntut ilmu dan tekun mengabdi kepada guru. Pengabdiannya dibuktikan dengan keikhlasan beliau untuk tetap bertahan di Makkah, meski rekan-rekan beliau, termasuk Kiai Cholil Yasin (kakak kandung Kiai Nasir), telah memilih untuk boyong.
 Kiai Nasir memilih tetap di Makkah dengan alasan masih ingin mengabdi. Selain itu, masih ada rasa berat hati untuk meninggalkan sang guru. Karena beliaulah yang mengurusi kebutuhan dhalem (kediaman) gurunya, mulai dari pelayanan sampai urusan putra-putra gurunya. Di antara sahabat Kiai Nasir yang juga mondok di Makkah adalah KH. Hasan Iraqi (Sampang), ulama yang terkenal sangat ‘alim di Madura, KH. Tajul Anwar (Sambilengan Sampang), dan KH. Cholil Yasin, Kakak Kandung Kiai Nasir Yasin.
Beliau baru berkenan kembali ke Bangkalan ketika dikabarkan bahwa Ayahanda beliau, Kiai Yasin telah wafat. Beliau diperintah untuk pulang oleh gurunya, yaitu Syekh Hasan al-Yamani. Ada yang unik dari proses kepulangan Kiai Nasir ke Bangkalan, yaitu beliau bisa pulang tanpa perlu mengantongi paspor.
Usai menuntut ilmu di Makkah, beliau melanjutkan rihlah ilmiyahnya di Siwulan Panji Buduran Sidoarjo. Tapi hanya sebentar, karena niat beliau ke Siwulan dalam rangka tabbarukan saja.
Setelah dari Siwulan beliau baru menikah, dan dikaruniai sebelas buah hati yaitu, KH. Moh. Cholil Nasir, KH. Abd. Halim Nasir, KH. Moh. Yusuf Nasir, Nyai Nur Fathonah Nasir, KH. Makki Nasir, KH. Ahmad Rahbini Nasir, Nyai Siti Fatimah Nasir, KH. Hasyim Asy’ari Nasir, KH. Abd. Latif Nasir, KH. Abd. Mu’in Nasir, dan Nyai Tsurayya Nasir.

Masyhur ‘Alim tapi Enggan Mengajar
Pada mulanya, Kiai Nasir yang sudah ditinggal wafat oleh ayahandanya masih berkenan meneruskan perjuangan sang abah. Beliau masih mengajar para santri bersama Kiai Cholil Yasin di Pondok Pesantren Al-Falah, Kepang. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena sekitar tahun 70-an beliau pindah ke daerah Senenan (sekitar 1 Km di selatan Kepang).
Masyhurnya kealiman Kiai Nasir, membuat para santri waktu itu tetap ingin menimba ilmu pada beliau. Di kediaman barunya, banyak juga para santri yang rutin mengaji kepada beliau, seperti santri dari Kepang dan santri Demangan. Tapi pada akhirnya, -entah apa alasan beliau- semua santri yang ngaji beliau usir. Mereka disuruh pindah oleh Kiai Nasir seraya mengatakan, “Engkok tak mulangah. Mun Ngajhiyeh entar ke Demangan Otabe ke Kepang” (saya tidak mau mengajar. Kalau ingin mengaji silahkan ke Pondok Demangan atau Ke Pondok Kepang).
Kealiman Kiai Nasir dikenal banyak kalangan, sekalipun sebatas melalui cerita dari mulut ke mulut. Padahal, banyak di antara mereka yang tidak tahu sosok kiai Nasir sendiri, sebagaimana kisah tukang becak tadi.

Cucu Syaichona Moh. Cholil yang khumul
Menjadi cucu dari seorang waliullah yang kesohor di nusantara, tidak lantas membuat Kiai Nasir berbangga diri. Justru beliau pernah berpesan kepada para salah satu putranya untuk tidak mengandalkan garis keturunannya. Beliau mengibaratkan, bahwa beliau tak ubahnya seekor kera berpayung emas. Maksudnya emas adalah sang kakek, yaitu Syaichona Moh. Cholil.
Konon, suatu hari beliau melakukan pekerjaan yang sangat beliau gemari, yaitu ziarah ke makan para wali. Waktu itu, Kiai Nasir ziarah ke makam salah seorang waliyullah di Makam Luar Batang, Jakarta. Tiba-tiba, ada seseorang yang sedang menunggu kedatangan beliau. Setelah kiai Nasir tiba, orang itu berkata “Saya disuruh guru saya untuk menunggu panjenengan. Apakah jenengan kiai Nasir?”.
Bukannya mengiyakan, bahkan kiai Nasir menjawab pertanyaan orang tersebut dengan nada agak tinggi, “Saya bukan Kiai Nasir, tapi Haji Nasir”. Beliau menolak untuk di panggil kiai. Namun orang itu tetap bersikukuh dengan keyakinan awalnya, bahwa orang yang berdiri di hadapannya adalah sosok Kiai Nasir Yasin dari Bangkalan. Akhirnya Kiai Nasir marah-marah, “Saya bukan kiai Nasir, tapi cukup Haji Nasir!”.

Wafatnya Penyeimbang Bangkalan
Meski enggan untuk menampilkan status diri ke permukaan, kiai Nasir tetap berperan penting menentukan situasi dan masa depan Bangkalan. Peran yang dilakukan beliau bisa dikatakan rahasia tapi tidak sederhana. Sebagai sesepuh Bangkalan, beliau sering mengarahkan kiai-kiai Bangkalan untuk menempati posisi yang dianggap pas dan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Konon, ketika Kiai Abdullah Schal, yang tak lain adalah keponakan kiai Nasir sedang dihimpit permasalahan ekonomi, Kiai Abdullah pernah berkeinginan untuk memilih bekerja dan mengikuti jejak kiai Nasir menjadi pengusaha. Tapi Kiai Nasir melarang keinginan Kiai Abdullah. Beliau meminta agar kiai Abdullah tetap istiqamah meneruskan perjuangannya dengan mengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil, Demangan.
Kiai Nasir berpesan kepada Kiai Abdullah “Jhe’ alakoh Kabbhi. Mun pas kaloar kabbhi sapah se mulangah e dhelem?” (jangan bekerja semua. Kalau semua keluar, siapa lagi yang akan mengajar di dalam pesantren?). Menurut beliau, persoalan ekonomi tidak perlu dikhawatirkan. Karena dengan mengajar, semua kebutuhan dunia akan datang dengan sendirinya. Pesan yang beliau sampaikan ini sangat ditaati betul oleh kiai Abdullah Schal. Begitulah di antara peran Kiai Nasir terhadap tokoh-tokoh di Bangkalan.
 Akhirnya, Pada hari Rabu 25 April 2001 M, berita duka melanda Bangkalan. Kiai Nasir Yasin, sosok kiai khumul yang dinobatkan sebagai penjaga keseimbangan Bangkalan telah berpulang ke Rahmatullah. Inna lillahi wa inna Ilahi Raji’un. Semoga segala amal baik beliau diterima di sisi Allah. Semoga kelak kita bisa berkumpul bersama beliau beserta Syaichona Moh. Cholil di surga Allah. Amin ya rabbal ‘alamin.


Klarifikasi:
1.     Kiai Cholil Yasin, adik kandung/kakak kandung Kiai Nasir?
2.     “Asy`ary” memakai “i”/”y”?

3.     “Istri beliau”, dhomir (kata ganti) “beliau”, marji` dhomirnya pada kiai Nasir/kiai Abdullah Schal?


AMALIYAH KIAI NASIR YASIN; TEPUK TANGAN SESUDAH TAWASSUL DI SUNAN GUNUNG JATI (ASCHAL Edisi 16)


AMALIYAH KIAI NASIR YASIN;
TEPUK TANGAN SESUDAH TAWASSUL DI SUNAN GUNUNG JATI
Konon, Kiai NAsir Yasin, cucu Syaichona Moh. Cholil dari jalur Ibu, ketika mendapatkan kesulitan dalam proses membawa jama’ah ke tanah suci makkah seperti kesulitan dalam mengurusi paspor, maka beliau bertawassul di makam sunan gunung jati. Setelah selesai berdoa, beliau tepuk tangan. Hasilnya sukses dan kesulitanpun hilang.
Kemudian ada seseorang yang di saat mendapatkan kesulitan serupa, dia mempraktekkan amaliyah Kiai Nasir Yasin. Tiba-tiba ada suara, “kamu bukan kiai Nasir, Jadi tidak usah meniru amaliyah yang demikian”. Dan hasilnya pun nihil.

 *dikisahkan oleh KH. Makki Nasir

NU SATPAMNYA INDONESIA (ASCHAL Edisi 16)


       Suatu ketika Gus Mus ingin berdiskusi dengan Gus Dur berkaitan dengan masalah ke-NU-an. Gus Mus berkeluh kesah kepada sahabatnya, Gus Dur, kenapa setiap kali Pemilu Presiden maupun Legislatif orang-orang mendekati dan mengaku NU dan minta dukungan NU, baik yang nyaleg maupun yang Nyapres. Gus Mus: “Gus, NU ini kok seperti satpam ya?” Gus Dur: “Maksudnya?” Gus Mus: “Ya itu, kalau Pemilu dibutuhkan suaranya. Setelah Pemilu, ditinggal di pojokan seperti Satpam.” Gus Dur: “Apa kurang mulia menjadi Satpamnya Indonesia Gus?” Gus Mus: “Ya mulia sih. Tapi ya bagaimana, kok ya kebangeten (keterlaluan) itu orang-orang.” Gus Mus pun terdiam mendengar jawaban Gus Dur yang sederhana namun penuh dengan makna.

·          (www.muslimedianews.com)a